Minggu, 08 Februari 2015

Korupsi dan Politik

Korupsi dan Politik

Yonky Karman  ;  Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PROBLEM korupsi politik merupakan akar dari masalah korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi politik telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan akses kesejahteraan bagi warga negara di Indonesia.

Pernyataan di atas adalah kesimpulan Danang Trisasongko, aktivis anti korupsi yang juga Sekjen Transparency International Indonesia, saat peluncuran Indeks Persepsi Korupsi, 3 Desember 2014.

Dalam laporan Forum Ekonomi Dunia tentang Indeks Daya Saing Global 2014-2015, posisi Indonesia (dari 144 negara) sedikit membaik pada peringkat ke-34 dengan skor 4,57 (skala 1-7). Namun, posisi itu hanya naik 0,04 (4,53) daripada tahun sebelumnya (peringkat ke-38). Daya saing Indonesia masih tertinggal daripada negara berkembang lain di Asia, seperti Thailand (31) dan Malaysia (20).

Faktor yang paling menimbulkan masalah bagi kemudahan berbisnis di Indonesia adalah korupsi, lalu faktor penghambat ketiga adalah inefisiensi birokrasi. Indonesia masih termasuk dua pertiga dari 175 negara terkorup dengan skor di bawah angka 50 (dari rentang skor 0-100). Namun, penguasa Indonesia sering menganggap pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi.

Dulu, seorang wakil presiden pernah menganggap sepak terjang komisi anti korupsi yang membuat kepala daerah enggan menjadi kuasa pengguna anggaran dan karena itu memarkir dana pembangunan di bank. Gratifikasi dan suap masih dipandang wajar sebagai pelumas mesin pembangunan. Itu sebabnya sikap penguasa dan elite politik mendua terkait keharusan sosok bersih pejabat publik.

Darurat korupsi

Korupsi di Indonesia secara hukum dibahasakan sebagai kejahatan luar biasa dan penanganannya memerlukan cara-cara luar biasa. Meski efeknya tidak langsung terlihat seperti terorisme, efek korupsi juga mengerikan dalam jangka panjang. Banyak orang miskin mati atau memiliki kualitas hidup rendah karena kapasitas sosial negara tergerus, sesuai kata Latin, corruptio, yang juga berarti pembusukan.

Korupsi mengakibatkan pembusukan profesi dan ekonomi. Meritokrasi tidak jalan. Posisi strategis diduduki oleh siapa yang bayar, tidak berbasis kompetensi dan kinerja. Ekonomi juga berbiaya tinggi, tetapi tidak berbasis kompetensi dan kinerja. Kualitas pembangunan rendah. Jembatan mudah roboh. Gedung sekolah ambruk. Aspal jalan lekas mengelupas. Jalan rusak dan kemacetan menyebabkan pengiriman barang tersendat.

Korupsi kita sangat rumit karena bukan lagi kasus perorangan. Korupsi dilakukan berjenjang dan berjemaah. Bawahan sampai atasan terlibat. Atasan yang melakukan korupsi dalam skala lebih besar membiarkan praktik korupsi bawahannya. Korupsi juga dilakukan dengan kerja sama para pejabat terkait, bahkan lintas sektoral. Pejabat korup berlindung di balik benteng institusi negara dan leluasa memanipulasi uang negara.

Meski kepolisian dan kejaksaan memiliki jumlah sumber daya yang memadai, kedua institusi penegak hukum konvensional itu tidak efektif dalam pemberantasan korupsi. Bukan hanya karena luasnya cakupan perkara yang ditanganinya, melainkan juga karena korupsi sudah melekat secara institusional. Pedang hukum keduanya tumpul ke atas, belum pernah menjerat menteri ataupun lingkaran presiden.

Berdasarkan realitas Indonesia yang terbelenggu korupsi, konstitusi mengamanatkan pembentukan sebuah institusi penegak hukum ad hoc. Ungkapan Latin itu secara harfiah berarti ”untuk ini”, tetapi biasanya merujuk suatu badan yang dibentuk khusus untuk tujuan tertentu. Beberapa lembaga ad hoc anti korupsi pernah dibentuk, tetapi hanya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang menghasilkan efek gentar bagi koruptor.

Tajamnya pedang hukum dirasakan anggota Komisi Pemilihan Umum, hakim, jaksa, jenderal polisi, anggota Mahkamah Konstitusi, petinggi partai berkuasa, anggota DPR, kepala daerah, menteri, sampai kerabat dekat presiden. Vonis hukum pun meliputi pemiskinan koruptor. Pedang hukum KPK menusuk jantung korupsi di lingkungan kekuasaan (korupsi politik). Karena tidak tunduk pada kekuasaan, KPK pun dipandang bukan sahabat penguasa.

Penguatan

KPK dipandang terlalu kuat, meresahkan pejabat dan politisi korup. Sejak reformasi, wacana dan upaya pelemahannya terus berlangsung. Tidak ada institusi negara yang mengalami ancaman pelemahan sesering KPK. Politisi pro status quo berusaha memperkecil peran KPK dengan mengatakan bahwa tidak ada negara yang bebas dari korupsi.

Definisi ad hoc pun sengaja dibuat keliru dengan mengartikannya sebagai ”sementara.” Karena bersifat sementara, KPK tidak perlu kuat dan diistimewakan. Yang harus diperkuat adalah kepolisian dan kejaksaan sebagai institusi penegak hukum permanen. Akibat sikap ambigu penguasa, beberapa kali terjadi ketegangan di antara KPK dan Polri.

Kisruh yang menyeret lembaga penegak hukum, DPR, dan eksekutif kali ini memperlihatkan betapa kuatnya kecenderungan pragmatisme politik. Politik dan korupsi telah berkelindan menjadi korupsi (proses) politik. Kalau pemerintahan baru ini serius dalam pemberantasan korupsi, penguatan KPK adalah sebuah keniscayaan politik.

Untuk menghindari kriminalisasi sebagai serangan balik kepada KPK dan membuat Indonesia menjadi tontonan tak menarik, perlu dipertimbangkan semacam perlakuan hukum khusus. Komisioner KPK sudah melewati proses panjang seleksi serta uji kepatutan dan kelayakan. Masyarakat pun mendapat cukup waktu untuk memberikan masukan dan pengaduan. Apabila sesudah menjabat ada kasus hukum sebelum menjabat yang hendak diproses, proses itu demi hukum harus ditunda sampai yang bersangkutan menyelesaikan masa tugasnya.

Ketentuan ini tidak berlaku untuk pelanggaran hukum apa pun semasa ia menjabat. Ketentuan seperti ini juga seyogianya berlaku bagi pejabat negara yang proses seleksinya seperti itu, sebut saja hakim Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, kriminalisasi pejabat tidak perlu menimbulkan kegaduhan politik yang luar biasa. Lembaga negara yang bersangkutan pun dapat bekerja maksimal.

Penguatan KPK secara institusional juga dapat dilakukan dengan pembagian tugas yang jelas. Indikasi rekening gendut atau korupsi di tubuh penegak hukum lain harus ditangani KPK. Apabila yang dicurigai adalah pegawai atau komisioner KPK, kepolisian atau kejaksaanlah yang menanganinya. Dengan demikian, proses pembusukan institusi penegak hukum tak dibiarkan dan masalahnya cepat jelas.

Suka atau tidak, KPK dalam jangka panjang masih menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi adalah sebuah jalan sunyi, jauh dari hiruk-pikuk pragmatisme politik. Penegakan hukumnya tidak akan mulus apabila negara tersandera kepentingan (petinggi) partai. Partai-partai yang masih lekat dengan citra korupsi saling menyandera, saling mengunci penegakan hukum. KPK harus dilindungi untuk menerobos jalan penegakan hukum yang terkunci.

Masa depan republik terletak pada konsistensi pemberantasan korupsi. Apalah arti pertumbuhan ekonomi apabila itu berarti kesenjangan kaya miskin yang sudah di luar batas toleransi. Presiden pilihan rakyat berada dalam pusaran korupsi institusional, tetapi ia harus menjadi pandu negeri. Pemberantasan korupsi menuntut politik zero tolerance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar