Selasa, 17 Februari 2015

Memperkuat Kesetaraan PTN-PTS

Memperkuat Kesetaraan PTN-PTS

A Ilyas Ismail  ;  Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA
MEDIA INDONESIA, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DALAM pertemuan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Se-Indonesia (Aptisi) dengan Menristek Dikti Muhammad Nasir di Semarang, beberapa waktu lalu, kalangan PTS menyampaikan banyak keluhan (curhat) kepada Pak Menteri, soal kebijakan dan perlakuan pemerintah yang selama ini dinilai kurang adil, bahkan diskriminatif.Keluhan itu dinilai wajar karena pihak swasta dianggap memiliki peran penting dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa peran swasta (PTS), APK (angka partisipasi kasar) dalam pendidikan akan sangat rendah. Lantas, mengapa pemerintah bersifat diskriminatif, memberikan dukungan dan layanan secara berbeda, alias dikotomik, antara PTN dan PTS?

Perbedaan itu bisa dilihat dalam banyak kasus. Pertama, soal bantuan atau hibah. Sekadar contoh, untuk PTN hibah penelitian diberikan dalam bentuk block grant, sedangkan untuk PTS diberikan secara kompetitif melalui usulan proyek proposal. Bantuan atau hibah kepada PTN diberikan dalam jumlah sangat besar. Untuk satu PTN, bantuan bisa mencapai angka miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah, sedangkan untuk PTS tidak lebih dari Rp200-an juta saja.

Kedua, soal bantuan beasiswa. Beasiswa Bidik Misi (beasiswa pendidikan untuk mahasiswa miskin berprestasi) hanya diberikan dan dinikmati PTN. Beasiswa jenis itu tidak diberikan kepada PTS. Jumlah dana Bidik Misi terus dinaikkan dari tahun ke tahun. Untuk 2013, dana Bidik Misi mencapai angka Rp1,67 triliun yang diberikan kepada sekitar 156 ribu mahasiswa. Bayangkan, seandainya jumlah dana yang sama juga diberikan kepada PTS, akses dan kesempatan anak negeri untuk mengenyam pendidik tinggi akan semakin besar.

Ketiga, soal layanan. Untuk PTN, layanan diakomodasi secara langsung melalui Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi), sedangkan untuk PTS, diakomodasi Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) yang tersebar dari Kopertis I di Medan hingga Kopertis XII di Ambon dengan wilayah kerja meliputi Ambon, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Irian Jaya. Pelayanan dua atap itu, selain kurang efisien, ikut andil dalam melestarikan dikotomi PTN-PTS. 

Kesetaraan PTN-PTS

Dalam berbagai kesempatan, Menristek Dikti berjanji akan menghilangkan dikotomi PTN-PTS dan meningkatkan kesetaraan. Salah satu langkah kebijakan yang diambil ialah membubarkan Kopertis dan menggantinya de ngan L2PT (Lembaga Layanan Perguruan Tinggi). L2PT merupakan lembaga (satu atap) yang memberikan layanan secara bersama baik untuk PTN dan PTS. Langkah itu dinilai tepat dan diapresiasi kalangan PTS.

Namun, untuk benar-benar menghilangkan dikotomi PTNPTS, langkah itu belumlah cukup. Perlu ada kebijakan dan langkah-langkah lain yang lebih strategis. Menurut penulis, ada empat langkah paling tidak.

Pertama, melihat kembali peraturan dan perundang-undangan yang ada mengenai dikti mulai UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, PP No 4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, termasuk ketentuan dan aturan di bawahnya dalam bentuk kepmen dan permen, serta keputusan dan edaran Dirjen Dikti Kemendikbud.

Menurut Marzuki Alie, mantan Ketua DPR dan juga praktisi pendidikan, UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi telah membangun kesetaraan PTN-PTS. Namun, peraturan di bawahnya, PP, permendikbud, dan seterusnya, boleh jadi masih mengandung bibit-bibit dikotomik, secara eksplisit dan implisit. Untuk itu, Kemenristek Dikti disarankan agar me-review dan melakukan audit terhadap semua kebijakan sebelumnya.

Kedua, membangun sistem penganggaran baru yang lebih setara untuk PTN-PTS.APBN kita terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. APBN Perubahan 2013 mencapai angka Rp1.726,2 triliun. APBN 2014 naik 5% menjadi Rp1.816,7 triliun. APBN 2015, pada tahun pertama masa kepemimpinan Joko WidodoJusuf Kalla, naik lagi menjadi Rp2.039,5 triliun. Jika dihitung secara kasar, 20% dari total APBN, anggaran pendidikan mencapai angka Rp400 triliun lebih. Itu jumlah yang sangat besar. Jika alokasi dan penggunaan tidak merata, selain dinilai kurang adil, hal itu akan terus men jadi sumber kekisruhan seperti yang selama ini terjadi.

Ketiga, memperbesar bantuan dosen untuk PTS. Selama ini bantuan dosen PNS untuk PTS (dikenal dengan sebutan dosen dipekerjakan, DPK) sudah dilakukan, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil, dan itu pun umumnya terdiri dari PNS yang sudah masuk `usia senja' alias hampir pensiun. Padahal, disadari, soal SDM merupakan masalah paling krusial di lingkungan PTS.

Keempat, hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu memecahkan problem besar pendidikan kita, yaitu problem akses dan kualitas. Seperti diketahui, problem akses terkait dengan kesempatan semua anak negeri untuk mengenyam pendidikan tinggi, dengan bertanya: “Who get higher education?“ John Brennan melihat soal akses ini sebagai masalah sangat fundamental, khususnya bagi masyarakat yang masih memandang ijazah dan sertifikat sebagai kunci legitimasi bagi peran orang dewasa, status sosial, kepakaran dalam satu disiplin ilmu, kemajuan, bahkan dalam demokrasi (The Role of Universities, 2004, p 14).

Selain akses, problem yang lain ialah kualitas. Itu masalah yang lebih mendasar lagi. Problem itu tidak hanya berkaitan dengan sedikitnya perguruan tinggi kita yang masuk daftar 500 World Rank University, tetapi juga terkait dengan makin menjauhnya pendidikan dari tujuan [pendidikan] yang diamanatkan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, yaitu `mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab'.

Gagasan Menristek untuk menghilangkan dikotomi PTN-PTS dapat memberikan harapan dan membuka jalan baru untuk bisa memecahkan kedua problem besar di atas.Hal itu penting mengingat perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan berat. Selain harus menunaikan tugas pokoknya, yaitu menciptakan ilmu pengetahuan (knowledge creation), setiap perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, diminta untuk ikut menjaga dan mengawal moral bangsa, sebagai bagian integral dari moral akademik, yaitu menemukan, menyampaikan, dan mempertahankan kebenaran.

Perguruan tinggi juga diminta untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Bahkan John Brennan dan Roger King memasukkan satu peran lain lagi yang harus ditunaikan perguruan tinggi, yaitu mengisi apa yang dinamakan protected space (berupa sumbangan pemikiran, waktu, tenaga, dan high politic) yang memungkinkan orang lain bisa berbuat to think unthinkable, to push the limits of possible, to reflect and re-assess sehingga lahir transformasi sosial dan kultural seperti diharapkan.

Secara internal, menurut penulis, sebagai sesama pengelola, pemimpin atau akademisi di perguruan tinggi, PTN-PTS, PTU atau PTA, kita harus membangun sinergi dan kebersamaan. Musyarakah la mughalabah. Bersanding bukan bertanding. Sementara itu secara eksternal, dengan kekuatan bersama yang dimiliki, kita harus berani berkompetisi dengan pihak-pihak mana pun baik secara regional maupun global, dengan mengamalkan prinsip: engage lokally compete globally. Wallahualam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar