Rabu, 11 Februari 2015

Branding Proton Klaim Mobnas

Branding Proton Klaim Mobnas

Effnu Subiyanto   ;   Advisor CikalAFA-umbrella, Direktur Koridor,
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
JAWA POS, 09 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

LAWATAN Presiden Joko Widodo ke negeri jiran Malaysia setidaknya mempunyai manfaat kepada mereka. Pada kesempatan itu, secara implisit pemerintah merestui kerja sama B-to-B antara PT Adiperkasa Citra Lestari dan Proton Holding Bhd (6/2) untuk melakukan studi di Indonesia. Publik Indonesia tentu saja bertanya-tanya, apakah yang akan distudi? Persiapan penetrasi pasar besar-besaran atau studi untuk menjadikan mobil Proton sebagai mobil nasional Indonesia?

Hal tersebut normal karena beberapa kali pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang mobil seperti LCGC tahun 2013 namun konkretnya tidak pernah jelas. Kebijakan LCGC adalah yang terakhir dan menutup pemberitaan mobil Esemka dan mobil listrik nasional (molinas). Itu tentu saja terkait dengan gemuknya pasar mobil di Indonesia. Penjualan tahun lalu mencapai 1,19 juta unit, turun sedikit bila dibandingkan dengan penjualan 2013 yang sebanyak 1,22 juta unit.

Persaingan pasar mobil Indonesia yang sangat ketat itu menuntut strategi pemasaran yang juga harus extraordinary dan beda. Klaim sebagai mobil nasional tentu pintu yang sangat dramatis dan heroik karena ada emosional yang terbawa, yakni sebagai bangsa yang nasionalis, menghemat cadangan devisa, dan atau dorongan bersikap prodomestik. Upaya yang dilakukan Proton tentu saja pas pada konteks ini dan seremoni itu sebetulnya branding untuk meningkatkan daya ungkit (leverage) merek mobil Proton di Indonesia yang selama ini relatif stagnan.

Tutup Buku Mobnas

Spirit mobnas sebetulnya belajar dari sejarah berbagai bangsa yang sukses mengembangkan ikon mobil nasionalnya sebagai salah satu pride of nation. Amerika terkenal dengan Ford, Italia dengan Ferrari, Jepang dengan Toyota, Jerman dengan BMW dan Mercedes-Benz, India dengan Tata, dan masih banyak lagi sampai Malaysia dengan Proton. Indonesia memang tidak mempunyai kebanggaan kecuali menjadi pasar bagi produk-produk mereka. Itulah dulu sampai saat ini yang menjadi obsesi Indonesia, dengan memberikan banyak fasilitas khusus namun hasilnya nihil sampai sekarang.

Banyak sekali deretan proyek mobil nasional sejak 1990, mulai MR90, Timor, Kancil, hingga yang heboh terakhir ini, Esemka dan LCGC. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan bahkan pernah mengujicobakan mobil listrik futuristis seperti Tucuxi. Persoalannya hanya fokus yang tidak bisa diperoleh, akhirnya hasilnya setengah-setengah. Semuanya lekas dilupakan karena segera tertarik dengan model baru yang lebih baik, lebih cepat, lebih bagus, dan lebih murah.

Padahal, semuanya menyadari, apa pun gencarnya promosi sebagai mobil nasional, jika tidak memenuhi kriteria pasar, akan terjerembap. Ini tentu saja karena pilihan yang sudah tersedia akibat globalisasi pasar. Rakyat Indonesia berhak memilih, dengan harga yang sama, bagaimana fasilitas mobil yang diperolehnya. Bahkan, dalam alasan ekstrem, meskipun harga mobil nasional tersebut sudah lebih murah, namun karena alasan sulitnya mendapatkan suku cadang, mobil nasional pun potensial tidak akan laku. Itu terjadi pada mobil Korea di Indonesia.

Jadi, sebetulnya upaya Proton yang bekerja sama dengan PT Adiperkasa Citra Lestari (ACL) tidak perlu diributkan di Indonesia. Demikian pula secara berimbang Proton juga tidak boleh melakukan klaim sebagai mobil nasional Indonesia, juga ACL. Pemerintah pun tidak perlu secara melankolis memberikan dukungan kepada proton berlebihan kecuali memang prosedural normal seperti yang dilakukan investor jika akan berinvestasi di Indonesia. Kehadiran Joko Widodo dalam acara seremoni sudah lebih dari cukup sebagai penghormatan kepada investor dan itu sangat normal.

Benahi Infrastruktur

Melihat pesatnya angka penjualan mobil setiap tahun yang kini menembus 1 juta per tahun, sebetulnya yang perlu ditekan pemerintah kepada pabrikan mobil adalah kontribusinya dalam perbaikan infrastruktur transportasi. Pabrikan mobil dan sepeda motor atau pembuat moda transportasi lainnya harus memberikan solusi atas buruknya kualitas transportasi nasional.

Baru-baru ini, berdasar data Castrol, dua kota besar Indonesia masuk lima kota terburuk dunia dalam bidang transportasi. Jakarta menduduki peringkat pertama terburuk, sedangkan Surabaya nomor empat. Tidak tertutup kemungkinan kota-kota lain Indonesia sebentar lagi menyusul Jakarta dan Surabaya.

Data yang dirilis pabrikan pelumas itu menyebutkan, setiap mobil di Jakarta start-stop 33.240 kali dalam setahun, sementara Surabaya 29.880 kali. Terburuk kedua Istanbul (32.520 kali dalam setahun), Mexico City (30.840), dan kelima St Petersburg (Rusia) 29.040 kali. Semakin banyaknya start-stop mengindikasikan parahnya kondisi mobil tersebut antara menginjak pedal gas dan rem dan tentu saja akan berdampak lain, misalnya, kenaikan konsumsi BBM dan biaya pemeliharaan kian mahal.

Dalam hal ini, komitmen pabrikan mobil sangat diharapkan dalam perbaikan transportasi nasional. Misalnya, menyediakan kendaraan masal untuk fasilitas transportasi publik. Tidak elok rasanya ekstensifikasi jumlah produksi mobil untuk memaksimalkan keuntungan namun mobil itu pun sebetulnya tidak bermanfaat karena lalu linta macet sama sekali. Permasalahan tersebut sudah menjadi masalah bersama, termasuk kepada pabrikan mobil itu sendiri dan sudah sangat serius.

Kondisi tersebut memang bagai telur dan ayam, penyediaan fasilitas transportasi publik pun tidak akan efektif karena jalanan yang sama juga sudah macet. Transportasi publik pun umumnya hanya tersedia pada ruas-ruas terpadat dan akan menimbulkan masalah pada ruas pengumpannya dan akhirnya tidak berhasil. Ruang parkir tidak ada dan akhirnya mereka enggan menggunakan fasilitas transportasi publik itu.

Itulah yang harus dibenahi dengan serius oleh pabrikan kendaraan bermotor. Harus ada studi dari kawasan permukiman sampai tujuan akhir aktivitas penduduk setiap hari. Penyediaan fasilitas publik harus menyeluruh dari titik awal sampai titik akhir. Pabrikan harus membuat transportasi pengumpan dan transportasi utama (main feeder). Buat prototipe untuk satu jalur saja sehingga bisa diketahui berapa penurunan kuantitas kemacetannya untuk jalur itu. Jika sudah matang dan firm, baru dibuatkan dalam skala besar dan pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk peraturan sampai undang-undang yang berkonsekuensi hukum.

Sosialisasi harus dilaksanakan terus-menerus. Memberikan edukasi kepada setiap penduduk bahwa sudah ada transportasi publik yang aman, murah, dan tepat waktu. Jika bisa berkontribusi pada masalah ini, rakyat tentu akan senang menjadi mitra pabrikan itu kapan pun.

Semoga studi yang akan dikerjakan Proton dalam enam bulan juga memberikan solusi akan hal ini, bukan semata-mata studi mencari untung belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar