Senin, 09 Februari 2015

Rekonsiliasi Bangsa

Rekonsiliasi Bangsa

Rendy Pahrun Wadipalapa  ;  Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
KOMPAS, 07 Februari 2015



TAK banyak yang tahu, Hari Hak Asasi Manusia yang berlangsung setiap 10 Desember pada tahun lalu diperingati dengan memutar film Senyap (Look of Silence). Ini adalah film dokumenter karya sineas Joshua Oppenheimer, yang bertolak dari peristiwa 1965 di Sumatera Utara dan kemudian dikontekskan dengan kekinian.

Film ini berfokus pada tokoh Adi Rukun, tukang kacamata yang kakaknya, Ramli, menjadi salah satu korban pembunuhan anti komunis secara kejam, dengan luka di perut dan sekujur tubuh.

Dikisahkan di sana upaya Adi Rukun menjumpai satu per satu tokoh yang menjagal kakaknya, yang seluruhnya kini telah renta dan mulai pikun. Adi hanya menuntut pengakuan dan permintaan maaf, sebuah ikhtiar rekonsiliasi yang sulit dibayangkan bisa terjadi pada sebuah tragedi kemanusiaan yang makin dilupakan.

Pada film Senyap, frustrasi keluarga korban mencuat secara menyakitkan. Mereka dicampakkan bukan hanya secara sosial, melainkan juga secara politik. Negara berada dalam posisi absen, tetapi pada saat yang bersamaan juga hadir.

Negara absen tatkala tidak ada satu saluran pun dapat dipakai keluarga korban untuk sekadar mengadu, apalagi menuntut keadilan. Akan tetapi, negara juga hadir ketika satu per satu para jagal itu mengaku bahwa militer—dan ini adalah representasi negara—secara aktif memfasilitasi pembunuhan masyarakat sipil oleh sesamanya.

Pada situasi ini, sempurnalah kekacauan bellum omnium contra omnes, semua memangsa semua, dengan andil negara di dalamnya.

Keadaan antara hadir dan tak hadir itu mendatangkan kesenyapan, yakni menguapnya bunyi dan hilangnya kata yang mampu melukiskan sekaligus merangkum derita keluarga korban.

Fobia sejarah

Senyap telah banyak mendatangkan kontroversi. Di kota Malang, pemutaran bersama film ini dilarang dan diancam dibubarkan. Fobia atas komunisme dan PKI menjadi dasar dari aksi itu.

Pertanyaannya, apa relevansinya ketakutan terhadap ideologi yang telah lama bangkrut dan kini ditinggalkan? Apa sensasinya memelihara fobia atas sebuah partai politik yang telah lebih dari separuh abad kandas dari jagat politik Indonesia?
Kekhawatiran itu bukan saja mengada-ada, melainkan justru menjadi bukti paling kuat bahwa tak banyak dari kita yang berniat baik rekonsiliasi.

Itu sebabnya, mendiskusikan komunisme di Indonesia berarti mendiskusikan frustrasi. Usaha untuk membuka kembali upaya rekonsiliasi antara negara dan korban peristiwa 1965 senantiasa menemui beberapa kendala.

Pertama, pembunuhan orang-orang yang diduga bagian dari Partai Komunis Indonesia tak pernah menjadi perhatian serius negara.

Harapan sempat menyembul tatkala Presiden Abdurrahman Wahid hendak mencabut TAP MPRS tentang pelarangan Marxisme-Leninisme Nomor XXV/MPR/1966 meski pupus di tengah jalan karena ditentang MPR.
Harapan lain adalah wacana UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang, lagi-lagi, tak begitu jelas nasibnya kini.

Perasaan frustrasi atas negara itu digambarkan dalam Senyap, yaitu bahwa kalau keadilan atas pembunuhan kakak Adi tak bisa didapat di dunia, maka Tuhan-lah yang akan menjadi hakimnya kelak di akhirat.

Artinya, keadilan tak lagi diletakkan dalam porsinya di hadapan hukum negara, tetapi pada sebuah panggilan dan tuntutan metafisika karena keputusasaan yang teramat sangat.

Kedua, komunis dan komunisme justru makin populer karena ia simbol paling mudah dan ringkas sebagai label stigmatisasi. Dalam perpolitikan, makin wajar andai seorang elite mendakwa kompetitornya sebagai komunis tanpa memerlukan bukti dan verifikasi.

Label itu dikukuhkan historiografi melalui buku-buku sejarah di bangku sekolah yang masih enggan untuk memberi data dan fakta proporsional tentang peristiwa 1965. Terhadap stigmatisasi yang terang-terang keliru ini, negara tak pernah beringsut dari sikap diamnya.

Ketiga, keterbukaan selalu dilawan dengan ketertutupan. Membuka ruang diskusi atas peristiwa 1965 selalu ditutup dengan kekhawatiran bahwa itu semua akan membangkitkan luka lama.

Anehnya, dari mana datangnya pemikiran bahwa luka itu telah tertutup dan sembuh? Di mana logikanya sebuah peristiwa besar dengan akibat ratusan ribu orang mati (bahkan jutaan, dalam versi lain) bisa dianggap sebagai luka yang telah sembuh dan kini ditakutkan akan terbuka kembali?

Kebenaran kepompong

Pada adegan di akhir film Senyap, Rohani, ibu Ramli; dan Adi Rukun takjub sekaligus bertanya-tanya kepada sebuah kepompong yang bergoyang-goyang.
Rohani penasaran mengapa ia tak pernah bisa melihat ulat di balik kepompong, sementara ia tahu persis bahwa yang menggerakkan adalah sesuatu yang bersembunyi di dalam bungkus kepompong itu.

Perasaan penasaran itu merefleksikan kerinduan atas kebenaran dan keadilan dari kematian anak terkasihnya.

Sementara ulat, kebenaran itu sendiri, terus bersembunyi tanpa pernah muncul ke permukaan.

Puitisasi adegan Rohani ini menyakitkan justru karena kita semua tahu secara presisi bahwa kebenaran dan fakta pembantaian itu ada di sana tanpa bisa dibantah, tetapi tak ada cara lain yang disediakan untuk menemukan kebenaran dan membukanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar