Senin, 02 Februari 2015

Ujian Nasional bagi Sekolah

Ujian Nasional bagi Sekolah

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SAYA termasuk salah seorang yang senang dengan kebijakan baru ujian nasional (UN) yang bukan lagi dijadikan standar kelulusan siswa. Meskipun saya absen dalam tiga kali pertemuan FGD tentang UN yang diselenggarakan oleh Litbang Kemendikbud dan, konon, dipimpin langsung oleh Mendikbud sendiri, beberapa poin dan kesimpulan yang disampaikan menteri dalam rilisnya pada 23 Januari 2015 patut diapresiasi oleh seluruh pemangku kebijakan bidang pendidikan dasar dan menengah. Perubahan pola kebijakan UN yang bersandar pada pencapaian standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara nasional memang perlu dilakukan.

Dengan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 68, kegunaan UN menjadi salah satu pertimbangan untuk (1) pemetaan mutu program dan/atau satu an pendidikan; (2) sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (3) sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan; dan (4) bukan sebagai penentuan kelulusan dari satuan pendidikan. Kebijakan ini tentu saja akan membuat kondisi psikologis siswa, guru, dan orangtua menjadi lebih baik karena anak-anak mereka dididik dan dibina bukan untuk pencapaian nilai semata, melainkan kecakapan hidup yang lebih menghargai kemanusiaan.

Beberapa risiko dari kebijakan baru ini juga perlu diantisipasi, seperti potensi membeli kelulusan siswa yang ada di tingkat sekolah membuat peran kepala sekolah dan guru sangat rentan terhadap godaan para orangtua yang tak sedikit menginginkan anak-anak mereka dengan deskripsi penilaian yang baik. Karena itu, yang perlu dipersiapkan ialah skema peningkatan kesejahteraan guru dan kepala sekolah yang bersandar pada empat kompetensi yang diamanatkan undang-undang, yaitu kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian.Ketika menyebut UN sebagai basis pembinaan terhadap satuan pendidikan (sekolah), setidaknya Kemendikbud telah menyiapkan perangkat analisis kesehatan sebuah sekolah.

Sebuah sekolah dapat dikatakan sehat jika setidaknya memiliki empat kriteria, yaitu pertama, sistem pengangkatan kepala sekolah yang terbuka dan bertanggung jawab. Kemendikbud perlu duduk bersama Kemendagri dan Kemenpan-Rebiro untuk membahas skenario pengangkatan kepala sekolah yang baik. Sebagaimana diketahui, selama ini pengangkatan kepala sekolah rentan diintervensi pihak pemerintah daerah dan tak jarang menjadi sumber korupsi, kolusi, dan nepotisme pejabat daerah. Selain itu, mekanisme pengangkatan kepala sekolah sama sekali tak melibatkan peran masyarakat melalui komite sekolah, LSM, dan DPRD. Peran perguruan tinggi untuk membuat programprogram school principal leadership juga perlu dilakukan bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Kedua, sekolah yang sehat juga harus ditunjukkan dengan seberapa banyak program peningkatan kapasitas guru berlangsung pada setiap sekolah berdasarkan RAPBS yang mereka susun. Selama ini sekolah seperti dibiarkan menyusun RAPBS tanpa melihat prioritas peningkatan kapasitas guru secara berkelanjutan. RAPBS juga harus menjadi kriteria ketiga untuk diintervensi melalui sebuah panduan yang sehat, terutama dengan melibatkan peran masyarakat dan pengawas sekolah. Harus diakui, kemampuan sekolah dalam merencanakan dan mengelola APBS baik yang berasal dari DAU dan DAK sangat rendah, dan tak jarang hal ini bahkan menjadi sumber korupsi para kepala sekolah dan dinas pendidikan kota/kecamatan.

Kriteria keempat, sekolah yang akan dibina dan diberikan dana bantuan khusus ialah sekolah yang memiliki budaya sekolah yang menghargai proses belajar secara kolegial. Harus diakui bahwa selama ini model pengelolaan sekolah dalam sistem pendidikan kita masih mengacu dua pendekatan, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Pilihan atas keduanya harusnya merupakan pilihan rasional berdasarkan riset dan kajian tiada henti tentang performansi sekolah sebagai unit analisisnya. Sayangnya kebijakan tentang pendidikan di Tanah Air selama ini seperti mengalami jalan sunyi dari proses interaksi yang didasari atas kajian serius setiap masalah yang ada di sekitar sekolah.

Harus menyenangkan

Lant Pritchett dalam The Rebirth of Education: Schooling Ain't Learning (2013) menengarai bahwa sistem persekolahan di banyak negara telah gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat karena pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis berdasarkan struktur sosial-budaya tempat sekolah itu berada. Meskipun kita bisa melihat ada banyak hambatan yang akan terus muncul, menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis sebuah kebijakan ialah imperatif.

Pemerintahan Jokowi-JK harus memberikan kepercayaan terhadap sekolah untuk menentukan apa yang terbaik dan seharusnya mereka lakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar di sekolah masing-masing. Selama ini, meskipun kita sudah meya kini menjalankan dan mengadopsi proses desentralisasi pendidikan, banyak kebijakan seperti UN dan kurikulum nasional kontrolnya tetap dilakukan secara rigid oleh pusat.Akhirnya banyak sekolah menjadi tak sehat dan miskin kreativitas karena fundamental proses belajar-mengajar yang mencerahkan dan berkualitas menjadi terganggu.

Saya berharap dengan adanya perubahan titik tekan UN sebagai basis penilaian dan pemetaan kondisi sekolah akan menjadikan proses belajar-mengajar lebih menyenangkan, dengan guru, kepala sekolah, pengawas, dan orangtua berada dalam semangat dan visi yang sama, yaitu menjadikan anak-anak mereka memiliki ketahanan mental yang kuat, kreatif, dan mampu bersaing secara sehat. Belajar dari kasus Finlandia, jika kita bertanya kepada para guru untuk dan dengan niat apa mereka mengajar, jawaban hampir 100% guru di Finlandia ialah satu; “Prepare kids for life, not for the test.“  Kesadaran semacam inilah yang diperlukan para guru kita yang selama ini terlilit awan kelam UN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar