Praperadilan
Bukan
Forum Koreksi Penetapan Tersangka?
Reda Manthovani ; Atase
Kejaksaan
di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong
|
DETIKNEWS,
02 Februari 2015
Pengajuan praperadilan calon Kapolri, Komisaris Jenderal
Budi Gunawan (Komjen BG), ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan
dirinya sebagai tersangka oleh KPK sebagai tindakan yang tidak sah menuai
banyak pendapat yang menegaskan bahwa praperadilan bukan forum untuk
melakukan koreksi atas penetapan status tersangka.
Bahkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial,
Suwardi, mengatakan pengajuan praperadilan calon Kapolri, Komjen BG, ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terbilang langka. Oleh karena objek
permohonan di praperadilan adalah mengenai sah tidaknya penahanan dan
penangkapan. Bahkan seorang Guru Besar Tata Negara UGM dan Mantan Wamenkum
HAM Denny Indrayana menilai praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi
Gunawan adalah jurus mabuk.
Apakah pengajuan pra peradilan terkait
dengan penetapan status tersangka oleh penyidik pernah dilakukan? Tercatat, di PN Jaksel ada
permohonan terkait penetapan status tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung
RI yang dilakukan oleh Bachtiar Abdul Fatah (tersangka kasus proyek
bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia).
Pada 27 September 2012 hakim tunggal Suko Harsono memutus
penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. Namun Kejaksaan tidak mengindahkan
putusan praperadilan itu dan Bachtiar tetap diproses dan diadili ke
Pengadilan Tipikor. Bahkan Kejaksaan melaporkan hakim tersebut ke Komisi
Yudisial yang akhirnya hakim tersebut dimutasikan ke Maluku.
Selain itu ada permohonan lainnya yaitu gugatan
praperadilan atas status tersangka Toto Chandra. Pimpinan perusahaan Permata
Hijau Group itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditjen Pajak pada 2009. Tak
terima dengan penetapan tersangka ini, Toto lalu menggugat dengan mengajukan
praperadilan ke PN Jaksel pada Agustus 2014. Hakim tunggal M Razzad
mengabulkan permohonan tersebut dan membatalkan penetapan tersangka oleh
Ditjen Pajak. Hakim Razzad kemudian dilaporkan ke KY.
Terlepas dari berbagai pendapat miring dan bahkan terkesan
meremehkan permohonan praperadilan Budi Gunawan tersebut, penulis melihat
pentingnya permohonan tersebut dan melihatnya sebagai momentum di mana
masyarakat perlu mengetahui secara jelas bahwa tiadanya koreksi atau check and balance system atas tindakan
penyidik selama ini yang dilakukan dengan mengatasnamakan untuk kepentingan
penegakan hukum.
Apakah memang demikian tidak ada sistem check and balance
dalam hukum acara pidana di Indonesia? Lalu dimanakah wewenang pra peradilan
?
Wewenang praperadilan berdasarkan Pasal 1 butir 20 dan
Pasal 77 KUHAP ditegaskan sebagai wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus:
(1) Sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.
(2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
(3) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.
Berkaitan dengan kewenangan praperadilan tersebut, Andi
Hamzah mengatakan bahwa hakim praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk
menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh
Jaksa dan Penyidik, padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah
satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan
pelanggaran terhadap ketenteraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula
penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik
orang”.
Selain itu Luhut Pangaribuan juga memandang bahwa pra
peradilan tidak efektif untuk memberikan perlindungan terhadap kekuasaan
penyidik yang besar dan keliru dijalankan karena faktor undang-undang. Oleh
karena kewenangan tersebut ada setelah semuanya terjadi dan bukan pada saat
hal-hal itu akan dilakukan dalam penyidikan.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar hukum di atas dapat
ditegaskan bahwa pra peradilan tidak mengatur masalah pengujian atas
keabsahan tindakan penyidik selain tindakan penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak sah. Dengan demikian hukum
acara pidana yang berlaku berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP tidak
menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary)
atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.
Di Amerika Serikat contoh mekanisme pengujian terhadap
keabsahan perolehan alat bukti dapat dilihat dalam kasus Dominique Straus
Kahn yang dituduh melakukan perkosaan terhadap Nafissatou Diallo di Hotel
Manhattan New York pada tahun 2011. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada
Agustus 2011, setelah adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi korban,
termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten tentang apa yang terjadi.
Mengapa alat bukti perlu diuji keabsahan perolehannya?
Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip yang mendasari perlunya
mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti yaitu :
Pertama, rights
protection by the state.
Terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik dalam upaya
menemukan alat bukti terkadang dilakukan dengan melanggar hak asasi calon
tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak
yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat
bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah
benar-benar diambil secara sah.
Kedua, deterrence
(disciplining the police).
Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil
atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/menghalangi para penyidik
maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang.
Apabila hakim secara rutin mengecualikan/mengesampingkan alat bukti yang
didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat
jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaatnya yang bisa
diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar
hukum akan menurun drastis.
Ketiga, the
legitimacy of the verdict.
Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang
dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem
peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan
penuntut umum menyajikan alat bukti yang di dapat secara tidak sah, maka
sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera
mengurangi rasa hormatnya.
Adanya celah hukum dalam hukum acara pidana di atas
apabila dikaitkan dengan teori sistem peradilan pidana yang dikemukakan oleh
Herbert L Packer, maka hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur adanya obstacles course sebagai bentuk
tahapan hukum acara pidana yang terbuka dan dapat diuji oleh pihak-pihak
terkait.
Sehingga dikhawatirkan timbulnya ekses penyalahgunaan
kekuasaan dan sifat otoriter dari aparat penegak hukum dalam menjalankan
kewenangannya. Selain itu hal tersebut dapat juga mengurangi atau meniadakan
prinsip presumption of innocence,
oleh karena aparat penegak hukum berdasarkan diskresinya sendiri dapat
menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak tanpa ada kekhawatiran
bahwa diskresinya tersebut dapat diuji sebelum proses peradilan dimulai.
Diskresi tersebut dilakukan untuk mempercepat proses penanganan suatu
peristiwa pidana. Situasi tersebut menurut Herbert L Packer dikategorikan ke
dalam Crime Control Model.
Crime Control Model (CCM) berupaya mencapai tingkat
keberhasilannya dengan barometer tingginya tingkat pengungkapan dan
pemidanaan yang dikaitkan dengan besarnya kasus yang dihadapi namun SDM yang
dimiliki terbatas. Sehingga diperlukan efisiensi dalam criminal process. Hal tersebut oleh Packer disebut sebagai “a premium on speed and finality”. Speed tergantung atas informalitas dan
finality tergantung dengan
meminimalisir pemberian kesempatan untuk pengajuan keberatan atau pengujian.
Tujuan utama dari proses peradilan pidana dalam CCM lebih
mengutamakan ketertiban umum (public
order) dan efisiensi. Pada model ini berlaku secara cepat dalam rangka
pemberantasan kejahatan dan berlaku apa yang disebut “presumption of guilt”. Kelemahan dalam model ini adalah
seringkali terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia demi efisiensi dan
ketertiban umum.
Seharusnya hukum acara pidana Indonesia menerapkan prinsip
due process model. Packer mengibaratkan due
process model sebagai suatu obstacle
course (lari dengan rintangan atau lari gawang). Due process menerapkan pencegahan dan meminimalisir kesalahan
seluas mungkin dalam criminal process. Proses ini lebih menghormati realita
atau fact-finding processes.
Hal tersebut dipandang masih terdapat kemungkinan
kesalahan manusia dalam proses penanganan perkara dan untuk meminimalkan
serta mencegah terjadinya kesalahan tersebut maka dibuat tahapan berupa
tatacara yang terbuka dan dapat diuji pihak-pihak terkait. Misalnya,
tersangka/terdakwa diberikan kesempatan untuk menguji proses yang telah dilakukan
aparat penegak hukum tersebut seperti forum praperadilan sehingga pada setiap
tahapan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses beracaranya harus
melalui rintangan berupa tata cara yang harus dipenuhi.
Dalam due process
diberlakukan apa yang dinamakan dengan “presumption
of innocence”. Sehingga tatacara yang dibuat akan bersinergi dengan
perlindungan atas hak asasi manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
model ini mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia melalui
pembatasan kekuasaan dalam proses beracara pidana.
Aparat penegak hukum ketika melaksanakan fungsi
“penyelidikan”, “penyidikan” dan “penuntutan”, telah diberikan kewenangan
untuk memanggil, menggeledah, menahan tersangka dan menyita barang yang
dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi dalam melaksanakan
kewenangannya tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: due process of Law.
Dengan demikian permasalahan
permohonan praperadilan Budi Gunawan, bukan hanya sekedar bahwa permohonannya
akan ditolak hakim atau sebagai jurus mabuk Budi Gunawan, namun pembelajaran
utama bagi masyarakat Indonesia tentang hal ini adalah bahwa Hukum Acara
Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due
process of law secara utuh, oleh karena tindakan aparat penegak hukum
dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian
keabsahan perolehannya.
Sebenarnya Indonesia sedang berupaya memperbaiki celah
hukum tersebut dengan memperbaikinya dalam RUU KUHAP Pasal 111 ayat (1) huruf
a. RUU KUHAP telah memperkenalkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan,
sehingga segala tindakan penyidik dapat dikontrol oleh hakim pemeriksa
pendahuluan.
Saat ini, KUHAP tidak mengatur pengujian keabsahan
perolehan alat bukti dan kedudukan hakim praperadilan dalam fase
praadjudikasi menjadi tidak efektif untuk memberi perlindungan terhadap
kekuasaan penyidik yang besar dan keliru oleh karena perannya yang hanya
bersifat post facto. Namun RUU
KUHAP yang sudah disampaikan ke DPR sejak Desember 2013 belum ada tanda-tanda
akan dibahas. ●
Referensi
|
1.
http://www.tempo.co/read/news/2015/02/01/063639053/MA-Gugatan-Praperadilan-Budi-Gunawan-Sulit,
diakses pada tanggal 1 Februari
2. http://www.merdeka.com/peristiwa/denny-indrayana-pra peradilan-budi-gunawan-jurus-pendekar-mabuk.html, diakses pada tanggal 1
Februari 2015.
3. http://www.tempo.co/read/news/2015/02/01/063639053/ MA-Gugatan-Praperadilan-Budi-Gunawan-Sulit di akses pada tanggal 1 Februari
2015.
4. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
2. http://www.merdeka.com/peristiwa/denny-indrayana-pra peradilan-budi-gunawan-jurus-pendekar-mabuk.html, diakses pada tanggal 1
Februari 2015.
3. http://www.tempo.co/read/news/2015/02/01/063639053/ MA-Gugatan-Praperadilan-Budi-Gunawan-Sulit di akses pada tanggal 1 Februari
2015.
4. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
5. Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan
Hakim Ad Hoc – Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.,
hal. 183-184.
6. http://www.antaranews.com/berita/347944/strauss-kahn-selesaikan-kasus-seksual-pekerja-hotel
diakses pada tanggal 1 Februari 2015.
7. Paul Roberts and Adrian Zuckerman,
Criminal Evidence. (New York: Oxford University Press Inc, reprinted 2008), ha.
149-159.
8. Herbert L. Packer, Two Models of the
Criminal Process. Stanford: Stanford University Press, 1968.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar