Jumat, 06 Februari 2015

Pak Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati Birokrasi!

Pak Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati Birokrasi!

Tito Sulistio  ;  Founder Charta Politica
KORAN SINDO, 05 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh yang sangat saya hormati. Selamat! Saat ini Bapak telah lebih dari 100 hari me-manage republik ini. Negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Negara dengan jumlah pegawai negeri sipil yang mencapai 4,5 juta orang ditambah dengan lebih dari sejuta tentara, paramiliter, dan cadangan. Jumlah yang besar. Bapak Jokowi yang baru jadi presiden, memimpin jajaran birokrat dalam suatu organisasi yang berbasis birokrasi bukan pekerjaan mudah.

Birokrasi, asal kata bureaucracy, pada dasarnya adalah suatu jenis organisasi yang lazim dipergunakan dalam suatu pemerintahan modern, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat administratif. Organisasi yang Bapak pimpin ini biasanya bersifat komando dengan bentuk piramida. Dalam operasionalnya, piramida ini mengerucut tajam ke atas untuk pengambilan keputusan dan tanggung jawab.

Organisasi semacam ini biasanya tidak mempunyai fleksibilitas dalam beroperasi, bahkan cenderung kaku, karena tugasnya mengoperasikan secara terpadu alur kerja organisasi pemerintahan yang besar dan kompleks. Output utama dari para birokrat biasanya adalah kebijakan. Bapak Presiden yang pernah jadi Wali Kota Solo, dari pengalaman saya mendaftar di birokrasi, menjadi seorang birokrat murni di Indonesia sangat tidak mudah.

Butuh kerja keras, pendidikan dan waktu yang panjang, serta persaingan yang ketat untuk mencapai puncak karier. Bapak, nuwun sewu mengingatkan, sampai masa Orde Baru, selama hampir 45 tahun usia republik ini, tidak pernah ada jalan pintas untuk naik keatas dipemerintahan. Semua ada jalur jabatan, jalur pendidikan formal dan terstruktur, ada urut kacangnya.

Syarat utamanya adalah lulusan S-1 yang diakui negara, lalu si calon mengikuti ujian bersama puluhan ribu orang. Ujian yang tidak mudah, karena seorang putri presiden pun bisa tidak lulus. Jika lulus, interviu akan dilakukan oleh pejabat tinggi di departemen yang dia minati. Semua memakan waktu hampir enam bulan penantian. Lulus sebagai calon pegawai negeri, penempatan dan pendidikan di departemen sudah menunggu.

Setiap departemen dan kedirjenan sudah mempunyai struktur pendidikan yang baik. Setahun pertama selain kadang menunggu waktu jatah tempat untuk pendidikan internal, si calon pegawai negeri sipil (PNS) itu akan ikut bekerja seperti layaknya seorang trainee. Secara kasatmata perlu belasan tahun bagi seorang pegawai negeri untuk mencapai tingkatan eselon1/dirjen, menjadipanglima perang lapangan.

Seorang eselon 1 dari pegawai negeri sipil, secara pendidikan biasanya bergelar S3/doktor, mempunyai pengetahuan yang nyaris sempurna tentang pekerjaan yang dia geluti, mempunyai network yang pastinya baik, serta teruji loyalitas terhadap negara dengan belasan tahun pengabdian yang sudah dilakukan. Yang penting juga adalah mengerti tata kerja pola memanajemen dan berhubungan dengan birokrasi.

Karena itu, secara logika tidak ada yang lebih pantas menjadi pimpinan departemen, menjadi menteri dibandingkan para birokrat itu. Inilah yang selama 45 tahun merdeka dipraktikkan, terutama untuk departemen teknis oleh para pemimpin negara terdahulu. Semua menteri yang sukses berlatar belakang birokrat karier, dari jajaran eselon 1.

Pak Sumarlin, Pak Hartarto, Pak Marie Muhammad adalah beberapa nama yang kiprahnya masih terdengar sampai sekarang. Bapak Jokowi yang baru saja menunjuk para pembantunya, reformasi sepertinya mengubah pandangan tentang kemampuan para birokrat.

Entah pengertian tentang Reformasi yang ngawur atau pemimpin negaranya yang ngawur, tapi menjadi pimpinan birokrasi pemerintahan termasuk menjadi menteri sepertinya lebih mementingkan kepopuleran, ketokohan bahkan saat terakhir kedekatan dengan pimpinan negara atau pimpinan partai.

Menjadi menteri sepertinya dianggap bukan sesuatu yang penting untuk kelancaran jalannya pemerintahan. Secara bodoh bahkan dengan enteng ada tokoh pemerintahan yang mengatakan bahwa menteri itu jabatan politik. Lah, kalau menteri jabatan politik, presiden serta wapres juga jabatan politik, lalu siapa yang menjadi direktur mengelola negara ini? Ingat bahwa karena autopilot pesawat bisa kecelakaan.

Bapak Jokowi, yang Presiden Indonesia, beberapa tahun ini, maaf mengatakan, dengan seenaknya, memanfaatkan kekuatan politik yang dimiliki, ditunjuklah oleh Presiden para menteri yang bukan hanya tidak berasal dari birokrasi, tidak mempunyai latar belakang mumpuni, bahkan ada yang tidak dikenal oleh Presiden! Menjadi menteri seperti pertunjukan mencari idola di televisi.

Kepopuleran serta keberanian berkoar-koar dengan seenaknya sepertinya menjadi syarat utama selain kedekatan dengan tokoh politik. Dilantiklah dengan upacara yang lagi-lagi seperti show pertunjukan di media para menteri itu. Bapak Jokowi yang sedang menilai para menteri, menteri pilihan Bapak atau yang diusulkan partai, sepetinya memang hebat!

Para menteri itu hanya butuh waktu beberapa minggu bahkan ada yang beberapa hari untuk menganggap dirinya telah mengerti dan bisa memecahkan masalah pemerintahan. Mereka langsungmengambilkeputusan, mengeluarkan kebijaksanaan, bahkan juga mencabut beberapa kebijaksanaan yang sebelumnya telah dibuat dengan pemikiran yang mendalam dari semua segi danmelibatkandepartemen yang terkait.

Pertanyaan memang, apakah para menteri itu memang para jenius, yang bisa langsung memecahkan problema yang sudah dihadapi para birokrat selama puluhan tahun atau sebenarnya hanyalah badut politik yang sok tahu yang ingin memanfaatkan kesempatan jabatan yang dimiliki untuk mengambil posisi politik lebih tinggi? Bapak Presiden Jokowi yang diharapkan membela birokrasi, banyak kebijakan sebagai output kerja menteri Bapak yang lebih berupa keputusan bisnis semata.

Beberapa peraturan, bukan kebijakan publik, yang dibuat para menteri itu seperti keputusan para direktur dalam mengelola perseroan. Pelarangan- pelarangan tanpa perhitungan, peraturan-peraturan yang lebih berbau publisitas sesaat, bahkan bergaya blusukan secara serampangan, sebagai suatu pemborosan banyak dipertontonkan para pembantu Bapak.

Para menteri berebut mempertontonkan pelecehan hasil olah pikir para birokrasi yang telah teruji itu. Pelarangan yang dibuat bahkan sudah menyentuh area pribadi para birokrat. Penunjukan para staf khusus sepertinya meremehkan kemampuan para dirjen atau direktur. Pertanyaan memang, apakah 4,5 juta PNS itu dianggap demikian bodohnya oleh para pembantu Bapak sehingga mereka dengan mudah mengubah kebijakan dalam sekejap dan harus mengambil tenaga khusus dari luar dengan mengabaikan birokrasi.

Apakah mencari keuntungan itu tugas departemen, tugas menteri? Apakah berhemat itu lebih penting dari tugas negara menjadi lokomotif stimulus pembangunan dengan menciptakan multiplier effect untuk kesejahteraan masyarakat. Apakah pegawai pemerintahan itu harus terlihat miskin?

Bapak Presiden yang telah bersumpah sesuai konstitusi untuk memegang teguh konstitusi, menjalankan segala undang-undang, sesuai UU No 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, fungsi PNS terutama adalah melayani publik dan menjadi unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Fungsi ini wajib hukumnya dikoordinasi oleh para menteri, yang walaupun bukan PNS, walaupun hanya pembantu kontrakan presiden, walaupun jenius, harus mengutamakan fungsi pelayanan dan perekat kesatuan bangsa.

Bukan tugas menteri menghitung-hitung keuntungan seperti fungsi seorang direktur di perseroan. Bukan fungsi semua menteri blusukan, memboroskan uang rakyat bergaya seperti Presiden mencari popularitas semu. Tugas menteri kerja melayani publik, memastikan negara jadi lokomotif pembangunan, dan yang wajib tidak meremehkan birokrasi yang suatu saat akan mereka tinggalkan.

Bapak Presiden Jokowi yang didukung mayoritas rakyat, semoga Bapak tetap sehat, tetap eling. Bagi sebagian menteri Bapak, mungkin ini masa kampanye mereka, buat jajaran birokrasi ini adalah hidup mereka sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi buat bapak Presiden, punten Pak, this is governing, not campaigning!   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar