Sekolah
Belum Siap Meluluskan
Junaidi Abdul Munif ; Direktur
el-Wahid Center, Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Februari 2015
PELAJAR di Indonesia selama ini
mafhum bahwa ujian ialah penentu naik kelas atau lulus dalam jenjang
persekolahan. Mereka akan belajar sungguh-sungguh menjelang ujian dan ikut
bimbingan belajar demi lulus ujian nasional (UN). Pelbagai cara dilakukan
agar siswa lulus, termasuk cara-cara curang, yakni menyontek atau guru
memberi kunci jawaban. Tidak sedikit pula pihak-pihak yang memanfaatkan
momentum UN untuk menjual kunci jawaban.
Yang cukup menggelikan, yakni ada
orangtua dan siswa mendatangi `orang pintar' meminta diberi doa-doa dan
pensil yang bernilai magis. Sekolah menggelar doa bersama, mengundang pemuka
agama untuk mengajak seluruh pihak sekolah memohon Yang Mahakuasa agar
siswa-siswa dimudahkan mengerjakan soal. UN mulai bergeser dari hal yang
profan ke profetik. Dari situ terlihat bahwa ujian ialah momentum yang sangat
penting bagi siswa dan wali murid. Ada beban psikologis dan sosial ketika
pelajar tidak naik kelas atau tak lulus. Stigma murid bodoh, nakal, dan sifat
negatif lain begitu mudah disematkan kepada pelajar yang tidak lulus ujian.
UN diakui atau tidak, pada
akhirnya bersinggungan erat dengan budaya belajar siswa. Mereka belajar dengan
tekun hanya beberapa minggu, -bahkan ada yang beberapa jam menjelang UN.
Namun, tak perlu risau karena siswa tidak sendirian. Mahasiswa dan pendaftar
CPNS pun akan mati-matian belajar, pegang buku, saat akan ujian skripsi dan
tes CPNS. Kultur belajar dadakan telah jadi `cara belajar' masyarakat kita.
Mendikbud Anies Baswedan melakukan
gebrakan baru terkait UN. Ia akan menggantinya dengan evaluasi nasional (EN).
Kajian ini dilakukan oleh BNSP sebagai penyelenggara UN. Komisi X DPR RI akan
menggelar rapat bersama dengan Kemendikbud terkait UN dan mendukung UN
sebagai alat ukur pemetaan kualitas pendidikan. Wamendikbud Musliar Kasim
khawatir perubahan kebijakan ini akan membuat siswa tidak serius mengerjakan
UN (Media Indonesia, 6/1). Dari
kenyataan tersebut, wajar ada pandangan nyinyir bahwa kebijakan perubahan UN
ke EN hanya kebijakan asal beda dari pemerintahan sebelumnya.
Sejauh apa perubahan ini akan
membawa dampak signifikan dalam kemajuan pendidikan di Indonesia? Meski
Kemendikbud berkali-kali mengampanyekan bahwa UN bukan satu-satunya syarat
kelulusan, publik tak bisa mengelak bahwa nilai UN ialah faktor dominan.
Salah satu fungsi UN yang tertera dalam Permendikbud No 20 Tahun 2007 ialah
untuk memetakan kompetensi pendidikan.
Fungsi pemetaan tentu tidak
berkaitan secara langsung dengan kelulusan siswa itu sendiri. Ada banyak
domain kualitas pendidikan dan sekolah, mulai dari infrastruktur penunjang
pembelajaran sampai kualitas guru dan kepala sekolah. Keterbukaan akses
pendidikan di luar sekolah juga sangat berpengaruh terhadap kualitas pelajar.
Di perkotaan, kita akan sangat
mudah menemukan siswa yang pandai. Apa seko lah berperan utama? Belum tentu.
Pelajar di kota sangat mudah mengakses informasi, misalnya lembaga penyedia
bimbel, guru les, warnet, toko buku, jaringan antarmurid, dan kompetisi
antarsekolah yang menjadi faktor pendukung peningkatan kualitas pelajar.
Sekolah di perkotaan mendapat berkah dari habitus sosial murid-muridnya.
Di perdesaan, kemudahan ini tidak
mudah didapatkan. Sekolah pun kesulitan mendapatkan calon murid yang
berkualitas karena sekolah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal
yang ada. Misalnya, ikut bimbel, les, dan mengakses internet memerlukan
ongkos tambahan. Itu akan tambah membebani orangtua siswa.
Komposisi nilai
UN telah menjadikan alat ukur
penilaian kualitas siswa berdasarkan angka sebagai nilai yang tertera di
ijazah. Dengan demikian, telah terjadi simplifikasi model penilaian yang
sifatnya holistis-pedagogis, itu menjadi penilaian dari aspek kognitif.
Penilaian model itu sangat mudah dila-kukan karena diambil alih sistem
komputerisasi meskipun menafikan potensi keragaman siswa.
Dengan menyerahkan kelulusan siswa
pada sekolah, berarti memendam dua persoalan. Pertama, terkait dengan komposisi
nilai UN. Wacana yang berkembang ialah komposisi bahwa syarat kelulus-an
ialah nilai ujian sekolah digabung dengan nilai UN, dengan perbandingan 50:50
atau 40:60 oleh sekolah. BNSP mensyaratkan minimal 50% nilai UN sebagai
syarat kelulusan (Kompas, 20/12/14). Terlebih jika kelulusan diserahkan
sepenuhnya kepada sekolah 100%. Sekolah akan semakin tertatih-tatih memenuhi
instruksi pemerintah dengan ekspektasi yang terlalu tinggi.
Kedua, kalau menyerahkan kelulusan
ke sekolah dengan penilaian yang sifatnya kualitatif (karakter), akan muncul
berbagai persoalan. Bagaimana guru akan mengawasi muridnya yang di kelas bisa
sekitar 30-an anak, apalagi kalau guru mengajar beberapa kelas? Bagaimana
mengukur karakter anak kalau mereka di sekolah hanya sekitar delapan jam
sehari?
Perilaku anak-anak di sekolah,
apakah benar-benar mencerminkan perilaku siswa secara keseluruhan? Watak
manusia Indonesia, sebagaimana digambarkan Mochtar Lubis dalam Manusia
Indonesia, salah satunya ialah hipokrit (munafik). Ketika diawasi bos, mereka
bisa tampak rajin. Sebagai analogi, ketika murid berada di sekolah dan
diawasi guru, kepala sekolah, mereka akan menampakkan diri sebagai pribadi
yang baik.
Menyaring informasi dari
masyarakat? Setali tiga uang, orang akan menceritakan hal-hal yang baik kalau
ditanya oleh orang yang punya kepentingan dengan `masa depan' anak seseorang.
Belum lagi soal nepotisme, korupsi, dan kolusi. Bayangkan, kalau sekolah
diberi kewenangan lulusnya anak didik. Orangtua yang mendatangi sekolah dan
guru berharap belas kasih, kalau perlu menyuap pihak sekolah agar anaknya
lulus.
Belum siap
Dengan rumitnya problematika
seperti itu, hampir mustahil sekolah dapat menentukan lulus atau tidaknya
anak didik. Tentu, semua guru ingin agar siswanya bisa lulus ujian dan
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dari sini jelas, menyerahkan
kelulusan siswa pada sekolah akan berpotensi memunculkan problem sosial
tersendiri bagi guru dan sekolah. Untuk itu, pemerintah perlu melindungi guru
dan sekolah dengan payung hukum yang kuat ketika masyarakat atau orangtua
tidak terima anaknya tidak diluluskan.
Dengan sekolah sebagai penentu
kelulusan, yang harus diperbaiki ialah kualitas guru dan kepala sekolah.
Penilaian karakter mengandaikan intimitas antara guru dan murid.Perbandingan
antara guru dan jumlah siswa dalam satu kelas harus proporsional. Idealnya,
satu guru mengampu kelas dengan anak didik maksimal 15 anak.
Pemerintah wajib meningkatkan
kualitas persekolahan dengan penyediaan infrastruktur serta sarana
prasarananya. Fasilitas sekolah harus sama di semua provinsi, terutama di
kawasan Indonesia Timur yang tertinggal jauh dari Jawa.Itu tentu tugas yang
mahaberat meski bukan hal yang mustahil dilakukan. Yang juga sangat penting
ialah memunculkan paradigma bahwa ujian bukan hal yang menakutkan dan tidak
lulus bukan tanda masa depan yang buruk. Kalau kualitas pendidikan sudah
merata, pemerintah boleh berharap banyak pada sekolah untuk sepenuhnya
bertanggung jawab dalam kelulusan siswa.
Kita berharap anak-anak bahagia
ketika mereka belajar di sekolah. Ada UN atau tidak, mereka tetap
sungguh-sungguh belajar demi kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Kultur
belajar harus ditanamkan pada mental anak didik. Kehidupan membuka
lebar-lebar kesempatan untuk menjadi manusia unggulan, asal mau belajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar