Senin, 16 Februari 2015

Polemik Larangan Sepeda Motor

Polemik Larangan Sepeda Motor

Abdul Salam Taba  ;  Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bosowa 45 Makassar
dan School of Economics the University of Newcastel, Australia
KOMPAS, 14 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

LARANGAN pengendara sepeda motor melintas di sepanjang ruas Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin menimbulkan polemik. Indonesia Traffic Watch mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Agung terhadap ketentuan hukum yang menjadi dasar pelarangan.
Selain berdampak yuridis dan ekonomi bagi masyarakat, khususnya bagi golongan masyarakat menengah ke bawah yang menggunakan kendaraan roda dua, berbagai argumentasi dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar pelarangan itu memang perlu dikaji ulang keabsahannya.

Ambil contoh, argumentasi Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Dishub Pemprov DKI Jakarta) yang menyatakan bahwa pengendara sepeda motor berkontribusi terhadap tingginya kecelakaan dan korban lalu lintas.

Data Polda Metro Jaya—dikutip dari rilis Dishub Pemprov DKI Jakarta—menunjukkan orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dalam tiga tahun terakhir berjumlah 2.593 orang. Dari jumlah itu, 1.944 orang (75 persen) adalah pengguna kendaraan roda dua.

Namun, argumentasi itu mengandung banyak kelemahan karena informasi jumlah dan lokasi kecelakaan yang menyebabkan pengendara motor meninggal, apakah hanya di sepanjang Jalan Thamrin dan Medan Merdeka Barat atau juga di ruas jalan lainnya, tidak ada penjelasannya.

Penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas sepeda motor, seperti ditabrak atau tabrakan antarsesama pengendara motor ataupun dengan kendaraan roda empat, dan kapan, juga tidak ada.

Demikian halnya data Polda Metro Jaya tentang pelanggaran lalu lintas dalam empat tahun terakhir yang didominasi pengendara motor. Ada 781.829 pelanggaran dan pengendara motor per tahun berkontribusi 518.136 (66 persen), sementara pengendara roda empat per tahun hanya 263.692 (34 persen). Namun, tetap saja motor bukan penyebab tunggal kemacetan.

Aspek ekonomi

Kenyataannya, pelanggaran lalu lintas terjadi di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek), bukan semata di sepanjang ruas Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat. Pelanggaran lalu lintas yang menimbulkan kemacetan juga diakibatkan pengendara mobil.

Lagi pula, diakui atau tidak, ketidaktertiban dan ketidakdisiplinan pengendara sepeda motor tidak lepas dari peran Pemprov DKI (khususnya dinas perhubungan) dan pihak kepolisian yang belum maksimal ”membudidayakan” tertib berlalu lintas (safety riding course).

Kebijakan melarang pengguna motor melaju di sepanjang Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat diskriminatif karena merugikan masyarakat golongan menengah dan kelas bawah, seperti buruh, kurir, dan karyawan, yang memakai motor. Padahal, mereka juga pembayar pajak (kendaraan roda dua) yang notabene berhak melintas di jalan protokol.

Secara ekonomi, larangan itu berdampak pula terhadap kegiatan perekonomian di Ibu Kota, khususnya di sepanjang kedua ruas jalan protokol itu. Banyak pelaku ekonomi, terutama pelaku usaha kecil dan karyawan/buruh pengguna sepeda motor, yang akan terhambat aktivitas dan produktivitasnya.

Selain merugikan, larangan itu pun hanya berdampak pada melimpahnya sepeda motor dan mobil di seluruh jalan alternatif sekitar jalan protokol. Dengan kata lain, larangan tersebut tidak menyelesaikan masalah dan lalu lintas kendaraan tetap macet, baik di kedua ruas jalan protokol maupun wilayah di sekitarnya.

Berbagai dampak di atas akan memicu berbagai efek negatif lainnya. Misalnya, masyarakat yang beraktivitas di Ibu Kota akan cenderung menggunakan kendaraan roda empat sehingga tujuan Pemprov DKI Jakarta mengurangi jumlah kendaraan di jalan protokol tidak terwujud. Pun, sulit memacu masyarakat Jakarta menggunakan bus (transjakarta) karena transportasi alternatif memang belum memadai.

Aspek hukum

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta (Pergub DKI Jakarta) Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor tersebut secara yuridis juga bermasalah dengan beberapa alasan.

Pertama, ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan tidak melarang pengguna sepeda motor melintas di jalan, termasuk di jalan protokol sekalipun.

Kedua, secara substansi Pergub DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 juga bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasalnya, pergub tersebut melanggar asas hukum yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011.

Ketiga, menurut hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 telah ditetapkan bahwa peraturan perundang-undangan terendah yang mengikat masyarakat di provinsi ataupun kabupaten/kota adalah peraturan daerah (perda) dan bukan pergub.

Keempat, meskipun keberadaan pergub dimungkinkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, larangan pengguna sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat seharusnya diatur dengan perda.

Selain kedudukan hukum Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 tersebut lebih rendah dari UU Nomor 12 Tahun 2011, larangan itu menyangkut hayat hidup orang banyak sehingga kebijakan dimaksud harus mendapat persetujuan DPRD DKI Jakarta sebagai representasi masyarakat DKI Jakarta.

Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pergub DKI Jakarta Nomor 159 Tahun 2014 harus dianulir dan dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi dan asas hukum pembuatan peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar