Senin, 16 Februari 2015

Membaca Arah Kebijakan Fiskal

Membaca Arah Kebijakan Fiskal

A Prasetyantoko  ;  Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ada dua berita penting akhir pekan lalu. Pertama, DPR menyetujui pengesahan APBN-P 2015. Kedua, Bank Indonesia merilis data Neraca Pembayaran Indonesia 2014 dengan surplus 15,2 miliar dollar AS. Namun, keduanya tak mampu menahan pelemahan rupiah yang menyentuh Rp 12.800-an sebagai level terendah sejak 16 tahun terakhir. Benarkah perekonomian domestik memberi sinyal pesimistis?

Meski Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) surplus, sejatinya neraca transaksi berjalan mengalami defisit cukup lebar, sebesar 26,2 miliar dollar AS atau 2,95 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sinyalnya negatif karena defisit neraca transaksi berjalan merefleksikan lemahnya produktivitas perekonomian domestik sehingga memerlukan pasokan pendanaan eksternal cukup besar guna menutup defisit. Akibatnya, kebijakan moneter terpaksa bias ketat.

Itulah sebabnya, suku bunga perbankan belum bisa diturunkan. Padahal, guna mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,7 persen, kredit paling tidak harus tumbuh antara 17 persen dan 19 persen. Bagaimana mungkin memacu pertumbuhan jika suku bunga acuan BI 7,75 persen? Bahkan, jika situasi eksternal memburuk dan nilai tukar terus terdepresiasi, BI tak segan akan menaikkan suku bunga acuan kembali.

Di sinilah ketegangan antara pemerintah dan BI terjadi. Dalam bahasa publik, dikotomi ini sering diterjemahkan sebagai perseteruan antara kepentingan sektor riil dan finansial. Kontradiksi juga terjadi dalam hal pengeluaran pemerintah. Guna mengejar target pertumbuhan, pemerintah tampak akan bersikap ekspansif memanfaatkan momentum penurunan harga minyak dunia. Jika pemerintah menggenjot pengeluaran untuk memacu investasi, bisa dipastikan impor bahan baku meningkat. Akibatnya, neraca transaksi berjalan akan makin tertekan.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita melangkah? Pemerintah bersama BI harus meletakkan dilema ini dalam konsensus kebijakan ekonomi. Untuk keluar dari kemelut paradoksal ini, ilmu ekonomi bisa membantu menunjukkan bahwa setiap kebijakan selalu mengandung efek negatif (trade-off) serta kesempatan yang hilang (opportunity cost). Keduanya harus dikalkulasi guna mendapatkan manfaat optimum.

Dalam sistem ekonomi yang kompleks, ketika sektor riil dan sektor keuangan saling bersitegang di tengah dinamika perekonomian domestik dan global, neraca transaksi berjalan bisa menjadi indikator penting dalam mengukur kesehatan perekonomian. Kebijakan radikal perlu diarahkan untuk memperbaiki struktur ekonomi, yang salah satunya ditandai dengan membaiknya neraca transaksi berjalan.

Secara sederhana, ada dua hal besar yang harus dilakukan. Pertama, mendorong surplus neraca perdagangan dengan cara meningkatkan ekspor dan menekan impor. Kedua, memobilisasi pendanaan domestik agar ketergantungan pada dana asing berkurang. Namun, itu semua harus dilakukan dalam perspektif jangka panjang. Sementara pilihan kebijakan jangka pendek tak banyak dan terkadang kontradiktif.

Pemerintah perlu kembali pada peran pokoknya dalam ekonomi, melakukan stimulus melalui kebijakan fiskal. Dengan ruang fiskal yang ada, pemerintah harus berani dan progresif membangun infrastruktur dalam rangka perbaikan sistem logistik.

Dalam jangka pendek, sudah barang tentu menimbulkan dampak melebarnya defisit transaksi berjalan. Namun, jika kebijakan tersebut dilaksanakan konsisten dan konsekuen, perekonomian akan menuju pada fase yang lebih kokoh. Peran kebijakan fiskal yang tertuang dalam APBN-P 2015 yang baru saja disetujui DPR sangat penting.

Ruang fiskal yang tersedia, baik akibat kenaikan pajak maupun penurunan subsidi energi akibat penurunan harga minyak dunia, harus benar-benar dimanfaatkan untuk memperbaiki fundamental ekonomi melalui kebijakan yang bersifat struktural.

Sayangnya, proses penyusunan anggaran masih diliputi suasana transaksional. Ide penambahan modal pemerintah kepada BUMN dan beberapa kementerian sangat positif. Tambahan modal kepada BUMN akan menimbulkan efek pengganda tinggi. BUMN dengan kondisi keuangan sehat mampu meningkatkan kemampuan daya ungkit (leverage) secara berlipat dengan tambahan modal pemerintah.

Masalahnya, proses penentuan alokasi anggaran sebesar Rp 64,88 triliun kepada 37 BUMN serta tambahan Rp 16 triliun kepada 19 kementerian sulit ditemukan benang merah substansinya. Pada sektor ekonomi, seharusnya kebijakan fiskal fokus pada dua hal ini saja. Pertama, meningkatkan belanja modal untuk memperbaiki sistem logistik dalam rangka meningkatkan ekspor. Kedua, membangun industri penghasil bahan baku di dalam negeri untuk mengurangi impor.

Jika fiskal mampu mengungkit secara signifikan kedua hal ini, niscaya perubahan lanskap ekonomi menjadi lebih solid. Oleh karena itu, kalaupun terjadi dampak pada defisit transaksi berjalan menjadi 3,3 persen terhadap PDB dan ekonomi hanya tumbuh moderat pada kisaran 5,3-5,5 persen, ekonomi kita lebih sehat.

Pemerintah harus lebih realistis terhadap dilema yang dihadapi sekaligus target ekonominya. Fokus pada tahun anggaran ini adalah sterilisasi fundamental ekonomi. Ibarat tubuh manusia, tahun ini merupakan fase detoksifikasi agar lebih sehat sehingga kinerjanya bisa dipacu pada tahun selanjutnya. Sayangnya, masih saja tidak mudah membaca arah fiskal kita setelah pengesahan APBN-P 2015 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar