Senin, 16 Februari 2015

Kontroversi Gaji Tinggi DKI Jakarta

Kontroversi Gaji Tinggi DKI Jakarta

Said Zainal Abidin  ;  Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi,
Lembaga Administrasi Negara, Jakarta
KOMPAS, 12 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

KEBIJAKAN Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menaikkan gaji pegawai negeri sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menimbulkan perbedaan sikap di antara banyak pihak. Ada yang pro dan ada yang tidak setuju dengan alasan tidak didasarkan pada kinerja.

Perbedaan pendapat itu dapat dipahami. Pertama, karena kenaikan itu cukup mencolok dibandingkan dengan tingkat gaji pegawai negeri lain pada umumnya. Kedua, kenaikan itu terbatas untuk satu provinsi saja. Ketiga, kenaikan itu terasa tiba-tiba tanpa disertai alasan-alasan yang jelas dan masuk akal. Pertanyaannya, apa yang dapat dicapai dengan menaikkan gaji setinggi itu?

Untuk memahami pemikiran tentang kenaikan gaji ini, kita perlu melihat dampak dari kenaikan gaji terhadap kinerja pekerja pada umumnya dan pegawai negeri khususnya.

Secara umum, para ahli membedakan pembayaran kepada pegawai atau pekerja atas dua macam, yaitu gaji dan bonus. Herzberg menggolongkan gaji sebagai faktor higienis, sementara bonus sebagai faktor motivator atau motivating factor.

Gaji hal wajar

Bagi pegawai negeri, gaji dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Dia merasa biasa-biasa saja kalau menerima, tetapi kecewa kalau tidak menerimanya. Jadi, tidak ada unsur motivasi dari gaji.

Namun, bonus kalau diberikan sebagai kompensasi atas tingginya kinerja adalah sesuatu pemberian yang tidak mesti. Dia tidak kecewa kalau tidak menerima, tetapi menimbulkan dorongan kalau dia terima. Dilihat dari pandangan ini, kenaikan gaji PNS DKI Jakarta tidak akan memicu kenaikan kinerja.

Namun, dalam negara berkembang seperti Indonesia, tingkat gaji pegawai negeri sampai saat ini masih jauh di bawah gaji normal yang diterima pegawai swasta dalam negeri dan pegawai negeri negara-negara maju pada umumnya.
Tingkat gaji yang rendah itu telah menimbulkan berbagai efek. Antara lain, tenaga-tenaga muda Indonesia yang terdidik dan terampil lebih memilih bekerja di luar lingkup pemerintahan atau mencari kerja di luar negeri.

Yang mau melamar atau menjadi pegawai negeri adalah mereka yang karena terhalang oleh keadaan keluarga (orangtua sudah tua, istri tidak berkenan merantau, anak banyak, dan sebagainya) dan terutama karena tidak mendapat pekerjaan lain atau tak punya semangat juang (mengharapkan pensiun di hari tua).

Umumnya mereka yang melamar jadi pegawai negeri adalah tenaga sisa yang tidak bermutu dan bersemangat rendah. Dengan gaji yang rendah itu terlalu sulit untuk hidup layak bagi orang-orang yang jujur.

Mengharapkan adanya kenaikan kinerja sebelum gaji dinaikkan adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin. Dengan gaji yang tidak cukup untuk hidup, pegawai cenderung mencari pendapatan sampingan di luar tugasnya ketimbang meningkatkan kinerja atau bagi yang nakal melakukan penyelewengan kecil-kecilan.

Gaji kecil yang diberikan kepada PNS selama ini mencerminkan adanya toleransi untuk menyeleweng. Hal itu sudah membudaya, yaitu budaya yang dapat disebut sebagai ”diberi tidak, diambil boleh”. Budaya ini adalah cermin dari ketidakmampuan pengawasan dari pimpinan di masa lampau.

Seorang raja tidak dapat mengontrol adipati atau bupatinya di daerah-daerah. Mereka percaya saja. Gaji yang diberikan bukan untuk hidup, melainkan sekadar sebagai simbol. Padahal, orang sehat tidak dapat hidup dengan simbol.
Dari total pajak yang dipungut sebagian diambil adipati dan bupati. Sisanya diserahkan kepada raja. Raja yang lemah itu tidak pernah mempersoalkan berapa total pajak yang diterima. Sebenarnya raja tahu kalau adipati dan bupatinya mengambil sebagian besar dari pajak itu, tetapi dia pura-pura tidak tahu. Upeti sejumlah itu sudah cukup, malah berlebihan untuk kehidupan raja dan lingkungan istana. Toh, pengeluarannya tidak banyak. Hanya untuk keperluan rutin. Tidak ada program pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Proyek pembangunan tidak perlu dianggarkan, cukup dengan gotong royong. Tidak perlu ada pengeluaran pemerintah.

Revolusi administrasi

Apa yang dilakukan Gubernur DKI dengan menaikkan gaji secukupnya adalah sebuah perubahan, sebuah revolusi administrasi. Sebagai orang yang pernah belajar administrasi dan kebijakan publik, saya menyambut baik gagasan dan kebijakan itu. Semoga pemerintah pusat mengambil contoh dari gebrakan tersebut.

Sebuah pedoman yang perlu diingat dalam pemberian gaji adalah jumlah yang ”dapat menjamin orang jujur hidup layak”. Dengan demikian, diharapkan dapat mengubah pandangan yang keliru selama ini di Indonesia.

Pandangan yang mengasosiasikan orang jujur sebagai orang yang terlihat sangat sederhana, bahkan seperti orang melarat. Pakaian cukup satu atau dua pasang. Ke mana-mana cukup jalan kaki atau naik sepeda. Ini harus diubah. Orang jujur bukan pada penampilan melarat, tetapi pada integritas pribadinya. Boleh sederhana, cukup hidup tanpa dibantu orang lain dan tidak terpaksa harus korupsi sepeser pun.

Adalah benar terhadap pegawai negeri yang telah diberikan gaji tinggi itu harus diterapkan zero tolerance. Kalau juga masih malas, tidak ada inisiatif, atau mencuri, tanpa tedeng aling-aling harus dipecat dengan tidak hormat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar