Selasa, 03 Februari 2015

Siapa Takut KPK?

Siapa Takut KPK?

Jakob Sumardjo ;  Budayawan
KOMPAS, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

HANYA mereka yang melakukan korupsi takut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka yang tidak pernah korupsi dapat tidur tenang di tengah kemiskinannya.

Tidak masuk akal kalau mereka yang bersih, yang tidak menilap uang negara, takut kepada KPK meskipun kaya raya. KPK adalah lembaga bentukan negara yang terpaksa diadakan karena kejahatan korupsi sudah tidak dapat lagi diatasi dengan proses pengadilan biasa.

Gejala korupsi di Indonesia sudah begitu luar biasa sehingga diperlukan sebuah komisi, panitia khusus, yang juga harus luar biasa cara kerjanya.

Lembaga KPK harus luar biasa kekuasaan dan kekuatannya, harus luar biasa orang- orangnya, harus luar biasa kecerdasannya, harus tinggi standar moralitasnya. KPK harus dijadikan buaya agar mampu mengerkah buaya-buaya lain, bahkan harimau dan singa sekalipun.

Orang masih trauma terhadap besarnya kekuasaan pada lembaga-lembaga negara karena lebih dari setengah abad kita ditindas oleh kekuasaan-kekuasaan gigantik semacam itu.

Untunglah reformasi yang baru berusia 15 tahun sudah berdampak positif, yakni memberikan pengalaman bagaimana membatasi kekuasaan negara. Apalagi, ini hanya lembaga komisi yang suatu saat dapat dihapus.

Kejahatan korupsi yang sudah ada di luar batas ini tidak dapat dihadapi dengan cara-cara biasa yang lumrah seperti di negara-negara yang pengalaman demokrasinya jauh lebih tua. Mereka sudah tidak memerlukan KPK lagi. Kita masih memerlukannya, mudah-mudahan tidak lama.

Ukuran standar

Memakai ukuran standar negara-negara maju untuk bangsa yang masih berkembang dapat melahirkan dua muka. Ukuran negara maju dengan lancar dan efektif berlaku bagi lapisan sosial yang sudah berpendidikan tinggi.
Kebebasan dan individualitas amat dijunjung tinggi dan dapat dijalankan dengan lancar di kalangan terpelajar perkotaan. Namun, sebagian besar bangsa ini belum sempat menikmati pendidikan modern tingkat menengah dan tinggi. Mereka hanya mengenal kolektivitas dan menggantungkan hidup pada pimpinan kolektifnya.

Kebebasan individu yang dipaksakan oleh kaum terpelajarnya menyebabkan mereka mudah terperangkap oleh para petualang politik.

Maka, kita harus menemukan cara Indonesia dalam memecahkan masalah-masalah ini. Namun, untuk itu, perlu memahami diri sendiri dulu.

Apa dan siapakah Indonesia? Apakah Indonesia setara dengan Amerika atau Australia? Apakah Indonesia mirip Thailand atau Korea? Ataukah Indonesia ini lebih mirip negara-negara Afrika?

Kepala kita terlalu banyak diisi oleh literatur negara-negara maju dan membayangkan kita sama dengan mereka, tetapi kaki kita menginjak tanah becek pertanian yang para penggarapnya masih memperebutkan pernik-pernik tumpeng pusaka dari keraton-keraton Jawa. Kepala mereka tidak diisi buku-buku bacaan asing, tetapi diisi tutur-tutur lisan yang didengarkan secara kolektif.
KPK ini dibentuk memakai muka yang mana? Tentu saja muka dengan isi kepala pengetahuan negara-negara maju. Akan tetapi, bagaimana ini ditanggapi oleh sistem pengetahuan lisan kolektif?

Ringan saja: bagaimana cicak mau menangkap buaya? Kalau mau menangkap buaya harus dengan buaya yang lebih besar dan kuat. Tidak perlu buaya cerdas. Karena cicak secerdas apa pun tidak akan bisa menangkap buaya, yang kerdil sekalipun.

Maling besar itu tak mungkin ditangkapi oleh seribu polisi kecil. Maling besar hanya bisa ditangkap polisi besar. Masalahnya adalah adu kekuatan dan kekuasaan, bukan adu hukum dengan argumen pasal-pasalnya yang jelimet. Adu otak. Rakyat kecil kolektif ini tahunya adu kekuatan dan kekuasaan saja, seperti mereka pelajari dari kisah-kisah wayang dan cerita-cerita tradisi lisan.

Sudah jelas ada maling besar dengan kekayaan pegawai yang amat fantastis buat ukuran Indonesia, mengapa harus jelimet mencari pasal-pasal undang-undangnya yang kalau kalah cerdas si maling kakap bisa lolos bebas merdeka menikmati kekayaannya?

Bersihkan dari atas

Mantan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja pernah mengutip kearifan lokal Bugis yang menyatakan, kalau mau membersihkan rumah harus dari atas, bukan dari bawah. Untuk membersihkan yang di atas diperlukan orang-orang berani yang tidak takut ketinggian, sedangkan membersihkan bagian bawah anak-anak juga bisa.

Muka dua Indonesia ini dengan cerdik dimanfaatkan rezim Orde Baru demi kepentingan kekuasaannya. Kalau rakyat berbuat dengan tingkat pemikiran bawah dan mengancam kekuasaan, dengan mudah disalahkan sebagai tidak berpikir modern dan ketinggalan zaman.

Akan tetapi, kalau pemikiran golongan atas ini dipakai sebagai dasar argumentasi dan mengancam kekuasaan, dengan mudah pula disalahkan bukan sebagai pemikiran Indonesia.

Zaman telah jauh berubah. Setelah reformasi kita jelas berpihak pada cara berpikir canggih kaum terpelajar. Namun, harus diingat bahwa fakta sosial kita masih banyak yang cara berpikirnya amat primordial.

Dalih kaum politisi bahwa rakyat kita sudah pandai dan tak bisa dibohongi jelas tidak pernah blusukan ke kampung-kampung tertinggal di pelosok Tanah Air. Yang sudah ”pandai” dan tidak bisa dibodohi itu adalah kelompok kaum urban yang isi kepalanya sama dengan mereka.

KPK itu ditakuti yang korupsi dan tidak ditakuti yang bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar