Rabu, 11 Februari 2015

Menyoal Mobil Nasional Indonesia

Menyoal Mobil Nasional Indonesia

Danang Parikesit   ;   Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
MEDIA INDONESIA, 10 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DI tengah hiruk pikuk politik dalam negeri, berita mengenai penandatanganan MoU antara Proton Malaysia dan sebuah perusahaan Indonesia untuk penyusunan studi kelayakan pengembangan mobil nasional Indonesia mencuri perhatian publik. Persoalan mobil nasional selalu menarik perhatian karena sekurangnya tiga alasan pokok.

Pertama, argumen bahwa negara sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar, kelompok kelas menengah yang semakin dominan, serta pendapatan masyarakat yang menaik secara gradual haruslah memiliki industri otomotif yang memiliki label `nasional' atau milik Indonesia dengan berbagai atributnya. Romantisme nasionalisme produk Indonesia seolah menemukan wujudnya dalam bentuk mobil yang merupakan simbol kebutuhan pergerakan sehari-hari yang bernilai ekonomi tinggi. Para politikus merupakan kelompok pendukung dari pandangan itu karena dipandang mampu mendongkrak semangat Indonesia First seperti yang terjadi di Jepang era 1970-an dan Korea pada 1990-an.
Kedua, mendorong keberadaan mobil sebagai sarana transportasi memiliki paradoks terhadap upaya pemerintah dan khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong angkutan umum. Pada saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, kita begitu terkesan dengan ucapannya, “Kita butuh transportasi murah, bukan mobil murah!“ Kebutuhan untuk mengembangkan mobil murah berbahan bakar hemat seperti yang dinyatakan dalam PP No 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maupun turunannya dalam bentuk Permenperin No 33/2013 dan Surat Edaran Dirjen IUBTT No 25/2013 menunjukkan insentif pengurangan pajak bagi mobil dengan spesifikasi tertentu. Kebijakan yang secara populer dikenal dengan LCGC (low cost green car) ditentang berbagai pihak karena kontraproduktif dengan upaya memperbaiki kondisi transportasi perkotaan yang sangat buruk. Keberatan masyarakat itu seolah terjustifikasi dengan diraihnya predikat Jakarta sebagai kota termacet di dunia. Para perencana transportasi, ahli perencanaan, dan pakar lingkungan merupakan kelompok yang menyuarakan kekhawatiran fasilitasi pemerintah dalam mendorong jenis mobil murah ini. Apalagi, harga murah yang terjadi bukan karena efisiensi di sektor produksi, melainkan pengurangan pajak yang seharusnya menjadi hak masyarakat yang lebih luas.
Ketiga, upaya mendorong industri otomotif memiliki pendukung yang fanatik karena sektor itu menjadi penghela pertumbuhan ekonomi nasional. Industri otomotif itu dipromosikan sebagai sektor yang tahan terhadap dinamika ekonomi regional global. Produsen otomotif di Indonesia yang tergabung dalam Gaikindo merupakan proponen dari argu men itu karena jelas memengaruhi keberlangsungan bisnis mereka. Pendukung lain dari konsep itu ialah para ahli ekonomi industri yang melihat trickle down dari keberadaan industri itu terhadap penciptaan tenaga kerja dan kenaikan daya beli.
Tanggapan normatif
Apa reaksi ketiga kelompok pendukung tiap argumen tersebut terhadap berita penandatanganan MoU antara Proton dan perusahaan Indonesia? Tidak ada antusiasme yang menggelora. Tidak ada penolakan yang kritis dari para ahli transportasi dan pakar lingkungan. Tidak ada komentar keras, baik yang mendukung atau menolak dari kelompok produsen otomotif. Semua pihak memberikan tanggapan normatif dan dugaan saya, media akan membiarkan berita tersebut berlalu tanpa kesan. Semua terlihat biasabiasa saja.
Ada fenomena menarik yang kita lihat dari kondisi ini. Sebagai mazhab pembangunan, barangkali pandangan politik yang diwujudkan dengan produk yang berbau `nasional' tidak lagi mendapat tempat di hati masyarakat. Bagi masyarakat yang rasional, yang paling penting bagi mereka ialah produk yang bermanfaat dengan biaya yang sesuai dengan daya beli. Nasionalisme tidak lagi berwujud dalam bentuk fisik karena masyarakat menyadari produksi barang dilakukan dengan sistem global supply chain.
Para ahli transportasi apatis dengan berbagai rencana pemerintah yang seolah menjalankan kebijakan yang paradoksal. Ketika upaya mendorong penggunaan angkutan umum dipandang kurang progresif, upaya merasionalkan pemanfaatan kendaraan pribadi seolah macet di tengah jalan. Kecuali kebijakan pengurangan subsidi BBM yang sebenarnya bukan dilandasi pertimbangan transportasi yang berkelanjutan dan proyek MRT, praktis program-program transportasi tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Produsen mobil yang ada di Indonesia sangat memahami bahwa mendirikan industri mobil bukan persoalan sederhana karena tidak hanya persoalan membuat kendaraan. Benar bahwa kepemilikan mobil di Indonesia ialah 0,2-0,3 mobil per keluarga, tetapi produsen harus memikirkan seluruh rantai pasok dan rantai nilai untuk menjamin keberlanjutan usaha mereka. Beberapa produsen otomotif yang telah menghasilkan kandungan lokal lebih dari 80% tidak lagi merasa perlu memberikan label `nasional' bagi produk mereka. Sebuah mobil yang memiliki kandungan lokal lebih dari 80%-85%, dengan penggunaan tenaga kerja lebih dari 90%, konsumsi energi yang rendah, dan memiliki pembiayaan investasi dari sumber-sumber dalam negeri sebenarnya telah mencukupi untuk memperoleh insentif pemerintah.
Tentu saja semua akan menjadi berbeda apabila mobil tersebut masuk menjadi salah satu mobil yang ada didaftar e-book dari LKPP sehingga bisa dilakukan pembelian langsung tanpa tender. Bayangkan apabila seluruh pejabat desa hingga nasional membeli mobil tersebut dengan anggaran pemerintah, seperti mobil VW Safari saat Orde Baru. Nah, ini baru akan menjadi berita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar