Minggu, 08 Februari 2015

Serangan Balik

Serangan Balik

M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Jika pemimpin selalu ribut dan tidak bisa menyelesaikan masalah, alam yang nanti menyelesaikannya. (Jaro Dainah, pemimpin suku Baduy, 31 Desember 2014)

Membuka tahun 2015, panggung politik kita seperti arena kucing berkelahi: terlalu berisik. Kegaduhan politik yang berlangsung sejak 2014 ini sudah sangat membosankan dan memuakkan. Ketika banyak pemimpin negeri ini cakar-cakaran, terngiang kisah Bung Hatta (1902-1980) dan mimpi sepatu Bally-nya yang dikutip berbagai media. Alkisah, pada 1950-an, Bung Hatta mungkin hanya bisa menelan ludah saat menatap sepasang sepatu Bally di etalase toko. Ingin sekali pendiri bangsa ini memiliki sepatu branded itu. Namun, Bung Hatta tak punya uang cukup. Sampai akhir hayatnya, Bung Hatta tak pernah punya sepatu dambaannya itu kecuali hanya bisa menyimpan guntingan iklannya. Bung Hatta adalah pemimpin bersih dan mengandalkan keringat sendiri.

Memang ironis! Padahal, semahal apa pun harga sepatu itu takkan pernah sebanding dengan perjuangan Bung Hatta. Di bawah tekanan dan ancaman, Bung Hatta bersama Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan bangsa, 1945. Demi membebaskan bangsa ini dari penindasan penjajah, Bung Hatta tak menyerah walau mendekam di penjara. Bung Hatta tak ciut nyalinya ketika dibuang ke Boven Digoel, belantara di pedalaman Papua yang merupakan sarang penyakit malaria. Digoel adalah kuburan para pejuang karena sedikit orang yang bisa kembali dari Digoel. Bung Hatta juga tak goyah ketika diasingkan ke Banda, pulau terpencil di Laut Banda yang kedalamannya sekitar 4.000 meter.

Pemimpin sejati memang tidak lahir setiap zaman. Jauh sekali membandingkan reputasi Bung Hatta dan segenerasinya dengan pemimpin kita sekarang. Ibarat langit dan bumi. Sebagai rakyat, kita sangat malu karena elite penyelenggara negara sekarang tidak benar-benar serius mengurus rakyat dan negeri ini, tetapi malah bertengkar sendiri. Sejak penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan—calon Kapolri—sebagai tersangka korupsi, perseteruan KPK dan Polri kali ini memasuki fase menyebalkan akibat terlalu lama ditangani.

Banyak pihak yang kemudian memancing di air keruh. Mereka yang dulu menjadi target KPK atau terlibat kasus tertentu kini memanfaatkan momentum. Politisi PDI-P yang menyasar Ketua KPK Abraham Samad—terkait lobi politik pada pilpres lalu—sesungguhnya telah melumpuhkan KPK. Publik semakin jelas melihat hubungan pencalonan BG dan PDI-P. Dan, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) juga sudah jadi tersangka kasus pengarahan keterangan palsu di sidang MK. BW sempat ditangkap dengan cara diborgol. Komnas HAM menilai ada pelanggaran HAM. Bandingkan dengan tersangka KPK yang selalu tersenyum dan melambaikan tangan seusai diperiksa KPK. BW sudah mengajukan pengunduran diri dan bersedia diperiksa polisi, tetapi BG sampai hari ini belum mau mundur dan mengajukan praperadilan. Menurut Anda, pemimpin mana yang memberikan keteladanan? Lalu, komisioner KPK lainnya (Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain) juga dilaporkan ke polisi. Jika para komisioner terlibat pidana, tentu persamaan di depan hukum. Namun, kali ini hanya mereka yang pandir bilang tidak ada kriminalisasi KPK.

Sejak lahir, KPK sudah berada dalam sasaran tembak. Sebab, KPK begitu banyak menjerat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk penegak hukum) korup. Negeri ini seperti mengalami pembusukan akut. Aparat kotor ditangkap, tetapi aparat bersih tak perlu khawatir. KPK dibentuk karena Polri dan Kejagung tidak mampu menuntaskan korupsi. Seharusnya mereka berterima kasih kepada KPK karena KPK-lah yang mengerjakan tugas-tugas yang gagal diemban Polri dan Kejagung.

Kini, KPK di ujung tanduk. Serangan balik pada KPK pun sulit terbantahkan. Dalam pertandingan sepak bola, serangan balik bisa sangat mematikan. Sebab, kekuatan total dikonsentrasikan dalam serangan balik itu. Tindakan cepat dan tegas Presiden Joko Widodo sangat dinanti. Sebagaimana diajarkan Bung Hatta, tekanan tidak menggoyahkan komitmen meski sekarang Presiden seakan-akan sendirian. Namun, pertemuan dengan Prabowo Subianto dan BJ Habibie, tim independen, serta tentunya arus besar rakyat menunjukkan Presiden tidaklah sendirian.

Memang di era rezim partai-partai, nasib Presiden yang bukan ketua partai seperti bandul. Terayun-ayun, terlempar, telontar, terombang-ambing. Namun, Presiden Jokowi itu dipilih rakyat, bukan oleh partai. Partai cuma jadi kendaraan yang mencalonkan. Dalam hal ini, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) luar biasa karena berani keluar dari partai saat ribut-ribut RUU Pilkada tahun lalu. Kini, partai-partai justru gagal menjalankan salah satu fungsinya sebagai sarana pengatur konflik (conflict management). Partai tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menjadi biang kerok konflik politik.

Di antara konflik dan serangan balik ini, Presiden Jokowi tak boleh lengah. Sejarah akan mencatat apakah Presiden Jokowi menjadi penyelamat KPK atau penghancur KPK? Rasanya mustahil Presiden Jokowi menggadaikan mandat rakyat. Marcus Tullius Cicero (107-44 SM), negarawan Romawi, tak pernah gentar walau semua pihak berkuasa di Romawi menekannya. Kata Bung Hatta, politisi harus berkarakter, punya karakter berarti punya pendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar