(Tidak)
Melantik Budi Gunawan
Refly Harun ; Pengamat
dan Pengajar Hukum Tata Negara
|
DETIKNEWS,
02 Februari 2015
Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mengambil
kebijakan untuk akhirnya tidak melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan
sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri)?
Pertanyaan ini penting dikemukakan agar Jokowi tidak
memiliki keraguan ketika akhirnya harus memilih untuk tidak melantik Budi
Gunawan. Beberapa opini yang dikembangkan para politisi di Senayan, didukung
oleh praktisi hukum pembela Budi Gunawan plus satu-dua pakar hukum tata
negara, selalu menyatakan yang benar dari sudut hukum adalah melantik.
Ada tiga variasi dari pilihan melantik tersebut. Pertama,
melantik dan seterusnya menjadi Kapolri. Kedua, melantik dan memberhentikan
sementara Budi Gunawan. Ketiga, melantik dan memberhentikan secara permanen
Budi Gunawan.
Pilihan melantik tersebut terbilang problematik karena
status tersangka Budi Gunawan dikenakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Selama ini, KPK tidak pernah bermain-main dalam menetapkan status
tersangka seseorang karena UU Nomor 30 Tahun 2002 (UU KPK) tidak mengenal
surat perintah penghentian penyidikan. Siapa pun yang menjadi tersangka pasti
akan jadi terdakwa. Sebelum diajukan ke pengadilan, biasanya si tersangka
sudah akan ditahan. Hal yang sama sangat mungkin terjadi pula terhadap Budi
Gunawan.
Hingga titik ini, melantik sang terdakwa, dalam varian apa
pun, menjadi sangat dilematis dari sisi efektivitas. Budi Gunawan tidak akan
efektif menjalankan tugas sebagai seorang Kapolri dengan kondisi yang ada
saat ini. Dari sisi moralitas, sudah pasti melantik adalah pilihan yang
keliru. Langkah ini seperti tidak menghargai perjuangan era reformasi yang
telah menghilangkan banyak nyawa. Salah satu amanat reformasi adalah
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Melantik seorang tersangka
korupsi menjadi pejabat publik, dengan dalih apa pun, bisa ditafsirkan
sebagai telah berkhianat terhadap janji reformasi.
Pilihan untuk tidak melantik seorang tersangka karenanya
menjadi pilihan paling realistis, tentu dengan segala risiko yang harus
dihadapi. Risiko yang paling nyata adalah risiko dari sudut hukum dan
politik. Dari sisi politik, Presiden Jokowi telah berupaya memutus kembali
rantai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang
secara tiba-tiba tersambung dalam isu tersangka menjadi Kapolri.
Pertemuan Jokowi dengan Prabowo, plus dukungan Prabowo
terhadap apa pun kebijakan yang akan diambil Jokowi nantinya dalam kaitan
dengan soal Kapolri, Jumat (30/1/2015), menjadi pertanda bahwa rantai itu
mulai pisah kembali. Bisa jadi, ketika Jokowi akhirnya mengambil kebijakan
untuk tidak melantik Budi Gunawan, justru KMP yang pertama membekingi.
Bagaimana dengan KIH? Bisa jadi mereka pecah sendiri.
Sebagian ke Jokowi, sebagian tetap menuntut agar Budi Gunawan dilantik, yang
dalam konteks hari-hari belakangan ini dinilai sebagai keinginan kuat
Megawati. Atau, bukan tidak mungkin pula, karena khawatir terjadi perpindahan
politik, semua KIH pun akhirnya mendukung kebijakan Jokowi.
Cerita ini mirip kesepakatan tentang Perppu Pilkada yang
akhirnya diterima semua kekuatan politik yang ada, tanpa protes sama sekali.
Padahal, pada saat persetujuan pilkada langsung atau tidak langsung pada 26
September tahun lalu, persaingan begitu sengit hingga persetujuan baru
didapat dini hari.
Lima Model
Kembali kepada pertanyaan awal soal pilihan tidak melantik
tadi, saya termasuk yang berpendapat bahwa Presiden boleh mengajukan nama
lain meski pencalonan Budi Gunawan sudah atas persetujuan paripurna DPR,
asalkan ada alasan yang kuat dan rasional. Menyandang status tersangka dari
KPK menurut saya sudah sangat kuat untuk tidak melantik Budi Gunawan. Selain
tidak akan efektif, melantik Budi Gunawan akan menyulut kekecewaan publik
yang luar biasa terhadap Jokowi.
Dari praktik ketatanegaraan yang ada, setidaknya ada lima
model pejabat publik yang dipilih, diangkat atau dilantik presiden. Pertama,
pejabat yang semata-mata diangkat karena subyektivitas presiden. Setiap
waktu, presiden dapat mengangkat dan memberhentikan pejabat tersebut,
misalnya para menteri. Tentu saja subyektivitas tersebut dibatasi pula dengan
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Presiden tidak boleh menggunakan kekuasaan
dengan sewenang-wenang.
Kedua, pejabat publik yang dipilih dengan subyektivitas
presiden, tetapi harus dikonfirmasi terlebih dulu oleh cabang kekuasaan lain,
dalam hal ini DPR. Misalnya untuk jabatan Kapolri dan Panglima TNI. Subyektivitas
presiden dalam titik ini dibatasi oleh persetujuan atau penolakan DPR.
Pengangkatan baru dilakukan setelah nominasi presiden disetujui DPR.
Ketiga, pejabat publik yang dipilih melalui mekanisme tim
atau panitia seleksi yang pembentukannya diperintahkan undang-undang,
misalnya para anggota atau komisioner lembaga-lembaga independen semacam KPU,
KPK, dan Bawaslu. Presiden sama sekali tidak memiliki subyektivitas untuk
menerima atau menolak hasil seleksi, yang umumnya dipilih atau dikonfirmasi lagi
oleh DPR.
Keempat, pejabat publik yang dipilih oleh lembaga lain.
Misalnya, para hakim agung yang diseleksi oleh Komisi Yudisial dan kemudian
dikonfirmasi DPR, para anggota BPK yang dipilih DPR, para hakim kontitusi
yang dipilih MA dan DPR. Presiden juga tidak punya hak subyektivitas untuk
menolak nama-nama yang disodorkan.
Kelima, pejabat publik yang dipilih melalui pemilu. Untuk
pejabat publik yang dipilih melalui pemilu haram hukumnya bila hasilnya
dibatalkan presiden. Sebagai kepala negara, presiden hanya memiliki kewajiban
administrasi untuk menetapkan hasil pemilu yang telah ditetapkan lembaga yang
berwenang. Lembaga yang berwenang pun sebenarnya hanya meneruskan kehendak
rakyat yang telah memilih pejabat dimaksud.
Alasan Rasional
Dari kelima model tersebut, saya beranggapan ruang
subyektivitas presiden sangat besar pada model pertama dan kedua. Untuk model
kedua, di mana Kapolri termasuk di dalamnya, menurut saya, Presiden bisa saja
mengganti calon dalam konteks Budi Gunawan sebagaimana telah disebutkan di
atas.
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri tidak mengatur kondisi
sebagaimana yang dialami Budi Gunawan. Dalam kondisi yang demikian, karena
undang-undang tidak mengatur atau tidak jelas mengatur, presiden dapat
menggunakan kewenangan konstitusional yang ada padanya sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 untuk mengambil langkah-langkah yang
dibutuhkan. Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar.
Sebagai ilustrasi dapat dikatakan demikian. Seorang pemuda
meminta izin kepada orang tua seorang gadis untuk menjadikan anak gadisnya
sebagai istri. Izin atau persetujuan orang tua sudah diberikan, tetapi si
pemuda tiba-tiba berubah pikiran. Dia tidak jadi memperistri sang gadis.
Tindakan sang pemuda bisa saja mencuatkan soal etika atau fatsun bila tidak
dikomunikasikan secara baik. Namun, bila alasan sang pemuda kuat, misalnya ia
menemukan sang gadis berpacaran dengan pria lain, orang tua sang gadis harus
bisa menerimanya sebagai suatu kondisi yang menyebabkan persetujuan jadi
tidak berlaku lagi.
Sama halnya persetujuan DPR terhadap Kapolri. Bila setelah
adanya persetujuan DPR sang Kapolri berada dalam kondisi yang bakal
menyulitkan presiden, dan kita tahu presidenlah yang akan menjadi user
Kapolri tersebut, tidak pada tempatnya DPR tetap memaksakan pelantikan
Kapolri.
Saya berpandangan bahwa posisi DPR dalam pengajuan calon
Kapolri bersifat pasif. DPR hanya memiliki hak untuk menyetujui atau tidak
menyetujui (the right to confirm),
tetapi tidak boleh memaksa presiden untuk melantik calon yang telah
disetujui, sepanjang presiden memiliki alasan kuat dan rasional untuk tidak
melakukan pelantikan dan menggantinya dengan calon lain.
Sudah lebih dari dua pekan gonjang-ganjing soal Kapolri
ini terjadi. Sudah banyak ‘korban’ yang berjatuhan. Hampir semua pimpinan KPK
terkena imbasnya, diakui atau tidak. Masyarakat menjadi terbelah, antara yang
pro KPK dan berdiri di samping Polri. Internal pemerintahan sibuk kasak-kusuk.
Media dan para pengamat atau pakar juga ikut-ikutan terbelah. Jadi, tunggu
apa lagi, Pak Presiden! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar