Abaikan
Ancaman Australia
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional UI
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Februari 2015
DUA warga negara Australia, Andrew
Chan dan Myuran Sukumaran yang tergabung dalam sindikat narkotika Bali 9
diberitakan akan segera menjalani eksekusi hukuman mati di Nusakambangan. Kedua
orang tersebut telah melalui proses persidangan dan mendapatkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung. Peninjauan kembali pun telah
dilakukan sebagai upaya untuk memastikan tidak adanya peradilan sesat (miscarriage of justice).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun
telah menolak permohonan grasi kedua terpidana tersebut. Penolakan didasarkan
pada kebijakan pemerintah untuk tegas dalam memerangi narkoba. Saat ini
Indonesia dalam kondisi darurat narkoba. Indonesia telah menjadi negara
tujuan bagi para sindikat internasional dan menjadi negara nomor tiga yang
memiliki penduduk yang ketergantungan terhadap narkoba.
Protes
Pelaksanaan hukuman mati mendapat
protes dari pemerintah Australia. Protes merupakan hal wajar, mengingat
Australia mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya ketika menghadapi
masalah hukum di luar negeri. Hanya saja, dalam menjalankan kewajiban untuk
melindungi warganya, sebuah negara tidak dapat melakukan intervensi atas
kedaulatan negara lain.
Pemerintah Australia telah
melakukan protes kepada pemerintah Indonesia atas pelaksanaan hukuman mati.
Lobi antara pejabat tinggi pun telah dilakukan. Semakin mendekati pelaksanaan
hukuman mati, pemerintah Australia melakukan berbagai tindakan.
Salah satunya pernyataan yang
disampaikan Menteri Luar Negeri Julia Bishop yang bernada ancaman. Ia
mengkhawatirkan apabila Indonesia melaksanakan hukuman mati terhadap dua
warganya, warga Australia tidak akan lagi melancong ke Indonesia.
Di samping itu, tindakan tidak
terpuji pun dilakukan pemerintah Australia yang diduga meminta Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-moon, untuk mengecam
pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, bahkan Ban Ki-moon menyampaikan agar
Indonesia membatalkan pelaksanaan hukuman mati.Kecaman dan permintaan Ban
Ki-moon sungguh disayangkan karena ia cenderung telah melakukan intervensi
dan membela negara maju di PBB terhadap negara berkembang.
Ada tiga alasan untuk mengatakan
hal ini. Pertama, di manakah suara Ban Kimoon ketika Ruyati, tenaga kerja
Indonesia yang harus menjalani hukuman mati di Arab Saudi? Apakah karena
Ruyati berkewarganegaraan Indonesia dan Indonesia bukan negara maju sehingga
suara Ban Ki-moon absen?
Kedua, tidakkah Ban Ki-moon sadar
bahwa banyak orang mati karena ketergantungan narkoba? Ke manakah suara Ban
Ki-moon terhadap para korban dan keluarganya? Mengapa ia berempati terhadap
pelaku, tetapi tidak memiliki empati pada korban dan keluarganya?
Ketiga, apakah Indonesia dianggap
sebagai negara barbar karena melaksanakan hukuman mati? Apakah Ban Ki-moon
hendak menyamakan Indonesia dengan ISIS?
Pertanyaan ini muncul karena
menurut Ban Ki-moon, PBB dinyatakan menentang hukuman mati.
Padahal, anggota PBB seperti AS
yang merupakan negara kampiun penghormatan hak asasi manusia, di sejumlah
negara bagiannya masih mengenal hukuman mati. Demikian pula dengan Malaysia,
Singapura, dan Arab Saudi.
Apakah pernyataan Ban Ki-moon
tidak tendensius dan merendahkan martabat serta kedaulatan Indonesia? Sulit
untuk disangkal bahwa pernyataan Ban Ki-moon sangat terkait dengan upaya
pemerintah Australia menekan Indonesia.
Seharusnya Ban Ki-moon sadar bahwa
ia telah dimanfaatkan Australia untuk menekan Indonesia. Indonesia tentu
tidak bisa berdiam diri. Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri, Retno LP
Marsudi, wajib segera memprotes pernyataan Ban Ki-moon dan memastikan Sekjen
PBB tidak melakukan intervensi terhadap kedaulatan Indonesia.
Mempercepat
Berbagai upaya pemerintah
Australia untuk menunda pelaksanaan hukuman mati atas dua warganya justru
akan mempercepat pelaksanaan hukuman mati mereka. Mengapa?
Protes pemerintah Australia,
terutama Menteri Luar Negeri Julia Bishop, serta menyeret Sekjen PBB membuat
pernyataan telah menyulut kemarahan publik, elite, politikus, dan pejabat di
Indonesia, sehingga publik menghendaki agar presiden tidak menunda
pelaksanaan hukuman mati. Pemerintah Australia telah salah berhitung.
Upayanya telah menjadi kontra produktif.
Pemerintah Australia telah merendahkan
demokrasi di Indonesia karena seolah publik dan politikus tidak bisa bersuara
dan tidak cerdas dalam menanggapi manuver Australia. Di alam demokrasi saat
ini, presiden dan jajarannya tidak dapat mengambil keputusan tanpa
memperhatikan suara publik dan para politikus.
Kini, pemerintah Australia
dihadapkan pada putusan sulit. Apakah akan terus menekan Indonesia atau
membiarkan Indonesia menjalankan kedaulatannya. Pemerintah Australia harus
berpikir dua kali dalam upaya melindungi Chan dan Sukumaran. Apakah hubungan
baik yang saling menguntungkan dengan Indonesia akan dikorbankan, hanya untuk
membela agar dua warganya yang melakukan kejahatan serius menurut hukum
Indonesia?
Di bawah Presiden Jokowi,
Indonesia sulit untuk tunduk pada keinginan negara lain, termasuk Australia,
bila kepentingan nasional Indonesia yang menjadi taruhan. Politik luar negeri
yang bebas aktif telah mendapat tafsir baru, yaitu `semua negara ialah sahabat bagi Indonesia sampai dengan kedaulatan
Indonesia diganggu atau kepentingan nasional dirugikan.’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar