Selasa, 03 Februari 2015

Praperadilan Bukan Forum Koreksi Penetapan Tersangka?

Praperadilan

Bukan Forum Koreksi Penetapan Tersangka?

Reda Manthovani  ;  Atase Kejaksaan
di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong
DETIKNEWS, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pengajuan praperadilan calon Kapolri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG), ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK sebagai tindakan yang tidak sah menuai banyak pendapat yang menegaskan bahwa praperadilan bukan forum untuk melakukan koreksi atas penetapan status tersangka.

Bahkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial, Suwardi, mengatakan pengajuan praperadilan calon Kapolri, Komjen BG, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terbilang langka. Oleh karena objek permohonan di praperadilan adalah mengenai sah tidaknya penahanan dan penangkapan. Bahkan seorang Guru Besar Tata Negara UGM dan Mantan Wamenkum HAM Denny Indrayana menilai praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan adalah jurus mabuk.

Apakah pengajuan pra peradilan terkait dengan penetapan status tersangka oleh penyidik pernah dilakukan? Tercatat, di PN Jaksel ada permohonan terkait penetapan status tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung RI yang dilakukan oleh Bachtiar Abdul Fatah (tersangka kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia).

Pada 27 September 2012 hakim tunggal Suko Harsono memutus penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. Namun Kejaksaan tidak mengindahkan putusan praperadilan itu dan Bachtiar tetap diproses dan diadili ke Pengadilan Tipikor. Bahkan Kejaksaan melaporkan hakim tersebut ke Komisi Yudisial yang akhirnya hakim tersebut dimutasikan ke Maluku.

Selain itu ada permohonan lainnya yaitu gugatan praperadilan atas status tersangka Toto Chandra. Pimpinan perusahaan Permata Hijau Group itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditjen Pajak pada 2009. Tak terima dengan penetapan tersangka ini, Toto lalu menggugat dengan mengajukan praperadilan ke PN Jaksel pada Agustus 2014. Hakim tunggal M Razzad mengabulkan permohonan tersebut dan membatalkan penetapan tersangka oleh Ditjen Pajak. Hakim Razzad kemudian dilaporkan ke KY.

Terlepas dari berbagai pendapat miring dan bahkan terkesan meremehkan permohonan praperadilan Budi Gunawan tersebut, penulis melihat pentingnya permohonan tersebut dan melihatnya sebagai momentum di mana masyarakat perlu mengetahui secara jelas bahwa tiadanya koreksi atau check and balance system atas tindakan penyidik selama ini yang dilakukan dengan mengatasnamakan untuk kepentingan penegakan hukum.

Apakah memang demikian tidak ada sistem check and balance dalam hukum acara pidana di Indonesia? Lalu dimanakah wewenang pra peradilan ?

Wewenang praperadilan berdasarkan Pasal 1 butir 20 dan Pasal 77 KUHAP ditegaskan sebagai wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:
(1) Sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.
(2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
(3) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Berkaitan dengan kewenangan praperadilan tersebut, Andi Hamzah mengatakan bahwa hakim praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Jaksa dan Penyidik, padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketenteraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang”.

Selain itu Luhut Pangaribuan juga memandang bahwa pra peradilan tidak efektif untuk memberikan perlindungan terhadap kekuasaan penyidik yang besar dan keliru dijalankan karena faktor undang-undang. Oleh karena kewenangan tersebut ada setelah semuanya terjadi dan bukan pada saat hal-hal itu akan dilakukan dalam penyidikan.

Berdasarkan pendapat beberapa pakar hukum di atas dapat ditegaskan bahwa pra peradilan tidak mengatur masalah pengujian atas keabsahan tindakan penyidik selain tindakan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak sah. Dengan demikian hukum acara pidana yang berlaku berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.

Di Amerika Serikat contoh mekanisme pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti dapat dilihat dalam kasus Dominique Straus Kahn yang dituduh melakukan perkosaan terhadap Nafissatou Diallo di Hotel Manhattan New York pada tahun 2011. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada Agustus 2011, setelah adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi korban, termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten tentang apa yang terjadi.

Mengapa alat bukti perlu diuji keabsahan perolehannya? Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti yaitu :

Pertama, rights protection by the state.

Terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik dalam upaya menemukan alat bukti terkadang dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah.

Kedua, deterrence (disciplining the police).

Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin mengecualikan/mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaatnya yang bisa diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar hukum akan menurun drastis.

Ketiga, the legitimacy of the verdict.

Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan penuntut umum menyajikan alat bukti yang di dapat secara tidak sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya.

Adanya celah hukum dalam hukum acara pidana di atas apabila dikaitkan dengan teori sistem peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L Packer, maka hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur adanya obstacles course sebagai bentuk tahapan hukum acara pidana yang terbuka dan dapat diuji oleh pihak-pihak terkait.

Sehingga dikhawatirkan timbulnya ekses penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dari aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Selain itu hal tersebut dapat juga mengurangi atau meniadakan prinsip presumption of innocence, oleh karena aparat penegak hukum berdasarkan diskresinya sendiri dapat menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak tanpa ada kekhawatiran bahwa diskresinya tersebut dapat diuji sebelum proses peradilan dimulai. Diskresi tersebut dilakukan untuk mempercepat proses penanganan suatu peristiwa pidana. Situasi tersebut menurut Herbert L Packer dikategorikan ke dalam Crime Control Model.

Crime Control Model (CCM) berupaya mencapai tingkat keberhasilannya dengan barometer tingginya tingkat pengungkapan dan pemidanaan yang dikaitkan dengan besarnya kasus yang dihadapi namun SDM yang dimiliki terbatas. Sehingga diperlukan efisiensi dalam criminal process. Hal tersebut oleh Packer disebut sebagai “a premium on speed and finality”. Speed tergantung atas informalitas dan finality tergantung dengan meminimalisir pemberian kesempatan untuk pengajuan keberatan atau pengujian.

Tujuan utama dari proses peradilan pidana dalam CCM lebih mengutamakan ketertiban umum (public order) dan efisiensi. Pada model ini berlaku secara cepat dalam rangka pemberantasan kejahatan dan berlaku apa yang disebut “presumption of guilt”. Kelemahan dalam model ini adalah seringkali terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia demi efisiensi dan ketertiban umum.

Seharusnya hukum acara pidana Indonesia menerapkan prinsip due process model. Packer mengibaratkan due process model sebagai suatu obstacle course (lari dengan rintangan atau lari gawang). Due process menerapkan pencegahan dan meminimalisir kesalahan seluas mungkin dalam criminal process. Proses ini lebih menghormati realita atau fact-finding processes.

Hal tersebut dipandang masih terdapat kemungkinan kesalahan manusia dalam proses penanganan perkara dan untuk meminimalkan serta mencegah terjadinya kesalahan tersebut maka dibuat tahapan berupa tatacara yang terbuka dan dapat diuji pihak-pihak terkait. Misalnya, tersangka/terdakwa diberikan kesempatan untuk menguji proses yang telah dilakukan aparat penegak hukum tersebut seperti forum praperadilan sehingga pada setiap tahapan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses beracaranya harus melalui rintangan berupa tata cara yang harus dipenuhi.

Dalam due process diberlakukan apa yang dinamakan dengan “presumption of innocence”. Sehingga tatacara yang dibuat akan bersinergi dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa model ini mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia melalui pembatasan kekuasaan dalam proses beracara pidana.

Aparat penegak hukum ketika melaksanakan fungsi “penyelidikan”, “penyidikan” dan “penuntutan”, telah diberikan kewenangan untuk memanggil, menggeledah, menahan tersangka dan menyita barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: due process of Law.

Dengan demikian permasalahan permohonan praperadilan Budi Gunawan, bukan hanya sekedar bahwa permohonannya akan ditolak hakim atau sebagai jurus mabuk Budi Gunawan, namun pembelajaran utama bagi masyarakat Indonesia tentang hal ini adalah bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh, oleh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya.

Sebenarnya Indonesia sedang berupaya memperbaiki celah hukum tersebut dengan memperbaikinya dalam RUU KUHAP Pasal 111 ayat (1) huruf a. RUU KUHAP telah memperkenalkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan, sehingga segala tindakan penyidik dapat dikontrol oleh hakim pemeriksa pendahuluan.

Saat ini, KUHAP tidak mengatur pengujian keabsahan perolehan alat bukti dan kedudukan hakim praperadilan dalam fase praadjudikasi menjadi tidak efektif untuk memberi perlindungan terhadap kekuasaan penyidik yang besar dan keliru oleh karena perannya yang hanya bersifat post facto. Namun RUU KUHAP yang sudah disampaikan ke DPR sejak Desember 2013 belum ada tanda-tanda akan dibahas.


Referensi
1. http://www.tempo.co/read/news/2015/02/01/063639053/MA-Gugatan-Praperadilan-Budi-Gunawan-Sulit, diakses pada tanggal 1 Februari 

2. http://www.merdeka.com/peristiwa/denny-indrayana-pra peradilan-budi-gunawan-jurus-pendekar-mabuk.html, diakses pada tanggal 1 
Februari 2015.

3. http://www.tempo.co/read/news/2015/02/01/063639053/ MA-Gugatan-Praperadilan-Budi-Gunawan-Sulit di akses pada tanggal 1 Februari 
2015.

4. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

5. Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Ad Hoc – Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009., hal. 183-184.

6. http://www.antaranews.com/berita/347944/strauss-kahn-selesaikan-kasus-seksual-pekerja-hotel diakses pada tanggal 1 Februari 2015.

7. Paul Roberts and Adrian Zuckerman, Criminal Evidence. (New York: Oxford University Press Inc, reprinted 2008), ha. 149-159.


8. Herbert L. Packer, Two Models of the Criminal Process. Stanford: Stanford University Press, 1968.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar