Senin, 16 Februari 2015

“Quo Vadis” Suku Bunga Acuan Bank Indonesia

“Quo Vadis” Suku Bunga Acuan Bank Indonesia

Denni P Purbasari  ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM;
Konsultan pada PT Bank BCA Tbk
KOMPAS, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pada 2 Februari 2015 Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa pada Januari 2015 terjadi deflasi 0,24 persen. Selang beberapa hari kemudian, BPS mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal IV-2014 sebesar 5,01 persen. Jika dihitung secara tahunan, pertumbuhan ekonomi 2014 hanya sebesar 5,02 persen— paling rendah sejak 2010. Melihat gabungan antara deflasi dan pelambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, sebagian ekonom kemudian mengatakan bahwa sudah saatnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) diturunkan. Namun, rekomendasi ini terlalu dini atau bahkan bisa jadi keliru sama sekali.

Posisi para ekonom ini secara umum didasarkan pada tiga argumen. Pertama, deflasi sudah terjadi sehingga tak perlu lagi suku bunga tinggi. Kedua, mereka melihat tren kebijakan moneter di Eropa dan Jepang, ketika pertumbuhan ekonomi melambat, respons kebijakan moneternya adalah menurunkan suku bunga. Ini sesuai dengan resep Keynesian economics: di saat sulit, kebijakan semestinya bersifat lean against the wind. Ketiga, mereka berargumen bahwa kebijakan suku bunga tinggi sudah berlangsung cukup lama (sejak kuartal IV-2013) dan menekan permintaan agregat. Turunnya permintaan agregat inilah yang membuat harga-harga turun dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Meskipun tampak meyakinkan, argumen-argumen itu lemah. Pertama, meskipun Januari 2015 terjadi deflasi, satu-satunya sektor penyumbang deflasi adalah sektor transpor, komunikasi, dan jasa keuangan (ketiga sektor ini digabung menjadi satu dalam laporan BPS). Deflasi sektor transpor (sebesar 4,04 persen) jelas disebabkan oleh penurunan harga BBM yang pada Januari lalu turun lebih dari 20 persen.

Namun, ternyata, penyesuaian harga ke bawah akibat penurunan harga BBM ini belum atau tidak terjadi di sektor lain. Yang ada justru semua sektor, mulai dari bahan makanan hingga pendidikan, mengalami kenaikan harga 0,26 persen hingga 0,85 persen dari Desember 2014 ke Januari 2015. Jadi, deflasi sebulan lalu tak cukup jadi bukti bahwa spiral deflasi (deflationary spiral) mulai terjadi.

Argumen kedua juga tidak tepat. Apa yang Bank Sentral Eropa dan Jepang lakukan tidak serta-merta dapat di-copy and paste di Indonesia hanya karena kita sama-sama mengalami pelambatan ekonomi seperti mereka. Indonesia adalah perekonomian terbuka kecil (small open economy) yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan selama 12 kuartal terakhir dan inflasi tinggi (rata-rata 6,36 persen per tahun selama 2010-2014). Eropa dan Jepang, sebaliknya, perekonomian terbuka besar (large open economy, dengan segala privilesenya). 

Mata uang mereka adalah bagian dari cadangan devisa bank sentral seluruh dunia. Ditambah lagi, zona euro dan Jepang pada 2014 malah mengalami surplus neraca transaksi berjalan, masing-masing 2,4 persen dan 0,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan inflasi di zona euro sangat rendah, hanya 0,4 persen; sedangkan di Jepang inflasi cukup tinggi (untuk ukuran Jepang) yaitu 2,7 persen—itu pun akibat kebijakan ekspansioner Bank of Japan sejak April 2014.

Sementara itu, argumen ketiga lemah karena secara implisit sepertinya mengasumsikan suku bunga tinggi adalah satu-satunya faktor yang memperlambat ekonomi. Padahal, pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok (yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia) dan perekonomian global juga melambat.

Data BPS jelas menunjukkan bahwa yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 anjlok menjadi 5,02 persen adalah ekspor dan pengeluaran pemerintah, yang masing-masing hanya tumbuh 1,02 persen dan 1,98 persen; sedangkan konsumsi, meski sedikit melambat, masih tumbuh di atas 5 persen.

Prematur dan berisiko

Merekomendasikan agar BI Rate segera diturunkan hanya dengan melihat deflasi Januari dan pertumbuhan yang melambat, dengan demikian, terlalu prematur dan reaktif. Dalam situasi tertentu, pelambatan ekonomi bisa jadi adalah optimal. Artinya, pelambatan permintaan atau produksi barangkali adalah respons optimal dari para pelaku ekonomi, mengingat konteks atau situasi yang mereka hadapi. Memaksakan perekonomian agar tumbuh tinggi ketika konteks ekonominya tak kompatibel justru dapat membawa pada fluktuasi yang tak perlu, bahkan pada boom-bust cycle alias krisis.

Adalah normal, pemerintah— yang berisi politisi—menghendaki pertumbuhan ekonomi tinggi. Ini karena pertumbuhan ekonomi penting dalam pemilu. Karena itu, wajar jika posisi kebijakan fiskal sering kali ekspansif. Defisit fiskal kemudian menjadi hal lumrah (padahal semestinya dalam anggaran, harus ada siklus surplus-defisit). Jika defisit anggaran menjadi sesuatu yang dianggap lumrah, ini berbahaya. Sebab, utang pemerintah bisa mendesak keluar utang swasta (biasa disebut sebagai crowding out) dan bisa menjadi sumber kerentanan eksternal.

Karena ”sifat alamiah” dari pemerintah inilah, ilmu ekonomi menyarankan agar otoritas moneter dipisahkan dari pemerintah (baca: dari politik). Institutional setting berupa pemisahan otoritas kebijakan fiskal dan moneter ini sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas. 

Pemisahan ini tidak berarti kebijakan fiskal dan kebijakan moneter harus bertolak belakang—ibaratnya pemerintah injak gas dan BI injak rem—tetapi lebih pada pemberian kewenangan kepada masing-masing pihak untuk mengambil kebijakan yang dianggap terbaik.

Pengalaman Indonesia ketika menghadapi krisis finansial 2008 ketika kebijakan fiskal dan moneter bergerak pada arah yang sama menjadi salah satu bukti, antara fiskal dan moneter tak selalu bertolak belakang. Begitu juga dengan pengalaman buruk di masa lalu ketika kedua otoritas ini digabung hingga berujung pada krisis 1997-1998 juga semestinya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Namun, karena nature dari pemerintah adalah mengejar pertumbuhan, tak ayal bank sentral sering kali berfungsi jadi pengerem. Mengusung kebijakan yang mengerem pertumbuhan ekonomi—ketika semua pelaku ekonomi, baik produsen, konsumen, investor, maupun pemerintah, menginginkan adanya pertumbuhan tinggi—memang tak populer. Itulah kenapa literatur sering kali mengatakan pengelola bank sentral haruslah seorang yang konservatif. Namun, ini perlu dilakukan agar inflasi (overheating) dan menggelembungnya harga aset (asset price bubble) dapat dicegah.

Merekomendasikan agar BI Rate segera diturunkan—pada saat ini—dapat juga meningkatkan kerentanan. Pasar akan melihat BI dovish alias pro pertumbuhan (pro growth). Masalahnya, mandat utama yang diberikan kepada BI bukanlah untuk mengejar pertumbuhan, melainkan menjaga stabilitas.

Dalam situasi seperti sekarang, ketika inflasi inti (yang merupakan komponen yang bersifat persisten akibat ekspektasi inflasi produsen dan konsumen) masih sekitar 4,44 persen per tahun, ekspor melemah (baca: suplai dollar AS seret) dan investor global sedang galau dalam menempatkan dana mereka, kebijakan yang konservatif atau hati-hati menjadi strategi dominan. Sebaliknya, kebijakan yang akomodatif terhadap pertumbuhan bisa dibaca sebagai sebuah inkonsistensi atau kecerobohan.

Ibarat permainan sepak bola, BI adalah defender (pemain belakang) dan pemerintah adalah forward (penyerang)-nya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika defender seperti Alves, Montoya, atau Piqué tidak disiplin dan malah ikut-ikutan Messi, Suárez, dan Neymar menyerang di depan—sementara lawan yang dihadapi cukup tangguh dan sulit ditebak. Jika ada serangan balik secara tiba-tiba, bisa jadi gawang Barcelona kebobolan. Dalam situasi seperti itu, barangkali baru disadari bahwa gain dari upaya mencetak gol ternyata tidak sebanding dengan pain yang muncul akibat kebobolan gol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar