Selasa, 17 Februari 2015

Mentalitas Paleolitikum

Mentalitas Paleolitikum

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DALAM rangkaian sejarah kehidupan manusia, pernah ada suatu masa yang disebut dengan zaman batu tua (paleolitikum), ketika semua jenis peralatan yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kebanyakan berasal dari batu. Batu demikian berharga karena hampir semua kebutuhan manusia ditopang dan bergerak karena batu. Batu menjadi pusat perputaran kehidupan manusia untuk jangka waktu yang cukup lama, dan itu terjadi sekitar 600 ribu tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium). Pada zaman paleolitikum itu, alat-alat yang mereka hasilkan masih sangat kasar.
Zaman batu tua itu memiliki ciri kebudayaan yang sangat sederhana. 

Keberadaban belum ditandai dengan nilai-nilai etika yang disusun berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan masyarakat. Karena itu, pada zaman tersebut manusia cenderung hidup berpindah-pindah (nomaden), suka berburu, dan menangkap ikan. Tak ada yang salah dengan aktivitas itu karena berdasarkan pemahaman dan kepercayaan mereka, hidup berpindah-pindah ialah pertanda semangat dan terus berikhtiar mempertahankan kehidupan. Semangat berpindah-pindah juga dilakukan secara bersama dan karena itu, memiliki jiwa kebersamaan yang juga baik.

Jika interpretasi kita benar tentang ciri-ciri kebudayaan zaman batu tua itu terjadi, ada baiknya kita meniru dan belajar dari cara-cara kebersamaan mereka dalam mempertahankan kehidupan. Namun, di zaman teknologi komunikasi seperti sekarang ini, kebersamaan serasa nisbi karena konsepnya tergantikan secara visual dan tak perlu lagi secara fisik. Manusia terhubung dengan pusat informasi dan industri komunikasi yang sedemikian hebatnya sehingga sendi-sendi kebersamaan manusia secara fisik menjadi tak penting lagi.

Jika kita menengok sejarah agama-agama, zaman batu tua juga sedikit banyak memengaruhi cara manusia berhubungan dengan Yang Maha Tinggi. Di zaman Nabi Ibrahim, misalnya, batu digunakan sebagai alat untuk berhubungan dengan Tuhan. Berhala-berhala yang terbuat dari batu dijadikan media komunikasi dengan Tuhan, dan menurut pemahaman keimanan Ibrahim serta rasionalitas, yang membedakan manusia dengan Tuhan menjadi begitu tak jelas. Batu jelasjelas telah berjasa membawa pemahaman manusia ke arah teologi yang tunggal karena jika batu dianggap menyesatkan manusia, pada waktu yang sama juga akibat batu, manusia menjadi sadar akan adanya Tuhan Yang Esa.

Fenomena batu juga akhir-akhir ini juga menguat di kalangan masyarakat. Entah siapa yang memulai trendsetter menyukai batu (akik) itu, mulai anak-anak, orangtua, kakek dan nenek bahkan hingga pejabat dan selebritas seperti menemukan makna kehidupan baru dengan seni hias batu karena harga dari batu itu terus naik. Nilai ekonomi batu akik membuat semua orang seperti ingin berburu batu dan ramai-ramai mema merkan aneka ragam batu tersebut dengan memberikan nama-nama yang mampu meningkatkan nilai jual. Pendek kata, fenomena itu bahkan sepertinya memang disengaja dihembuskan pihak-pihak tertentu yang melihat ketidakberdayaan masyarakat secara ekonomi. Karena kebanyakan rakyat tak mampu untuk membeli emas dan permata, batu ialah pilihan rasional bagi masyarakat kalangan bawah untuk terus memiliki kemungkinan. Namun, alih-alih meningkatkan taraf hidup masyarakat, fenomena batu malah menimbulkan dua kekacauan sekaligus. Kekacauan pertama ialah meningginya kembali `kepercayaan' masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan supernatural selain Tuhan.Tidak sedikit dari masyarakat kita yang kembali meniupkan kepercayaan dan khasiat dari batu-batu akik tersebut untuk menunjang kesuksesan hidup.Batu seakan mendapatkan kembali tempatnya seperti zaman Ibrahim, menjadi perantara untuk percaya kepada Tuhan, dan jelas-jelas itu ialah sebuah kemusyrikan yang nyata dan tak terampuni.

Kekacauan kedua ialah munculnya konflik di tengah masyarakat. Bayangkan, di Aceh misalnya, dihembuskan informasi bahwa akik dari Aceh memiliki nilai jual yang tinggi. Akibatnya, banyak pendatang luar Aceh yang datang ke Aceh untuk berburu akik dari Aceh dan sontak menimbulkan konflik yang hampir-hampir menimbulkan korban jiwa. Ada batu seberat 2 ton yang menjadi rebutan dan menjadi sumber konflik dan jika fenomena itu tak segera dicegah, jelas akan menimbulkan kerugian lahir dan batin. Harus ada kepedulian dari seluruh unsur, terutama orangtua, tokoh masyarakat, dan pemuka agama tentang efek buruk batu akik yang lebih banyak daripada efek baiknya.

Saya mengkhawatirkan mentalitas paleolitikum menghinggapi seluruh wilayah kejiwaan masyarakat bawah kita, yaitu dimulai dengan mencintai batu dan menjadikannya sebagai bagian kebutuhan hidup keseharian mereka, kemudian menjadikan batu sebagai medium untuk berkomunikasi dengan Yang Mahagaib, dan jika itu terjadi, pasti akan memandulkan dan menurunkan sendi-sendi kebudayaan kita sebagai masyarakat yang beradab, rasional, dan pekerja keras. Mentalitas jenis itu jelas akan menjadikan masyarakat kembali malas, tak mau bekerja, dan berharap terlalu banyak pada halusinasi tentang batu.

Di atas semuanya, secara alami jika terjadi pengalihan keyakinan dari Tuhan kepada batu, masyarakat kita akan menjadi sangat mudah terseret oleh api dendam. Hal yang material seperti batu cenderung secara psikologis akan membuat paradigma masyarakat gampang tersulut oleh isu yang tidak benar dan itu akan membuat mereka gampang terprovokasi.

Marilah kita menyadari bersama bahwa kalau tak karena dendam, pastilah negeri ini sudah aman damai, baldatun thoyyibatun warabbun ghafur. Namun, karena aman dan damai (baldah thoyyibah) tak kunjung datang, ampunan Tuhan pun (rabbun ghafur) pasti tak akan sampai. Jadi, jelas sekali hubungan antara yang material dan nonmaterial, yang wujud dengan yang gaib, selalu harus menjadi dua prasyarat yang tidak bisa dinisbikan satu dengan lainnya. Dendam seolah menjadi prasyarat yang tak pernah bisa dilepaskan sekaligus dilupakan masyarakat yang mudah tergiur kepada kehidupan duniawi yang singkat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar