Jumat, 06 Februari 2015

Memperluas Hukuman Mati

Memperluas Hukuman Mati

Misranto  ;  Sekjen Forum Pendidikan Nasional;
Alumnus Doktor Fakultas Hukum Unair Surabaya
MEDIA INDONESIA, 06 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

EKSEKUSI terhadap sejum lah terpidana mati kasus narkoba babak kedua di pemerintahan Joko Widodo akan segera dilaksanakan. Sejumlah aktivis HAM tetap mengecam sikap konsistensi Jokowi terhadap pelaksanaan hukuman mati. Sejak Kejaksaan Agung Republik Indonesia menghukum mati enam terpidana obat-obatan terlarang, yakni Marco Archer Cardoso Moreira (warga negara Brasil), Rani Andriani (WNI), Namaona Denis (warga negara Malawi), Daniel Enemuo (warga negara Nigeria), Ang Kiem Soei (warga negara Belanda), serta Tran Thi Bich Hanh (warga negara Vietnam), pada pertengahan Januari lalu, kontroversi memang bermunculan.

Meski ada yang mengecam atau mengkritik keras, dukungan masyarakat internasional terhadap pelaksanaan hukuman mati juga mengalir.Misalnya, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, mengatakan bahwa Rusia menghormati hukum yang berlaku di Indonesia termasuk hukuman mati yang dijatuhkan kepada terdakwa kriminal.

Presiden Jokowi meminta setiap negara harus menghormati kedaulatan negara lain. Pelaksanaan hukuman mati merupakan komitmen pemerintah Indonesia dalam memberantas narkoba yang digunakan oleh 4,5 juta warga Indonesia, yakni 1,2 juta orang di antaranya dalam kondisi tidak dapat direhabilitasi karena kondisinya sudah parah.

Akselerasi penyalahgunaan narkoba dapat dijadikan pembanding.Riset BNN menyebutkan bahwa sekitar 15 ribu jiwa harus melayang sia-sia tiap tahun karena barang haram tersebut. Dari waktu ke waktu jumlahnya terus meningkat.Pada 1997, hanya terjadi 622 kasus narkoba. Memasuki tahun 2000-an, terjadi lebih dari 3 ribu kasus. Di atas 2005, kasus narkoba mencapai puluhan ribu. Pada 2011, kasus narkoba yang terungkap sebanyak 26.560 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 32.876 orang (Fajri Humaidi, 2013).

Kasus itu menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati menjadi logis. 
Akselerasi penyalahgunaan dapat dikendalikan oleh penerapan sanksi hukuman maksimal. Barangkali kalau hukuman mati tidak diterapkan di Indonesia, baik distributor maupun produsen akan semakin gencar dan terbuka menjalankan aktivitas kriminalnya.

Eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan terhadap enam terpidana kasus narkoba ini membuktikan kalau pemerintah Indonesia tidaklah main-main dalam memberantas kejahatan narkotika. Penyalahgunaam narkoba merupakan `common enemy' yang harus diperangi.

Perang terhadap siapa saja yang terbukti `membantai' anak-anak Indonesia lewat produksi dan pengedaran narkoba, wajib digalakkan, termasuk dalam mengimplementasikan sanksi hukuman pemberatan seperti hukuman mati.

Penyalahgunaan narkoba merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditangani dengan luar biasa. Indonesia sudah dalam kondisi darurat narkoba. Indonesia menduduki urutan ketiga pemakai narkoba di dunia. Berdasarkan catatan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN), Benny Mamoto, sedikitnya 50 warga negara Indonesia meninggal dunia akibat mengonsumsi narkoba setiap hari.

Narkoba bukan hanya meneror Indonesia, melainkan juga dunia. Berdasarkan   World Drug Report 2013 oleh Organisasi Dunia Penanganan Narkoba dan Kriminal (UNODC), jumlah orang meninggal dunia akibat penyalahgunaan narkoba mencapai 200 juta per tahun.Pengguna narkoba tercatat 315 juta orang pada usia produktif 15 hingga 64 tahun.

Pemerintah Indonesia tidak takut menghadapi kecaman dan sanksi politik yang dijatuhkan negara lain. Pemerintah tetap pada pendiriannya untuk menghukum mati `para pembunuh' anak-anak Indonesia dan dunia. Pemerintah menunjukkan pada dunia bahwa nyawa manusia tidak bisa ditukar dengan kepentingan diplomasi dan politik serta ekonomi global.

Memang seharusnya negara mana pun wajib menghormati sikap Indonesia. Kalau memang di internal negara (asing) ada yang belum menjadikan kejahatan penyalahgunaan narkoba (produsen dan pengedar) sebagai kejahatan istimewa, seperti Rusia, Brasil, Kolombia, Australia, dan lainnya, tetaplah wajib menghormati supremasi hukum Indonesia.

Setiap negara mempunyai problem yuridis dan jenis-jenis penyakit yang berkategori membahayakan yang berbeda-beda. Indonesia termasuk salah satu negara yang sudah mendapatkan eksaminasi serius dalam soal penyalahgunaan narkoba. Para produsen dan distributor lokal, nasional, hingga global telah mempunyai `rumah' dan korporasi di Indonesia.

Kita tak bisa membayangkan, andaikan hukuman mati (hati) tidak diterapkan di negeri ini sebagai hukum positif, tentulah para produsen atau distributor akan semakin leluasa dan `merdeka' dalam menjalankan aktivitasnya.

Di samping itu, mereka bisa menempatkan hukum di Indonesia secara sebelah mata atau produk legislasi narkoba Indonesia ditempatkan sebagai kekuatan minor akibat tidak mempunyai jenis hukuman yang berkadar `mengerikan'.
Jika dipandang sepintas, diberondong peluru oleh regu tembak sebagai wujud hukuman mati yang diterapkan di Indonesia memang `mengerikan'. Akan tetapi, yang paling mengerikan ialah pembunuhan massal yang dilakukan para produsen, bandar, distributor, dan siapa pun yang mendukung maraknya penyalahgunaan narkoba.

Kecenderungan pelecehan terhadap produk legislasi itu dapat terbaca dalam besaran jumlah pelakunya. Itu dapat terbaca dari jumlah narapidana penghuni lembaga pemasyarakatan. Catatan Ditjen Pemasyarakatan mengungkapkan, di 33 lembaga pemasyarakatan yang tersebar di Tanah Air yang menampung 45 ribu napi, 90% atau 41 ribu napi di antaranya terjerumus di hotel prodeo karena kasus narkoba (Hakam, 2014).

Data pelengkap dari sisi ekonomi yang diungkap tim survei dari Kelompok Kerja Penyelamat Generasi (KKPG) lebih `mengerikan' lagi, bahwa uang para bandit narkoba yang beredar di Indonesia ditaksir Rp360 triliun. Itu artinya, tiap hari jaringan narkoba rata-rata bisa memperoleh omzet Rp1 triliun.

Eskalasi pengedaran dan keuntungan bisnis narkoba itu tidak lepas dari bobroknya sebagian mental para pejabat Lembaga Pemasyarakatan (LP). Itu dibuktikan dengan temuan BNN yang menyebutkan bahwa 60% pengedaran narkoba di Indonesia dikendalikan atau digerakkan dari LP.

Tidak mungkin petugas Lapas tidak mengetahui kalau di institusinya dijadikan sebagai `pabrik' yang memproduksi dan mengedarkan narkoba. Kondisi ini wajib didekonstruksi pula dengan penerapan hukuman mati. Itu artinya, jika ada petugas yang terlibat sindikasi narkoba, wajib dikenai sanksi hukuman mati.

Kalau oknum-oknum petugas itu mendapatkan perlawanan secara egaliter dalam sistem peradilan pidana, termasuk mendapatkan hukuman mati sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sangat diniscayakan akan terjadinya perubahan besar. Para bandar, produsen, dan distributor tidak akan berani mempermainkan oknum petugas Lapas karena para petugasnya sendiri tidak bernyali untuk terjerat hukuman mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar