Rabu, 11 Februari 2015

Quo Vadis Partai Golkar

Quo Vadis Partai Golkar

FS Swantoro   ;   Peneliti, Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 10 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DI luar kisruh KPK-Polri yang menimbulkan bara panas dan membuat pusing Presiden Jokowi, ada kehidupan lain yang juga panas dalam jagad politik nasional, yakni perpecahan Partai Golkar. Seperti dikatakan Ketua Harian Partai Golkar kubu Munas Bali MS Hidayat, ”persoalan kepemimpinan kembar sangat memprihatinkan. Bara api perlahan tapi pasti bakal merambat di akar pohon beringin.”

Padahal, andai kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie mau menempuh islah, Golkar masih diperhitungkan di kancah politik. Konsekuensinya kedua pemimpin harus rela bergabung dan saling legawa. Begitu pula keluhan dari kubu Munas Ancol, Priyo Budi Santoso,” Kami tidak habis pikir betapa Golkar sebagai partai legendaris dan berkuasa pada era Orde Baru, harus menghadapi perebutan kursi kepemimpinan.

Pilihan ke pengadilan demi kepastian hukum justru membuat kepedihan makin berlarut-larut.” Jalur pengadilan memang sah karena UU Partai memungkinkan hal itu dan Mahkamah Partai tidak bisa menyelesaikan dualisme tersebut. Kini Partai Golkar di ujung tanduk akibat sulit merumuskan dari mana solusi harus dimulai, hingga nyaris tinggal menunggu waktu. Membiarkan akar terbakar atau sebaliknya jalan islah yang bersendikan kebesaran hati para pemimpinnya.

Quo vadis Partai Beringin? Dinamika Golkar memasuki tahap pelik. Majelis hakim PN Jakarta Pusat, mengabulkan eksepsi tergugat Ical-Idrus Marham terhadap penggugat Agung Laksono dan meminta kedua kubu menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal partai. Kubu Agung menggugat keabsahan kubu Golkar versi Munas Bali yang dipimpin ARB ke PN Jakarta Pusat.

Hakim meminta kedua kubu menyelesaikan melalui Mahkamah Partai sesuai Pasal 32 dan 33 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Selanjutnya PN Jakarta Pusat mengabulkan eksepsi tergugat Aburizal Bakrie, Idrus Marham, dan DPP Golkar hasil Munas Bali. Dalam eksepsinya, kuasa hukum DPP Golkar versi Munas Bali, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, ”PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan Agung Laksono.”

Baik Golkar hasil Munas Bali maupun Tim Penyelamat Golkar yang dipimpin Agung belum pernah menyelesaikan persoalan melalui Mahkamah Partai. Hingga sekarang belum ada tandatanda keterbelahan Golkar bakal mereda, meski solusi untuk konflik sudah banyak dibicarakan dan diupayaan. Sebenarnya ada dua solusi. Pertama; islah. Kedua pengurus lewat penyelesaian adat menggelar munas islah bersama guna menentukan kepemimpinan tunggal.

Dua opsi itu belum disepakati oleh kubu Agung atau Ical. Golkar harus cepat menemukan solusi mengingat proses kontestasi pilkada serentak 2015 akan dimulai akhir Februari ini. Belum lagi pilkada serentak 2018 dan pemilu serentak 2019. Solusi itu harus cepat dicapai karena ada 204 bupati/wali kota dari Golkar yang terancam tidak bisa menggunakan kendaraan Golkar dalam Pilkada 2015 dan itu sangat merugikan Partai Beringin.

Meminjam hasil survei LSI Januari 2015, publik masih berharap konflik internal Golkar dapat diselesaikan lewat islah. Ada empat alasan yang mendasari, yakni pertama; selain murah, cara itu bisa menghindari perpecahan lebih parah dibanding lewat pengadilan. Selain itu, makin lama konflik berlangsung makin menghancurkan partai, bahkan berisiko merambat ke daerah dan menimbulkan kepengurusan kembar di DPD I dan II.

Ganggu Stabilitas

Kedua; konflik internal Golkar bisa mengganggu stabilitas politik nasional. Ketiga; publik menilai jika islah, Golkar bisa menjadi role modelbagi parpol-parpol di Indonesia. Keempat; publik yakin Golkar punya tradisi panjang dalam menyelesaikan konflik internal. Para elite sudah terbiasa dalam situasi konflik dan mampu mencari win-win solution. Permintaan kubu Agung agar Golkar keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) adalah hal yang sulit dilakukan.

Pasalnya, menurut kubu Ical, keputusan bergabung dengan KMP telah ditetapkan dalam munas IX Bali. Kini yang paling mengemuka adalah munas rekonsiliasi. Kalau sepakat munas rekonsiliasi, serahkan saja ke munas untuk memutuskan apakah Golkar tetap di KMP atau jadi kekuatan penyeimbang.

Sebenarnya bila bisa islah, persoalan selesai. Terlebih kedua kubu punya kepentingan ikut agenda pilkada serentak 2015 dan 2018 serta pemilu serentak 2019. Untuk itu munas bersama hanya dilakukan khusus untuk memilih Ical dan Agung. Jika Agung menang, Ical bisa menjadi ketua dewan pertimbangan. Sebaliknya, bila Ical menang, Agung menjadi wakil ketua umum menyusun kepengurusan, bersama formatur lain.

Munas bersama tersebut juga bisa memutuskan jalan tengah, yaitu Golkar tidak di pemerintahan tapi juga tidak di KMP. Golkar fokus menjalankan fungsi kepartaian dengan menjalankan fungsi kontrol di parlemen dan merealisasikan program partai yang prorakyat. Jika ide-ide itu tak bisa diwujudkan, dikhawatirkan Golkar menjadi dinosaurus yang pernah dikenal sangat besar tapi kini tinggal sejarah. Quo vadis Partai Golkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar