Rabu, 18 Februari 2015

Imunitas dalam Hukum Pidana

Imunitas dalam Hukum Pidana

Eddy OS Hiariej  ;  Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
KOMPAS, 18 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Harian Kompas menerbitkan artikel tiga kolega saya: Denny Indrayana, ”Urgensi Perppu Perlindungan KPK” (3/2); Amzulian Rifai, ”Imunitas Terbatas” (4/2); dan Zainal Arifin Mochtar, ”Berdiri Bersama Memberantas Korupsi” (11/2).

Intisari tulisan Denny dan Amzulian pada dasarnya sama: perlu memberi imunitas kepada pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi selama menjabat dan menjalankan tugas. Amzulian bahkan mengusulkan tidak hanya pemimpin KPK yang diberi imunitas, tetapi juga Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kepala Polri.

Zainal berpendapat, perlu adanya perlindungan terhadap KPK dalam melaksanakan tugas tanpa menyebutkan imunitas kepada pemimpinnya dengan merujuk pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Saya cenderung sependapat dengan Zainal, tetapi perlu dijelaskan lebih lanjut perihal perlindungan terhadap lembaga pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud UNCAC.

Dua postulat
                                   
Dalam hukum pidana, paling tidak dua postulat terkait imunitas. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya.

Seorang kepala negara memiliki imunitas di luar wilayah teritorial negaranya. Ini berdasarkan postulat par in parem non hebet imperium bahwa kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum negara lain. Postulat ini pun sudah disimpangi berdasarkan Pasal 27 Statuta Roma yang menurut Bruce Broomhall merupakan karakteristik hukum pidana internasional bahwa tanggung jawab individu dalam hukum pidana tak kenal relevansi jabatan resmi.

Demikian pula duta besar, konsul, dan diplomat yang mempunyai imunitas di negara penerima berdasarkan Konvensi Vienna 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Imunitas ini merujuk pada postulat legatus regis vice fungitur a quo destinatur, et honorandus est sicut ille cujus vicem gerit. Secara harfiah, postulat itu berarti seorang duta besar mewakili raja yang mengutusnya sehingga ia harus dihormati karena mengisi posisi sang raja.

Kalau saja kita memahami konsep dasar hukum pidana secara utuh, isu imunitas terhadap pemimpin KPK dan pemimpin lembaga penegak hukum lainnya tak perlu mewacana. Konsep itu telah ada sejak ratusan tahun lalu yang dirumuskan para ahli hukum pidana. Karena itu, dalam hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yang secara garis besar terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf.

George P Fletcher dalam Rethinking Criminal Law mengemukakan tiga teori terkait alasan penghapus pidana. Pertama, theory of pointless punishment diterjemahkan sebagai teori hukuman yang tak perlu. Teori ini adalah landasan alasan penghapus pidana, khususnya alasan pemaaf. Kedua, theory of lesser evils yang merupakan teori alasan pembenar. Karena itu, teori ini merupakan alasan penghapus pidana yang berasal dari luar diri pelaku. Ketiga adalah theory of necessary defense atau teori pembelaan yang diperlukan. Tak terdapat kesepakatan di antara para ahli hukum pidana, apakah teori itu merupakan dasar alasan pembenar ataukah alasan pemaaf.

Ada kalanya, theory of necessary defense dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan sehingga merupakan alasan pembenar. Namun, tidak jarang theory of necessary defense menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku sehingga theory of necessary defense digolongkan ke dalam teori alasan pemaaf.

Salah satu alasan pembenar melaksanakan perintah undang-undang (te uitvoering van een wettelijke voorschrift) adalah untuk kemanfaatan publik dan kepentingan umum sehingga tidaklah dapat dipidana (Vos, 1950, halaman 167). Artinya, berdasarkan Pasal 50 KUHP (barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana), seorang pemimpin lembaga atau seorang pejabat negara dalam melaksanakan tugas, kewajiban, dan kewenangannya berdasarkan undang-undang tak dapat dipidana tanpa perlu penegasan dalam undang-undang yang memberi tugas, kewajiban, kewenangan, dan hak kepadanya.

Demikian pula seorang bawahan tidaklah dapat dipidana jika suatu perbuatan, meskipun melawan hukum, dilakukan dengan iktikad baik dan berdasarkan perintah jabatan. Sejumlah ketentuan dalam hukum positif kita yang memberi imunitas tak dapat dituntut secara pidana dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diutarakan oleh Denny dan Zainal dalam artikel mereka, bukanlah konsep baru, melainkan lebih memperlihatkan ketidakpahaman pembentuk undang-undang terhadap konsep dasar hukum pidana.

Tanpa ketentuan Pasal 224 Undang-Undang MD3, anggota DPR tidaklah dapat dituntut selama yang bersangkutan melaksanakan tugas sesuai dengan undang-undang. Demikian pula tanpa Pasal 10 Undang-Undang Ombudsman, mereka yang bekerja dalam rangka pelaksanaan tugas sesuai dengan undang-undang tidaklah dapat dituntut. Hal ini karena hukum pidana telah memberi perlindungan dalam Pasal 50 KUHP sebagaimana tersebut di atas dan pasal yang demikian terdapat di dalam ketentuan umum KUHP di semua negara di dunia ini.

Dalam tataran praktis, imunitas yang diberikan secara khusus tak ada gunanya selama yang bersangkutan memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana. Fakta konkret, Budi Mulya tetap dituntut KPK dan terbukti di Pengadilan Tipikor terkait talangan Bank Century kendati Pasal 45 Undang-Undang Bank Indonesia memberi imunitas kepada gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur dalam mengambil kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenang menurut undang-undang itu.

Tidaklah mengherankan jika pembentuk undang-undang KPK yang notabene para ahli hukum pidana tak memberikan imunitas khusus kepada pemimpin KPK. Justru sebaliknya, pemimpin KPK diganjar dengan pidana paling lama 5 tahun penjara jika mengadakan hubungan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK (Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang KPK). Ini dimaksud mencegah kesewenang-wenangan pemimpin KPK atas kekuasaan yang amat besar berdasarkan Undang-Undang KPK.

Harus diubah

Perlindungan terhadap lembaga pemberantasan korupsi menurut UNCAC tidak diterjemahkan sebagai pemberian imunitas terhadap pemimpin lembaganya. Namun, harus diartikan sebagai perlindungan terhadap bekerjanya sistem hukum pemberantasan korupsi. Dalam konteks KPK, selama ini penetapan tersangka dan proses hukum terhadapnya dilakukan pemimpin KPK secara kolektif kolegial haruslah diubah. Penetapan tersangka dan proses hukum terhadapnya cukup dilakukan salah satu pemimpin KPK. Kewenangan itu dapat didelegasikan kepada deputi penindakan atau direktur penyidikan atau direktur penuntutan. Dalam hal tertentu, kewenangan itu dapat diberikan kepada penyidik yang menangani perkara. Ini dimaksud agar roda organisasi KPK tetap berjalan manakala pemimpin bermasalah atau dicari-cari masalahnya secara hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar