Minggu, 08 Februari 2015

Ibu Politik

Ibu Politik

Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan
KOMPAS, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SEORANG ibu tersentak kaget mendengar anaknya aktif di partai politik. Lebih cemas lagi setelah sang ibu mengetahui bahwa pilihan anaknya itu sudah final, tidak bisa ditawar lagi.

”Untuk apa aku berkorban nyawa melahirkan kamu jika ujung-ujungnya cuma jadi orang parpol?” gerutu sang ibu.

Sang ibu membatin. Ini bukan tahun 1950-an, di mana parpol masih jadi entitas politik yang memiliki kemuliaan perjuangan ideologis. Waktu itu,  orang dengan sadar masuk parpol karena terpanggil untuk berjuang mewujudkan cita-cita besar kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam bingkai peradaban.

Parpol dan kios kelontong

Dari catatan sejarah, sang ibu itu tahu bahwa ibu-ibu para politikus-pejuang sangat bangga atas kiprah anaknya. Sukarno muda, Sjahrir muda, Bung Hatta muda, Tan Malaka muda, Ki Hadjar Dewantara muda, dan tokoh-tokoh lainnya bukan hanya telah sukses mengantarkan bangsanya merdeka, melainkan juga mendirikan dan membangun negara berperadaban tinggi. Seluruh pengorbanan dan penderitaan ibu-ibu mereka pun  menjadi tak lagi berarti.

Sang Ibu sangat paham, jagat politik bukan tempat untuk mencari penghidupan, apalagi untuk menumpuk kekayaan. Karena itu, kata kunci dalam politik bukan profesi dan profit, tetapi dedikasi penuh passion yang berbasis pada integritas, komitmen, dan kapabilitas (visi, misi, kreativitas, dan karya). Jadi, berpolitik itu sesungguhnya mencipta, berkarya, atau melahirkan karya-karya agung bermakna bagi kemanusiaan.

”Dunia politik itu sakral, Nak,” ujar sang ibu.

Ada nasib jutaan rakyat yang dipertaruhkan di sana. Ada kehormatan serta martabat bangsa dan negara yang harus diperjuangkan. Dan, kamu pun harus paham, doa kebaikan  jutaan rakyat itu telah luluh dalam setiap huruf, kata, kalimat, serta makna pasal dan ayat konstitusi. Bagi rakyat, konstitusi adalah pusaka, nilai-nilai yang dijunjung tinggi.

Oleh karena itu, kamu tak bisa menganggap konstitusi adalah dongeng, yang kamu olok-olok dan kamu singkirkan di gudang sejarah. Kamu juga  tak bisa sembarangan mengacak-acak undang-undang, peraturan, dan sistem negara demi menggaruk keuntungan, makan dengan kemaruk, atau mengejar kamukten (kejayaan material). Jika hal itu kamu lakukan, kamu pasti kena kutuk. Kamu hanya memperoleh kehinaan dan penderitaan yang tidak bisa kamu tebus dengan harta bendamu yang menggunung itu.

Kamu pun tak bisa mengelabui rakyat untuk menabiri perilakumu yang hipokrit karena sejatinya rakyat bisa mengendus seluruh detak nadimu yang dipenuhi nafsu. Citra kebesaranmu akan rontok digerogoti kecerdasan rakyat yang luluh dalam kearifan waktu. Karismamu pun  akan lumer, leleh, dan mencair. Kamu hanya bisa merasa terhormat, tetapi sejatinya rakyat tidak lagi menghormati dirimu. Kepercayaan rakyat telah sirna.

Sambil menangis dalam batinnnya, sang ibu itu berkata, parpol sekarang tidak lebih dari kios kelontong yang menjual jasa. Ideologinya adalah laba.

Kalian bikin legislasi dan regulasi hanya dijual kepada penguasa-penguasa kapital yang tidak jelas komitmen kebangsaan atau kerakyatannya atau kepada penanam modal asing yang menggaruk kekayaan negara kita. Kalian bangga menjadi bagian dari lengan-lengan kekuasaan mereka, tanpa mampu membayangkan jutaan rakyat diterkam kemiskinan ganas.

Setiap hari kamu dan kalian hanya memberi ilusi kesejahteraan kepada rakyat. Di balik itu, kamu dan kalian bersekongkol dengan komunitas politik hitam, komunitas ekonomi hitam, dan komunitas hukum hitam untuk menggaruk kekayaan negara. Sandiwara kalian seolah sempurna ketika kalian pasang beberapa pemimpin yang baik dan jujur. Mereka tidak lebih dari kembang atau umbul-umbul penanda bahwa ”negeri ini dikelola para pemimpin yang bersih dan jujur, merakyat, serta hanya tunduk pada konstitusi”.

Juragan-juragan politik

Dalam praktiknya, para pemimpin yang baik, jujur, dan bersih itu tidak memiliki kekuasaan apa pun. Mereka harus tunduk pada juragan-juragan politik yang mampu mengendalikan parlemen, kabinet, dan lembaga yudikatif. Dengan mata dan telinga batinnnya, rakyat tahu semua itu, Nak. Kamu tidak bisa bohong.

Nak, jalan kita memang berbeda, kata sang ibu. Kamu berhak menentukan pilihanmu, tetapi aku pun berhak menentukan sikapku. Sebagai ibu, aku selalu mendoakan agar kamu tetap mampu membedakan tangan kanan dan tangan kiri serta  tetap berjalan dengan dua kaki, tidak empat kaki. Aku pun berharap, kamu mampu membedakan janji, ilusi, kebohongan, konsistensi, kerja keras, dan dedikasi.

Jika kamu tidak mampu memenuhi semua harapanku, aku akan sangat kecewa, tetapi tak bisa memaksa. Namun, percayalah, semua pilihan ada ongkosnya. Kelak, semua itu akan kamu bayar dengan penderitaan dan kehinaan hingga kamu sadar akan pentingnya menjadi manusia, menjadi politikus mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar