Jumat, 13 Februari 2015

Konflik Investasi dengan Lingkungan

Konflik Investasi dengan Lingkungan

Gurgur Manurung   ;   Praktisi Lingkungan;
Alumnus Pascasarjana Bidang Pengelolaan SDA dan Lingkungan IPB
KOMPAS, 12 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Keluarnya  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan  No 97/2014  menuai kritik dari berbagai kalangan, khususnya pencinta lingkungan. Kebijakan—tentang pendelegasian wewenang pemberian perizinan serta non-perizinan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dalam rangka pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)—ini dinilai akan mengabaikan  pertimbangan lingkungan. Investasi membaik dengan konsekuensi lingkungan semakin rusak.

Jika ditelusuri secara cermat dan mendalam, sesungguhnya apa penyebab  perizinan kita lambat selama ini? Apakah sistem perizinan atau  pejabat yang berwenang yang tak serius?

Selama ini, untuk dapat izin angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), misalnya, kita harus mengurus rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), kemudian kita mengurus izin pengangkutan  dari Kementerian Perhubungan.  Kemenhub hanya menyalin  sesuai rekomendasi KLH.  Prosesnya sangat cepat, bergantung pada ”hubungan” baik pengusaha dengan KLH dan Kemenhub.

”Hubungan” dimaksud dapat  berupa uang sogok. Hal itu telah menjadi pengetahuan umum di kalangan pengusaha pengelola limbah B3.  Pejabat KLH  hadir pada verifikasi lapangan untuk menilai kelayakan kendaraan. Pada saat verifikasi lapangan inilah  terjadi proses  sogok-menyogok.  Berbagai proses perizinan modusnya mirip seperti itu.

Lambatnya perizinan di KLH selama ini bukan pada sistem, melainkan pada pejabatnya. Lalu, jika kendala pada orangnya, mengapa sistem yang diubah?  Lagi pula, pendelegasian izin lingkungan itu  ke BKPM akan  menimbulkan beberapa risiko.

Pertama, Menteri LHK  Siti Nurbaya Bakar  mengatakan, pejabatnya akan ditempatkan di BKPM. Jika pejabat LHK yang ditempatkan di BKPM menolak dokumen lingkungan karena alasan  risiko lingkungan, apakah BKPM tidak menerbitkan izin karena risiko lingkungan sementara kepentingan BKPM memperjuangkan meningkatnya  investasi?   Kepentingan LHK sangat berbeda dengan BKPM. Apalagi, pejabat LHK selama ini diragukan integritasnya soal keberpihakannya pada lingkungan. Hampir tidak ada harapan pejabat yang dulunya di KLH berjuang di BKPM untuk menyelamatkan lingkungan.

Kedua, jika kelak  ada kasus lingkungan yang izinnya diterbitkan BKPM, siapa yang akan mencabutnya? Kewenangan memberikan hukuman jadi kabur.  Akibat kekaburan ini, Kementerian LHK hanya memberikan rekomendasi kepada BKPM. Apakah selama ini  rekomendasi KLH pernah dieksekusi institusi yang berwenang? Apakah rekomendasi Kementerian LHK berfungsi? Pola pengelolaan lingkungan semacam ini akan membahayakan masa depan lingkungan.

Tarik-menarik kepentingan investasi BKPM dengan Kementerian LHK akan berkelanjutan. Itu pun jika  Kementerian LHK tahu diri bahwa tugasnya mengendalikan lingkungan.  Jika paradigma  Kementerian LHK juga mempercepat investasi demi pertumbuhan ekonomi, sempurnalah kerusakan lingkungan kita.

Ketiga,  fungsi pengendalian pembangunan akan mati total karena proses pembangunan jadi tanpa kendali.  Bahkan, pengendali ikut mendorong percepatan investasi.  Izin lingkungan seharusnya dikendalikan Kementerian LHK sebagai wasit. Ketika kewenangan itu diberikan kepada BKPM, berarti wasit ikut bermain untuk mempercepat ambisi investor. Apa pun argumentasinya, fungsi Kementerian LHK dalam konteks pembangunan adalah wasit. Terlibatnya wasit dalam mempercepat investasi juga menambah kesempurnaan kerusakan lingkungan kita.

Lahirnya Permen No 97/2014  menunjukkan bahwa pemahaman Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar tidak mendalam tentang pembangunan berkelanjutan. Kita lihat, misalnya, kalimat tentang pendelegasian wewenang pemberian  perizinan dan non- perizinan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Seolah- olah bidang lingkungan hidup sama atau sejajar dengan kehutanan. Padahal, lingkungan itu adalah bagian dari seluruh aspek kehidupan. Pemaknaan ini sangat berdampak pada sistem tata kelola sumber daya alam kita.

Salah satu dampak pemaknaan ini adalah pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla mengabaikan fungsi KLH dalam UU No 32/2009  sebagai pengawas atau pengendalian pembangunan atau disebut  UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.  UU ini sejatinya sebagai wasit bagi semua kementerian dan lembaga  di negeri ini. Fungsi kendali itu dipegang KLH. Kini, apa daya, KLH digabung dengan Kementerian Kehutanan yang berbeda fungsi dan kewenangan.  Jika fungsi wasit diberikan kepada pemain/pelaku investasi  demi pertumbuhan, risiko kerusakan lingkungan akan kita tanggung bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar