Selasa, 17 Februari 2015

Harga Minyak, Utang Korporasi, dan Rupiah

Harga Minyak, Utang Korporasi, dan Rupiah

Sunarsip  ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
JAWA POS, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PEREKONOMIAN dunia saat ini dihadapkan pada situasi yang serbasulit terkait dengan jatuhnya harga minyak mentah. Sebagaimana kita ketahui, sejak Juni 2014, harga minyak mentah dunia mengalami penurunan hingga lebih dari 50 persen, yaitu dari sekitar USD 115 per barel pada Juni 2014 kini menjadi sekitar USD 50 per barel. Jatuhnya harga minyak, di satu sisi, telah menolong perekonomian sejumlah negara yang sebelumnya mengalami krisis. Namun, di sisi lain, jatuhnya harga minyak dapat menimbulkan persoalan baru.

Jatuhnya harga minyak menjadi berkah bagi konsumen di Amerika Serikat (AS). Kini, pengeluaran BBM mereka menjadi murah, bahkan terendah sejak 2003. Turunnya harga minyak juga menjadi berkah bagi negara-negara maju yang selama ini menjadi net oil importer seperti Eropa dan Jepang. Sebab, biaya impor menjadi lebih murah. Sementara itu, bagi negara-negara yang masih menyubsidi harga BBM-nya seperti India dan Indonesia, turunnya harga minyak mengakibatkan berkurangnya subsidi BBM yang ditanggung pemerintah. Sejumlah analis memperkirakan bahwa setiap penurunan harga minyak mentah USD 20 per barel dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,4 persen.

Namun, jatuhnya harga minyak, di satu sisi, juga merugikan. Jatuhnya harga minyak telah memukul perusahaan-perusahaan minyak, baik yang dimiliki negara (national oil company/NOC) maupun perusahaan swasta global (international oil company/IOC). Para produsen minyak kini mengurangi kegiatan eksplorasi karena mahalnya biaya eksplorasi tidak mampu ditutupi penerimaan kas hasil penjualan minyak. The Financial Times memperkirakan, sekitar USD 1 triliun proyek produksi yang telah direncanakan berpotensi dibatalkan karena jatuhnya harga minyak ini.

Seiring dengan turunnya pendapatan dari penjualan minyak, neraca keuangan perusahaan-perusahaan minyak juga terganggu. Situasi ini menjadi lebih rumit bila perusahaan minyak tersebut merupakan BUMN (NOC) yang sangat diandalkan sebagai sumber penerimaan negara. Mata uang Rusia, rubel, kini terdepresiasi hingga 50 persen selama enam bulan terakhir 2014. Jatuhnya harga minyak telah memukul APBN dan neraca perdagangan Rusia. Padahal, separo penerimaan APBN dan dua pertiga ekspor Rusia berasal dari minyak. Di sisi lain, NOC Rusia kini menanggung utang dalam USD yang tinggi. Selama 2015 ini, NOC Rusia harus membayar sekitar USD 100 miliar utang luar negeri (ULN)-nya yang jatuh tempo (The Economist, 16/12/2014).

Kondisi di Rusia tersebut juga terjadi di negara-negara penghasil minyak lainnya seperti Nigeria, Venezuela, Iraq, Iran, dan Libya. Jatuhnya harga minyak telah membuat mata uang mereka terdepresiasi cukup tajam, seiring dengan melemahnya kemampuan fiskal mereka dan tingginya utang luar negeri yang dimiliki NOC mereka. Data yang dirilis Bank for International Settlements (BIS) awal Februari 2015 ini menyatakan bahwa utang perusahaan migas mengalami peningkatan lebih dari 100 persen dalam kurun delapan tahun terakhir. Sedangkan kenaikan utang tertinggi justru dialami perusahaan migas dari emerging countries, di mana kenaikan utangnya mencapai 300 persen.

Dilema terkait dengan turunnya harga minyak mentah ini juga dialami di Indonesia. Kita sudah bisa merasakan keuntungan dengan turunnya harga minyak ini. Harga BBM, baik bersubsidi maupun nonsubsidi, kini menjadi lebih murah. Beban subsidi BBM yang ditanggung pemerintah juga menurun. Namun, bila penurunan harga minyak ini berlanjut, APBN dan NOC kita, yaitu Pertamina, juga akan terkena tekanan negatif.

Dari sisi fiskal, penurunan harga minyak merugikan penerimaan negara dari sektor migas meskipun di sisi lain akan menurunkan belanja. Analisis sensitivitas RAPBN Perubahan 2015 menyebutkan, setiap penurunan USD 1 per barel dari asumsi yang telah ditetapkan dalam RAPBNP 2015 akan memangkas pendapatan negara Rp 4 triliun. Sementara itu, belanja turun Rp 2,8 triliun–Rp 3,1 triliun. Dengan demikian, secara neto, penurunan harga minyak mentah (ICP) akan mengakibatkan defisit Rp 900 miliar–Rp 1,2 triliun yang harus ditutup dengan penambahan pembiayaan.

Turunnya harga minyak juga membuat tekanan terhadap kinerja NOC kita, Pertamina. Tahun 2014 ini, kinerja keuangan Pertamina diperkirakan menurun dibanding 2013. Ini mengingat, sumber pendapatan utamanya dari sektor hulu juga sangat dipengaruhi perkembangan harga minyak. Di sisi lain, Pertamina memiliki exposure ULN yang berasal dari penerbitan global bond yang cukup besar.

Sejak 2011, Pertamina menerbitkan global bond senilai USD 8,75 miliar. ULN Pertamina sejatinya relatif aman. Namun, posisi ULN Pertamina ini tetap perlu diantisipasi, mengingat nilai tukar rupiah dan harga minyak yang sama-sama melemah. Melemahnya harga minyak mengakibatkan sumber penerimaan untuk membayar ULN berkurang. Beruntung bahwa posisi ULN Pertamina telah ter-hedge secara natural karena sumber penerimaan utamanya juga berbentuk USD, sehingga risiko nilai tukar menjadi relatif terjaga. Risiko nilai tukar akan lebih terjaga bila Pertamina juga telah memiliki kebijakan lindung nilai (hedging) terhadap seluruh transaksi valuta asingnya.

Dengan melihat berbagai posisi ini, jelas bahwa tidak mudah mengelola situasi moneter, fiskal, dan nilai tukar rupiah di tengah melemahnya harga minyak saat ini. Kesimpulannya, hendaknya jangan terlalu euforia dengan penurunan harga minyak ini, meski sebagai net oil importer, kita cukup diuntungkan. Bersikap konservatif bisa jadi justru akan membuat manajemen fiskal, moneter, dan nilai tukar lebih kondusif bagi stabilitas perekonomian kita.

Konservatif di sini adalah pemerintah perlu melakukan berbagai langkah mitigasi risiko sebagai antisipasi apabila harga minyak kembali rebound. Salah satunya, menerapkan kebijakan hedging terhadap exposure luar negeri, baik valuta asing maupun minyak. Sementara itu, dari sisi moneter, otoritas moneter perlu menciptakan keseimbangan antara pemberlakuan kebijakan suku bunga acuan yang relatif tinggi dengan komitmen untuk menjaga berlangsungnya pertumbuhan ekonomi yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar