Kamis, 19 Februari 2015

Abaikan Ancaman Australia

Abaikan Ancaman Australia

Hikmahanto Juwana  ;  Guru Besar Hukum Internasional UI
MEDIA INDONESIA, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DUA warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang tergabung dalam sindikat narkotika Bali 9 diberitakan akan segera menjalani eksekusi hukuman mati di Nusakambangan. Kedua orang tersebut telah melalui proses persidangan dan mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung. Peninjauan kembali pun telah dilakukan sebagai upaya untuk memastikan tidak adanya peradilan sesat (miscarriage of justice).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah menolak permohonan grasi kedua terpidana tersebut. Penolakan didasarkan pada kebijakan pemerintah untuk tegas dalam memerangi narkoba. Saat ini Indonesia dalam kondisi darurat narkoba. Indonesia telah menjadi negara tujuan bagi para sindikat internasional dan menjadi negara nomor tiga yang memiliki penduduk yang ketergantungan terhadap narkoba.

Protes

Pelaksanaan hukuman mati mendapat protes dari pemerintah Australia. Protes merupakan hal wajar, mengingat Australia mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya ketika menghadapi masalah hukum di luar negeri. Hanya saja, dalam menjalankan kewajiban untuk melindungi warganya, sebuah negara tidak dapat melakukan intervensi atas kedaulatan negara lain.

Pemerintah Australia telah melakukan protes kepada pemerintah Indonesia atas pelaksanaan hukuman mati. Lobi antara pejabat tinggi pun telah dilakukan. Semakin mendekati pelaksanaan hukuman mati, pemerintah Australia melakukan berbagai tindakan.

Salah satunya pernyataan yang disampaikan Menteri Luar Negeri Julia Bishop yang bernada ancaman. Ia mengkhawatirkan apabila Indonesia melaksanakan hukuman mati terhadap dua warganya, warga Australia tidak akan lagi melancong ke Indonesia.

Di samping itu, tindakan tidak terpuji pun dilakukan pemerintah Australia yang diduga meminta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-moon, untuk mengecam pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, bahkan Ban Ki-moon menyampaikan agar Indonesia membatalkan pelaksanaan hukuman mati.Kecaman dan permintaan Ban Ki-moon sungguh disayangkan karena ia cenderung telah melakukan intervensi dan membela negara maju di PBB terhadap negara berkembang.

Ada tiga alasan untuk mengatakan hal ini. Pertama, di manakah suara Ban Kimoon ketika Ruyati, tenaga kerja Indonesia yang harus menjalani hukuman mati di Arab Saudi? Apakah karena Ruyati berkewarganegaraan Indonesia dan Indonesia bukan negara maju sehingga suara Ban Ki-moon absen?

Kedua, tidakkah Ban Ki-moon sadar bahwa banyak orang mati karena ketergantungan narkoba? Ke manakah suara Ban Ki-moon terhadap para korban dan keluarganya? Mengapa ia berempati terhadap pelaku, tetapi tidak memiliki empati pada korban dan keluarganya?

Ketiga, apakah Indonesia dianggap sebagai negara barbar karena melaksanakan hukuman mati? Apakah Ban Ki-moon hendak menyamakan Indonesia dengan ISIS?

Pertanyaan ini muncul karena menurut Ban Ki-moon, PBB dinyatakan menentang hukuman mati.

Padahal, anggota PBB seperti AS yang merupakan negara kampiun penghormatan hak asasi manusia, di sejumlah negara bagiannya masih mengenal hukuman mati. Demikian pula dengan Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi.

Apakah pernyataan Ban Ki-moon tidak tendensius dan merendahkan martabat serta kedaulatan Indonesia? Sulit untuk disangkal bahwa pernyataan Ban Ki-moon sangat terkait dengan upaya pemerintah Australia menekan Indonesia.

Seharusnya Ban Ki-moon sadar bahwa ia telah dimanfaatkan Australia untuk menekan Indonesia. Indonesia tentu tidak bisa berdiam diri. Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi, wajib segera memprotes pernyataan Ban Ki-moon dan memastikan Sekjen PBB tidak melakukan intervensi terhadap kedaulatan Indonesia.

Mempercepat

Berbagai upaya pemerintah Australia untuk menunda pelaksanaan hukuman mati atas dua warganya justru akan mempercepat pelaksanaan hukuman mati mereka. Mengapa?

Protes pemerintah Australia, terutama Menteri Luar Negeri Julia Bishop, serta menyeret Sekjen PBB membuat pernyataan telah menyulut kemarahan publik, elite, politikus, dan pejabat di Indonesia, sehingga publik menghendaki agar presiden tidak menunda pelaksanaan hukuman mati. Pemerintah Australia telah salah berhitung. Upayanya telah menjadi kontra produktif.

Pemerintah Australia telah merendahkan demokrasi di Indonesia karena seolah publik dan politikus tidak bisa bersuara dan tidak cerdas dalam menanggapi manuver Australia. Di alam demokrasi saat ini, presiden dan jajarannya tidak dapat mengambil keputusan tanpa memperhatikan suara publik dan para politikus.

Kini, pemerintah Australia dihadapkan pada putusan sulit. Apakah akan terus menekan Indonesia atau membiarkan Indonesia menjalankan kedaulatannya. Pemerintah Australia harus berpikir dua kali dalam upaya melindungi Chan dan Sukumaran. Apakah hubungan baik yang saling menguntungkan dengan Indonesia akan dikorbankan, hanya untuk membela agar dua warganya yang melakukan kejahatan serius menurut hukum Indonesia?

Di bawah Presiden Jokowi, Indonesia sulit untuk tunduk pada keinginan negara lain, termasuk Australia, bila kepentingan nasional Indonesia yang menjadi taruhan. Politik luar negeri yang bebas aktif telah mendapat tafsir baru, yaitu `semua negara ialah sahabat bagi Indonesia sampai dengan kedaulatan Indonesia diganggu atau kepentingan nasional dirugikan.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar