Menghormati
Hukum: Belajar dari kasus GKI Yasmin
Victor Silaen ; Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan
|
SATU
HARAPAN, 02 Februari 2015
By design, sejak merdeka tahun 1945,
Indonesia adalah negara hukum. Segenap komponen bangsa ini, terlebih para
pemimpinnya, tentulah paham betul soal itu. Apalagi hal ini tercantum secara
tegas pada bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan
Negara, yakni: (1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtsstaat); (2) Sistem
Konstitusional Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar),
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Atas dasar itu
berarti supremasi hukum adalah segala-galanya di negara ini. Hukum adalah
panglima, dan karena itu ia harus ditinggikan lebih dari politik.
Pertanyaannya, apakah secara faktual negara ini sudah sungguh-sungguh
berupaya mewujudkan supremasi hukum? Sudahkah para pemimpin eksekutif dan
aparat penegak hukum disiplin dan berupaya semaksimal mungkin dalam mengawal
hukum?
Di Kota Bogor, ada sebuah kasus yang memperlihatkan bahwa
hukum sebagai panglima tak ubahnya pepesan kosong, karena kepala daerahnya
justru membangkang terhadap putusan hukum. Duduk perkaranya begini. Tertanggal
13 Juni 2006, GKI Yasmin secara resmi memperoleh Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) untuk gedung gereja di Jalan Abdullah bin Nuh Nomor 31, Bogor. Namun
pada 11 Oktober 2006, Sekda Kota Bogor menyampaikan opsi agar pihak GKI
Yasmin memindahkan lokasi gereja, karena ada protes dari kelompok tertentu
kepada Walikota yang meminta agar pembangunan tersebut dihentikan. Ini layak
dipertanyakan: apa hak Sekda Kota Bogor mengeluarkan opsi tersebut?
Akhirnya,
25 Februari 2008, Wali Kota Bogor mengeluarkan pembatalan rekomendasinya atas
IMB GKI Yasmin dengan alasan “sikap keberatan dan protes dari masyarakat
terhadap Pemkot Bogor terkait pembangunan gedung gereja”. Sebagai tanggapan,
pada 28 Februari 2008, pihak GKI Yasmin menyampaikan surat keberatan kepada
Walikota Bogor atas pembekuan IMB tersebut.
Tindakan Wali Kota tersebut dapat dikategorikan “cacat
hukum”. Pertama, karena IMB yang sudah dikeluarkan tak dapat dicabut kembali.
Apalagi Perber Dua Menteri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 (yang antara lain
mengatur syarat-syarat pembangunan rumah ibadah) pun tidak menyebut-nyebut
tentang kewenangan kepala daerah untuk mencabut sebuah IMB. Kedua, alasan
“protes dan keberatan dari kelompok tertentu” yang menyebabkan Wali Kota
Bogor mengubah keputusan resmi yang dibuatnya menunjukkan ia tipikal pemimpin
yang tak dapat dipercaya serta tak paham seluk-beluk hukum dan proses
pembuatan kebijakan publik. Di mana letaknya kewibawaan hukum jika hukum
begitu mudahnya diubah karena desakan sekelompok orang? Seberapa pun
banyaknya jumlah mereka, bukankah hukum tetap harus dijunjung tinggi? Atas
dasar itu, alih-alih membatalkan keputusannya, bukankah Diani Budiarto
seharusnya berupaya ”menyadarkan” dan ”menertibkan” mereka?
Akhirnya GKI Yasmin pun berjuang hingga berujung di
pengadilan. Tahun 2009 keluarlah putusan Mahkamah Agung (MA) No. 127
PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB GKI Yasmin sah. Namun kemudian, Pemkot Bogor
mencabut IMB GKI Yasmin tersebut melalui Surat Keputusan (SK) No. 645.45-137
per 11 Maret 2011. Bukankah MA adalah lembaga pengadilan tingkat akhir, yang
berarti putusannya sudah final dan seharusnya langsung dieksekusi? Namun,
mengapa bertahun-tahun sesudahnya Pemkot Bogor berani mengabaikan putusan
tersebut? Bukankah itu sama saja dengan pembangkangan secara hukum?
Pihak GKI Yasmin pun mengadukan persoalan ini ke Ombudsman
RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor,
yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut SK Wali Kota Bogor
tertanggal 11 Maret 2011. Ombudsman menilai SK Walikota Bogor tentang
pencabutan IMB GKI Yasmin itu merupakan perbuatan mal-administrasi. SK yang
dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum
dan pengabaian kewajiban hukum serta menentang putusan Peninjauan Kembali
(PK) MA Nomor 127 PK/TUN/2009.
Pada 18 September 2011, batas waktu yang diberikan
Ombudsman berakhir. Namun, Wali Kota Bogor tetap membandel. Akibatnya jemaat
GKI Yasmin tetap tak bisa beribadah di lahan dan gedung yang mereka miliki
secara sah itu hingga kini.
Sikap tak taat hukum yang diperlihatkan Wali Kota Diani
Budiarto seharusnya disikapi dengan tegas oleh pejabat-pejabat negara di
atasnya. Namun faktanya, semua seakan lepas tangan. Kalaupun memberi solusi,
herannya para pejabat itu justru menyarankan agar GKI Yasmin juga membangkang
putusan MA, yakni bersedia direlokasi.
Pada 16 Desember 2011, di kediamannya sendiri di Cikeas,
Jawa Barat, Presiden SBY berjanji di hadapan para pemimpin Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang menemuinya bahwa ia siap turun tangan
langsung jika para bawahannya di kabinet tak mampu mengatasi masalah GKI
Yasmin. Tapi tak lama setelah itu, melalui juru bicaranya, Julian Aldrin
Pasha, SBY mengatakan bahwa dirinya tak mungkin mengintervensi kasus GKI
Yasmin karena terhalang oleh UU Otonomi Daerah. Betapa mudahnya SBY berdalih.
Tidakkah ada rasa malu di dalam dirinya, karena Indonesia telah menjadi
sorotan dunia gara-gara kasus GKI Yasmin? Tidakkah ada kemauan politik untuk
menyelesaikan masalah ini demi menjaga kewibawaan hukum? Mungkin SBY tak
sadar bahwa ia bukan hanya presiden, tapi juga kepala negara. Dalam kapasitas
itulah SBY berwenang “menertibkan” Wali Kota Diani Budiarto demi supremasi
hukum. Boleh jadi lantaran itulah maka pada 9 Februari 2012, Ketua Ombudsman
Danang Girindrawardana berkata: “Kami minta ketegasan Presiden secepatnya
mengingat masalah ini krusial, tidak boleh dianggap sepele.”
Pada 7 April 2014, Diani Budiarto sebagai Wali Kota Bogor
resmi diganti oleh Bima Arya. Menurut Bima, ketika ditemui perwakilan GKI
Yasmin usai dirinya dilantik, ia masih harus mempelajari kasus tersebut. Saat
itu ia juga menegaskan agar jangan meragukan komitmennya akan konstitusi dan
kebinekaan. Pertanyaannya, butuh waktu berapa lama untuk memahami kasus ini?
Mengapa hingga kini segel GKI Yasmin belum juga dicabutnya? Bahkan yang
mengherankan, dua pekan menjelang Natal 2014, ia berani menyatakan bahwa GKI
Yasmin sudah dibubarkan. Ia mengklaim telah mendapatkan persetujuan soal
pembubaran dari lembaga gereja GKI sendiri. “Kami tegaskan jika jemaat GKI
Taman Yasmin itu sudah tidak ada. Itu sesuai dengan penyataan Majelis GKI
Pengadilan sebagai induk GKI di Bogor,” katanya, 23 Desember lalu.
Menyikapi pernyataan Bima Arya, pihak GKI menampik dan
menganggap pernyataan tersebut bohong. Sesuai Sidang Sinode GKI pada 3-5
Desember 2014, ditegaskan bila GKI Taman Yasmin tak pernah dibubarkan atau
ditutup oleh Sinode maupun gereja induk GKI Pengadilan. Dalam sidang tersebut
justru Sinode GKI meminta agar pemerintah segera membuka segel gedung gereja
sesuai putusan MA.
Tak dapat dibantah, Wali Kota Bima Arya adalah contoh
pemimpin yang tak menghormati hukum. Herannya, untuk membenarkan tindakan
pembangkangannya itu, ia sanggup “berpura-pura bodoh” dengan mengalihkan
duduk perkara ke persoalan internal antara GKI Yasmin dan GKI Pengadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar