Minggu, 01 Februari 2015

Pi-Kai

Pi-Kai

Goenawan Mohamad  ;  Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,

mencari Tuhan di Bait Al-Ka'bah.

Dari Barus ke Qudus terlalu payah,

akhirnya dijumpa di dalam Rumah.


Empat abad semenjak Hamzah Fansuri mencari Tuhan di Ka'bah dan menulis syair Sidang Ahli Suluk, ada seorang makhluk angkasa luar yang dengan susah payah juga mencari Tuhan.

Dengan catatan: ini sebuah dongeng modern. Persisnya, sebuah satire. Saya mengikutinya, dan menikmatinya, di sebuah bioskop: film PK, karya sutradara Rajkumar Hirani.

"PK" adalah nama yang diberikan kepada sesosok makhluk angkasa luar yang turun di Rajasthan, dari kata "pi-kai", kata Hindi yang kurang-lebih berarti "slebor". Makhluk itu, dimainkan oleh aktor Aamir Khan dengan sangat bagus, dianggap manusia bumi sebagai seseorang yang oleng pikirannya.

Ia memang tampak demikian. Begitu turun ke bumi, alat komunikasinya dengan pesawat ruang angkasanya dicuri orang. Ia memburu benda itu-tapi ia tak bisa berbahasa manusia. Ia sosok yang ganjil. Ke mana-mana ia bertelanjang bulat. Ia baru mendapatkan pakaian dari mencuri baju dan celana pasangan manusia yang menanggalkan pakaiannya untuk bersetubuh di dalam mobil yang diparkir. 

Setelah melalui salah paham yang merepotkan, ia baru bisa berbahasa manusia-dalam hal ini bahasa Bhojpuri-setelah menyedot isi kesadaran seorang pelacur dengan cara memegang tangannya erat-erat selama beberapa jam.

Dengan kecakapan baru itu ia meneruskan perjalanannya mendapatkan kembali instrumennya yang hilang. Ia ke Delhi. Tapi tentu saja di kota dengan penduduk lebih dari 11 juta itu ia ibarat mencari sebutir kedelai dalam unggunan kacang polong. Hanya Tuhan yang tahu, begitu ia dengar orang menjawab pertanyaannya.

Maka ia pun mencari Tuhan.

Ia tak tahu bagaimana wujud Tuhan. Ia pun datang ke dalam kuil Hindu, gereja Katolik, masjid, dan menjalani ritual yang (menurut kata orang) dikehendaki Tuhan agar permintaannya dipenuhi. Ia mencoba-dalam keadaan putus asa-berhubungan dengan Yang Maha-Tahu dan Maha-Penolong. Tapi orang ramai tak paham. Ia malah dikejar-kejar karena dianggap mencemari apa yang sakral.

Akhirnya ia mulai melihat bahwa berhubungan dengan Tuhan sebagaimana ditentukan agama-agama tak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan teperdaya. Bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang negatif. Manusia di dunia mencoba mengontak yang ilahi, tapi itu seperti seseorang yang menelepon dan tersambung pada nomor yang salah dan mendapat jawaban yang bukan dari Tuhan sendiri.

"Salah nomor" adalah sindiran film ini kepada agama-agama. Di balik nomor yang salah itu yang bersuara adalah kehausan manusia akan kuasa. Personifikasinya adalah seseorang yang diagung-agungkan sebagai aulia besar, Tapasvi Maharaj. Orang bertubuh tambun dan tinggi ini dengan efektif mempertontonkan wibawa. Ia mengeluarkan fatwa dan petunjuk yang diyakini umat, meskipun menyesatkan. Umat takut, mereka cemas, dan dengan mudah mempercayainya. Juga ketika fatwa itu tak adil, atau menimbulkan penderitaan, atau meminta orang mempersembahkan segalanya untuk kemegahan sang pemberi sabda.

Akhirnya PK membongkar semua itu: kita telah "salah nomor". Dan di mana Tuhan? Tetap tak ada yang tahu, meskipun iman tetap utuh.

Yang jelas, penghuni angkasa luar itu mendapatkan kembali alat komunikasi yang dicarinya dengan susah payah karena persentuhannya dengan manusia-dalam hal ini Jaggu (dimainkan Anushka Sharma), seorang gadis presenter TV yang dengan setia mendampinginya.

Juga seseorang yang mengalami bagaimana agama-agama memisahkannya dari laki-laki yang dicintainya, Sarfaraz, seorang pria muslim, hidup di Pakistan.
Dengan kata lain, Tuhan yang tak tampak, yang selamanya dicari, sebenarnya dapat ditemui ketika seseorang terketuk hatinya oleh seorang lain, melampaui ketakutan, kecurigaan, dan kebencian. Satire yang kocak dan tajam dalam PK mengandung sesuatu yang sering diingatkan seorang sufi.

Ada bait lain dalam Sidang Ahli Suluk yang seperti itu:

Sidang Faqir empunya kata,

Tuhanmu Zahir terlalu nyata.

Jika sungguh engkau bermata,

lihatlah dirimu rata-rata.

Tuhan "terlalu nyata", bila kita tak menutup mata kita sebagai bagian dari sesama yang fana, tapi sebenarnya tak bisa disimpulkan dengan gampangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar