Siapa
Takut KPK?
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
02 Februari 2015
HANYA mereka yang melakukan
korupsi takut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka yang tidak pernah
korupsi dapat tidur tenang di tengah kemiskinannya.
Tidak masuk akal kalau mereka yang
bersih, yang tidak menilap uang negara, takut kepada KPK meskipun kaya raya.
KPK adalah lembaga bentukan negara yang terpaksa diadakan karena kejahatan
korupsi sudah tidak dapat lagi diatasi dengan proses pengadilan biasa.
Gejala korupsi di Indonesia sudah
begitu luar biasa sehingga diperlukan sebuah komisi, panitia khusus, yang
juga harus luar biasa cara kerjanya.
Lembaga KPK harus luar biasa
kekuasaan dan kekuatannya, harus luar biasa orang- orangnya, harus luar biasa
kecerdasannya, harus tinggi standar moralitasnya. KPK harus dijadikan buaya
agar mampu mengerkah buaya-buaya lain, bahkan harimau dan singa sekalipun.
Orang masih trauma terhadap
besarnya kekuasaan pada lembaga-lembaga negara karena lebih dari setengah
abad kita ditindas oleh kekuasaan-kekuasaan gigantik semacam itu.
Untunglah reformasi yang baru
berusia 15 tahun sudah berdampak positif, yakni memberikan pengalaman
bagaimana membatasi kekuasaan negara. Apalagi, ini hanya lembaga komisi yang
suatu saat dapat dihapus.
Kejahatan korupsi yang sudah ada
di luar batas ini tidak dapat dihadapi dengan cara-cara biasa yang lumrah
seperti di negara-negara yang pengalaman demokrasinya jauh lebih tua. Mereka
sudah tidak memerlukan KPK lagi. Kita masih memerlukannya, mudah-mudahan
tidak lama.
Ukuran standar
Memakai ukuran standar
negara-negara maju untuk bangsa yang masih berkembang dapat melahirkan dua
muka. Ukuran negara maju dengan lancar dan efektif berlaku bagi lapisan
sosial yang sudah berpendidikan tinggi.
Kebebasan dan individualitas amat
dijunjung tinggi dan dapat dijalankan dengan lancar di kalangan terpelajar
perkotaan. Namun, sebagian besar bangsa ini belum sempat menikmati pendidikan
modern tingkat menengah dan tinggi. Mereka hanya mengenal kolektivitas dan
menggantungkan hidup pada pimpinan kolektifnya.
Kebebasan individu yang dipaksakan
oleh kaum terpelajarnya menyebabkan mereka mudah terperangkap oleh para
petualang politik.
Maka, kita harus menemukan cara
Indonesia dalam memecahkan masalah-masalah ini. Namun, untuk itu, perlu
memahami diri sendiri dulu.
Apa dan siapakah Indonesia? Apakah
Indonesia setara dengan Amerika atau Australia? Apakah Indonesia mirip
Thailand atau Korea? Ataukah Indonesia ini lebih mirip negara-negara Afrika?
Kepala kita terlalu banyak diisi
oleh literatur negara-negara maju dan membayangkan kita sama dengan mereka,
tetapi kaki kita menginjak tanah becek pertanian yang para penggarapnya masih
memperebutkan pernik-pernik tumpeng pusaka dari keraton-keraton Jawa. Kepala
mereka tidak diisi buku-buku bacaan asing, tetapi diisi tutur-tutur lisan
yang didengarkan secara kolektif.
KPK ini dibentuk memakai muka yang
mana? Tentu saja muka dengan isi kepala pengetahuan negara-negara maju. Akan
tetapi, bagaimana ini ditanggapi oleh sistem pengetahuan lisan kolektif?
Ringan saja: bagaimana cicak mau
menangkap buaya? Kalau mau menangkap buaya harus dengan buaya yang lebih
besar dan kuat. Tidak perlu buaya cerdas. Karena cicak secerdas apa pun tidak
akan bisa menangkap buaya, yang kerdil sekalipun.
Maling besar itu tak mungkin
ditangkapi oleh seribu polisi kecil. Maling besar hanya bisa ditangkap polisi
besar. Masalahnya adalah adu kekuatan dan kekuasaan, bukan adu hukum dengan
argumen pasal-pasalnya yang jelimet. Adu otak. Rakyat kecil kolektif ini
tahunya adu kekuatan dan kekuasaan saja, seperti mereka pelajari dari
kisah-kisah wayang dan cerita-cerita tradisi lisan.
Sudah jelas ada maling besar
dengan kekayaan pegawai yang amat fantastis buat ukuran Indonesia, mengapa
harus jelimet mencari pasal-pasal undang-undangnya yang kalau kalah cerdas si
maling kakap bisa lolos bebas merdeka menikmati kekayaannya?
Bersihkan dari atas
Mantan Menteri Luar Negeri Mochtar
Kusumaatmadja pernah mengutip kearifan lokal Bugis yang menyatakan, kalau mau
membersihkan rumah harus dari atas, bukan dari bawah. Untuk membersihkan yang
di atas diperlukan orang-orang berani yang tidak takut ketinggian, sedangkan
membersihkan bagian bawah anak-anak juga bisa.
Muka dua Indonesia ini dengan
cerdik dimanfaatkan rezim Orde Baru demi kepentingan kekuasaannya. Kalau
rakyat berbuat dengan tingkat pemikiran bawah dan mengancam kekuasaan, dengan
mudah disalahkan sebagai tidak berpikir modern dan ketinggalan zaman.
Akan tetapi, kalau pemikiran
golongan atas ini dipakai sebagai dasar argumentasi dan mengancam kekuasaan,
dengan mudah pula disalahkan bukan sebagai pemikiran Indonesia.
Zaman telah jauh berubah. Setelah
reformasi kita jelas berpihak pada cara berpikir canggih kaum terpelajar.
Namun, harus diingat bahwa fakta sosial kita masih banyak yang cara berpikirnya
amat primordial.
Dalih kaum politisi bahwa rakyat
kita sudah pandai dan tak bisa dibohongi jelas tidak pernah blusukan ke
kampung-kampung tertinggal di pelosok Tanah Air. Yang sudah ”pandai” dan
tidak bisa dibodohi itu adalah kelompok kaum urban yang isi kepalanya sama
dengan mereka.
KPK itu ditakuti yang korupsi dan
tidak ditakuti yang bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar