Selasa, 17 Februari 2015

Mengawal Nawacita pada APBN-P 2015

Mengawal Nawacita pada APBN-P 2015

Enny Sri Hartati  ;  Direktur Indef
MEDIA INDONESIA, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SIDANG Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) pada 13 Feb ruari 2015 akhirnya mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, postur baru APBN-P 2015 merupakan salah satu dokumen pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu publik. Pasalnya, APBN-P 2015 akan menjadi tolok ukur awal terhadap komitmen dan realisasi dari berbagai macam janji kampanye pemerintahan Jokowi-JK.

APBN-P 2015 juga akan menjadi barometer ada-tidaknya perubahan arah kebijakan fiskal pemerintah ke depan. Publik masih mencatat betul janji pemerintahan Jokowi-JK untuk mewujudkan kemandirian ekonomi.Utamanya komitmen program Nawacita untuk membangun dari daerah pinggiran, peningkatan produktivitas rakyat, dan daya saing ekonomi.

Secara umum, terdapat optimisme publik dengan melihat postur APBN-P 2015.Setidaknya secara fundamental ada dua komitmen penting pemerintah, yaitu komitmen untuk melakukan efisiensi belanja dan optimalisasi target penerimaan pajak.

Hal itu penting karena urgensi APBN ialah sebagai instrumen kebijakan fiskal yang harus mampu berperan optimal dalam memberikan stimulus atau dorongan terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi.Peran itu hanya akan efektif dan berjalan optimal jika tersedia ruang fiskal yang memadai dalam APBN. Utamanya tersedianya alokasi anggaran yang tidak mengikat atau anggaran-anggaran yang bersifat produktif yang mampu memberikan stimulus fiskal.

Seperti diketahui, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, peran pemerintah dalam memberikan stimulus perekonomian sangat terbatas. Hal itu terlihat pada kontribusi belanja pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (PDB) hanya berkisar 8% sampai 9%. Padahal, volume APBN-P 2014 telah mencapai lebih dari Rp1.800 triliun atau mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam enam tahun terakhir.

Ironisnya, kontribusi belanja pemerintah dalam PDB justru semakin menurun karena sering dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berjalan secara autopilot karena terbatasnya stimulus fiskal yang diperankan pemerintah. Mandulnya peran belanja pemerintah dalam mem berikan stimulus perekonomian antara lain tersandera oleh besarnya belanja subsidi dan besarnya belanja rutin, operasional, serta belanja birokrasi yang boros.

Langkah efisiensi be lanja dalam APBN-P 2015 memang telah dimulai, yaitu adanya realokasi dari belanja pelayanan umum guna meningkatkan belanja fungsi ekonomi. Dalam APBN-P 2014 belanja pelayanan umum mencapai lebih dari Rp856 triliun, dan dalam APBN-P 2015 dipangkas menjadi sekitar Rp713 triliun. Sementara itu, anggaran untuk fungsi ekonomi meningkat dari sekitar Rp114 triliun menjadi sekitar Rp216 triliun.

Di sisi lain, belanja subsidi energi yang semula pada APBN 2014 mencapai lebih dari Rp350 triliun dapat dipangkas tinggal sebesar Rp137,8 triliun. Subsidi energi yang masih dipertahankan di antaranya ialah subsidi solar, elpiji tabung 3 kg, dan LGV mencapai sekitar Rp64,6 triliun, serta subsidi listrik sebesar Rp73,1 triliun. Sementara itu, alokasi subsidi nonenergi naik dari Rp52 triliun menjadi Rp74,2 triliun pada APBN-P 2015.Sayangnya, penurunan belanja birokrasi (belanja barang dan pegawai) belum setajam yang diharapkan. Idealnya belanja 
barang harus lebih rendah daripada belanja modal. Porsi belanja pegawai mestinya bisa ditekan mendekati 16% seperti halnya waktu era Orde Baru.

Di sisi lain, pemerintah telah berupaya menggenjot penerimaan negara, yaitu dengan target peningkatan tax ratio menjadi 13,3%. Sayangnya, secara agregat penerimaan negara hanya sedikit mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp1.761,64 triliun, terdiri dari penerimaan dalam negeri Rp1.758,33 triliun dan penerimaan hibah Rp3,311 triliun. Target penerimaan dalam negeri dari penerimaan perpajakan memang mengalami lonjakan dari sekitar Rp1.246 triliun dalam APBN-P 2014 menjadi Rp1.489 triliun. Target penerimaan pajak PPh nonmigas naik menjadi Rp629,83 triliun, PPh migas Rp49,5 triliun, PBB Rp26,68 triliun, cukai Rp 145,7 triliun, pajak lainnya Rp11,7 triliun, bea masuk RP37,2 triliun, dan bea keluar Rp12 triliun. Namun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) justru menurun dari Rp386 triliun menjadi Rp281 triliun. Padahal, sekalipun terdapat penurunan penerimaan migas, seharusnya bisa dikompensasi dari optimalisasi penerimaan dari beberapa sektor prioritas, seperti pembersihan penangkapan ikan ilegal dari sektor kemaritiman, meminimalkan illegal logging pada sektor kehutanan, dan perbaikan tata kelola dan renegosiasi kontrak karya pada sektor pertambangan.

Artinya minimal potensi PNBP masih bisa dipertahankan seperti 2014 yang mencapai sekitar Rp386 triliun. Target PNBP dari kehutanan mestinya masih bisa digenjot lebih dari Rp4,7 triliun. Secara umum hampir semua target PNBP mengalami penurunan, sektor mineral dan batu bara sebesar Rp52,2 triliun, PNBP perikanan sebesar Rp578,8 miliar, PNBP Kementerin Hukum dan HAM sebesar Rp4,28 triliun, dan penerimaan badan layanan umum (BLU) Rp23,09 triliun.

Demikian juga dividen BUMN juga mengalami penurunan hanya ditargetkan sebesar Rp36,9 triliun berasal dari Pertamina Rp6,34 triliun, PLN Rp5,4 triliun dan lainnya sebesar Rp25,1 triliun. PNBP dari penerimaan SDA migas sebesar Rp81,3 triliun, SDA nonmigas Rp37,6 triliun. Bagian laba BUMN sebesar Rp36,9 triliun, PNBP lainnya sebesar Rp90,1 triliun, dan pendapatan badan layanan umum sebesar Rp23 triliun.

Masih terbatasnya langkah efisiensi dan optimalisasi penerimaan negara tentu tidak hanya menyebabkan masih belum optimalnya upaya melebarkan ruang fiskal, tetapi juga komitmen pemerintah Jokowi untuk mengurangi pembiayaan dari utang urung terlaksana. Defisit anggaran pada APBN-P 2015 dipatok sebesar Rp222,5 triliun atau 1,92% dari PDB. Jika dibandingkan dengan APBN 2015, defisit anggaran APBN-P 2015 telah lebih rendah, yaitu 9,52%. Namun, rasio defisit anggaran terhadap PDB masih naik tipis 0,02 dari semula 1,90% ke 1,92%.

Kenaikan rasio defisit anggaran terhadap PDB disebabkan adanya implikasi dari realisasi pertumbuhan ekonomi 2014 sebesar 5,02% dan perubahan perhitungan nominal PDB. Pembiayaan defisit anggaran akan berasal dari menerbitkan surat hutang berharga negara (SBN) sebesar Rp297,698 triliun dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp48,647 triliun. Ironisnya, defisit APBN yang masih cukup tinggi (1,9% dari PDB) masih diikuti defisit keseimbangan primer. Penerimaan dikurangi pengeluaran di luar pembayaran cicilan utang masih defisit sebesar Rp70,5 triliun. Hal itu menun jukkan manajemen pengelolaan ke uangan negara masih tekor.

Komitmen Nawacita

Program Nawacita yang ditunggu-tunggu masyarakat ialah realisasi dari membangun dari daerah pinggiran, peningkatan produktivitas rakyat, dan daya saing ekonomi. Pertama, program membangun dari pinggiran misalnya melalui peningkatan dana transfer ke daerah dan dana desa. Pada APBN-P 2015, dana transfer ke daerah mencapai Rp664,6 triliun, naik 11,42% jika dibandingkan dengan APBN-P 2014.

Dana tersebut diberikan pemerintah untuk daerah guna meningkatkan infrastruktur daerah yang dapat menunjang perekonomian daerah. Dana tersebut berbentuk dana alokasi khusus (DAK) di antaranya untuk infrastruktur irigasi sebesar Rp9,3 triliun, infrastruktur transportasi sebesar Rp4,99 triliun, dan sarana perdagangan 256 miliar.

Kedua, peningkatan produktivitas rakyat misalnya melalui meningkatkan anggaran sektor pertanian, dengan alokasi anggaran Kementerian Pertanian sebesar Rp16,92 triliun untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai guna mencapai swasembada pangan. Beberapa program prioritas yang menjadi target di antaranya (i) merehabilitasi jaringan irigasi seluas 1,1 juta hektare (Rp1,32 triliun, (ii) optimalisasi lahan seluas 530 ribu ha (Rp636 miliar), (iii) pengadaan benih padi 2,6 juta ha (Rp630,5 miliar), (iv) pengadaan benih jagung 1 juta ha (Rp750 miliar), (iv) percepatan perluasan area tanam kedelai 300 ribu ha (Rp641,8 miliar), (v) pendampingan TNI untuk dukung upaya khusus 50 ribu orang (Rp250 miliar), (vi) bantuan pupuk padi dan jagung 3,6 juta ha (Rp2,08 triliun), (vii) pengadaan traktor roda empat sebanyak 1.000 unit (Rp444,7 miliar), (viii) pengembangan system of rice intensification seluas 200 ribu hektare (Rp420 miliar), (ix) pengolahan pupuk organik 697 unit (Rp157,7 miliar), (x) pilot project asuransi pertanian mengover area tanam padi 1,04 juta ha (Rp150 miliar), dan (xi) pengembangan agrobisnis untuk 2.000 gabungan kelompok petani (gapoktan) perdesaan (Rp200 miliar).

Ketiga, program meningkatkan daya saing ekonomi, di antaranya pemerintah meningkatkan alokasi penyertaan modal negara sebesar Rp64,8 triliun. Upaya itu untuk meningkatkan kontribusi BUMN dalam menggerakkan perekonomian. 

Di samping itu, pemerintah meningkatkan belanja infrastruktur sebesar Rp290 triliun atau naik Rp100 triliun dari APBN-P 2014. Di antaranya ialah untuk pembangunan jalan Rp57,82 triliun, pemukiman Rp19,61 triliun, pengelolaan sumber daya air Rp30,53 triliun, dan pengembangan infrastruktur wilayah 500 miliar. Selain itu, terdapat dana tambahan untuk infrastruktur di daerah otonomi khusus seperti di Papua Rp2 triliun dan Papua Barat Rp1 triliun.

Pertanyaannya sekarang, sejauh mana perubahan postur APBN-P tersebut akan dapat memenuhi ekspektasi publik dan dapat mewujudkan program Nawacita? Tentu tanggung jawab publik juga untuk terus mengawalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar