Selasa, 17 Februari 2015

Missing Link Kebijakan Menteri Susi

Missing Link Kebijakan Menteri Susi

M Ka’bil Mubarok  ;  Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur
JAWA POS, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DEMI menjalankan kebijakan poros maritim Kabinet Kerja Jokowi-JK, dalam waktu yang relatif singkat, banyak gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang patut mendapat apresiasi. Mulai kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan, moratorium perizinan usaha perikanan tangkap (Permen-KP Nomor 56/2014), pengelolaan dan zonasi taman wisata perairan (Permen-KP Nomor 28/2014), sampai kebijakan larangan penangkapan lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus pelagicus sp) yang tertuang dalam Permen-KP Nomor 1/2015. Juga, ada larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) yang dituangkan dalam Permen-KP Nomor 2/2015.

Dalam perspektif pembangunan, strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) masih merupakan strategi terbaik di antara sekian banyak strategi yang ada. Dari sudut itu, dapat dipahami bahwa berbagai kebijakan tersebut setidaknya memiliki dua tujuan utama. Pertama, tujuan konservasi laut. Kondisi mengkhawatirkan diungkapkan FAO, yakni kelestarian 25 persen sumber daya ikan di dunia sudah terancam. Sedangkan data Sofia (The State of World Fisheries and Aquaculture) menyebutkan bahwa 5 persen dari perikanan dunia dalam status deplesi atau mengalami penurunan produksi secara terus-menerus, 16 persen telah dieksploitasi secara berlebihan dan melampaui batas optimum produksi, 52 persen telah penuh eksploitasi, 23 persen pada tahap moderat atau memiliki tingkat produksi yang kecil, 3 persen sumber daya ikan masih di bawah tingkat eksploitasi optimumnya, dan hanya 1 persen yang dalam proses pemulihan melalui program-program konservasi.

Terhadap kondisi tersebut, maka rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable fisheries cupture) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan yang bertanggung jawab (FAO Code of conduct for Responsible Fisheries/CCRF), eksploitasi sumber daya hayati laut harus dapat dilakukan secara bertanggung jawab (responsible fisheries).

Kedua,perlindungan terhadap nelayan. Dengan 17.508 pulau, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, dengan wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Dengan demikian, 70 persen luas seluruh wilayah Indonesia adalah laut. Menurut laporan FAO (2010), Indonesia merupakan negara produsen perikanan ketiga terbesar di dunia setelah Tiongkok dan Peru dengan nilai produksi 5,384 juta ton.

Namun, sedikit kontradiktif dengan potensi laut Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat terjadinya penurunan jumlah nelayan dari tahun 2004 yang mencapai 4 juta orang menjadi 2,2 juta orang pada tahun 2012. Penurunan terjadi karena pekerjaan sebagai nelayan sudah tidak prospektif lagi bagi kaum nelayan dan nelayan sudah tidak lagi menggantungkan hidupn pada sektor kelautan. Fenomena tersebut mendapatkan pembenarannya dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa jumlah nelayan miskin di Indonesia pada 2011 mencapai 7,87 juta orang atau sekitar 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Karena itulah, diperlukan kebijakan pemerintah Indonesia yang dapat melindungi dan menyelamatkan kehidupan nelayan melalui peningkatan produksi sektor kelautan.

Resistansi Nelayan

Tidak seperti diharapkan, ternyata kebijakan bidang kelautan dan perikanan yang dikeluarkan Menteri Susi –yang sejatinya bertujuan mewujudkan sustainable fisheries cupture serta melindungi nelayan– tidak mendapatkan dukungan dari nelayan. Sebaliknya, gelombang demonstrasi nelayan yang menolak berbagai kebijakan tersebut terjadi di hampir seluruh daerah pesisir Indonesia.

Erwin Hargrove (1975) dengan bukunya The Missing link: The Study of Implementation of Social Policy mempertanyakan ”missing link” antara formulasi kebijakan dan evaluasi dampak kebijakan. Buku tersebut mengungkap berbagai fakta, bahwa berbagai intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah sosial terbukti tidak efektif atau gagal disebabkan perspektif perumus kebijakan menempatkan perumusan kebijakan sebagai kotak hitam yang tidak berhubungan dengan sasaran kebijakan.

Padahal, keberhasilan kebijakan juga sangat ditentukan kontribusi peran pelaksana tingkat bawah (street level beaurocrazy) pada proses implemesi serta kelompok sasaran kebijakan. Honig (2006) menyebutnya sebagai tiga dimensi dalam implementasi kebijakan, yaitu places, people, dan policies. Selain itu, proses kebijakan harus dipahami sebagai proses yang kompleks yang tidak berada dalam ruang hampa. Karena itu, formulasi kebijakan harus mempertimbangkan berbagai aspek sosial budaya yang melekat pada kelompok sasaran.

Berdasar keberagaman budaya dan kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di seluruh Indonesia, maka untuk keberhasilan kebijakan bidang kelautan dan perikanan, program harus diterapkan secara asimetris. Kebijakan atau program pemerintah yang memiliki goals kesejahteraan bagi nelayan tidak dapat diterapkan secara seragam untuk semua kelompok sasaran yang beragam. Asumsi klasik para perumus kebijakan atau program yang menganggap bahwa kebijakan atau program pada dasarnya adalah sesuatu yang baik yang dirumuskan oleh orang-orang baik dan dapat diterapkan kepada semua kelompok sasaran dan semua locus atau tempat tanpa memperhitungkan keberagaman kelompok sasaran, perbedaan lokasi, dan kebudayaan yang sudah mapan di lokasi program harus segera ditinggalkan.

Oleh karena itu, setiap program yang akan diterapkan harus berkesuaian dengan keadaan sosial ekonomi, politik, maupun budaya yang ada pada kelompok sasaran program. Dengan demikian, implementasi program tidak hanya akan menghasilkan output, outcome, tapi program juga dapat memiliki impact positif bagi kelompok sasaran sesuai tujuan program yang ditetapkan.

Dengan demikian, agar berbagai kebijakan Menteri Susi tidak menuai kontroversi serta memiliki impact positif terhadap upaya konservasi laut maupun perlindungan terhadap nelayan, urgen dilakukan dalam formulasi kebijakan kelautan dan perkanan. Yaitu, zonasi pemberlakuan kebijakan konservasi, pengelompokan nelayan berdasar alat tangkap, penyediaan bantuan alat tangkap ramah lingkungan, penguatan ekonomi nelayan melalui peningkatan nilai tambah produk kelautan, serta komunikasi kebijakan yang intensif kepada kelompok sasaran atau nelayan.

Hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah komunikasi konten serta strategi implementasi kepada pelaksana tingkat bawahdan kesiapan pelaksana kebijakan/program, yaitu pemerintah daerah, untuk menyiapkan peranti hukum teknis implementasi. Pemerintah daerah harus mampu menerjemahkan berbagai kebijakan bidang perikanan dan kelautan dengan tepat sesuai tujuan kebijakan serta menyiapkan peraturan teknis implementasi program.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar