Rabu, 04 Februari 2015

Percepat Penuntasan Kasus BLBI

Percepat Penuntasan Kasus BLBI

M Bashori Muchsin  ;  Guru Besar;
Direktur Program Pascasarjana dan Plt Rektor Universitas Islam Malang
KORAN JAKARTA, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengapresiasi pihak yang kooperatif memberi keterangan dalam kasus dugaan kejahatan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK juga harus tegas terhadap pejabat yang bersaksi palsu atau berusaha memutarbalikkan fakta megaskandal BLBI guna menutupi kejahatan perbankan tersebut.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress), Marwan Batubara, minta KPK fokus mengungkap ketidakadilan selama 16 tahun penanganan BLBI. KPK tidak perlu peduli dengan beragam upaya menghalang-halangi penuntasan kasus tersebut, termasuk isu Cicak vs Buaya, jilid baru. KPK harus fokus mencari pelaku utama kasus BLBI (Koran Jakarta, 31 Januari 2015).

KPK harus menjaga bangsa Indonesia jangan sampai masuk ke jurang bencana yang mengerikan akibat beban utang warisan pengemplang atau “pencoleng” BLBI. Untuk itu, KPK harus bergerak cepat dengan meningkatkan status dari penyelidikan perkara pemberian surat keterangan lunas (SKL) BLBI kepada 10 obligor nakal menjadi penyidikan.

Peningkatan status akan membuat bangsa memunyai harapan baru mengurangi beban berat utang. Ekspektasi rakyat terhadap KPK dalam membongkar megakejahatan itu sangat tinggi. Rakyat ingin Indonesia ke depan berubah menjadi lebih sejahtera. Bongkar BLBI secara ujur, transparan, egaliter, dan profesional.

KPK diingatkan, juga mesti memahami bahwa selama 16 tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terkuras untuk membayar kewajiban pengemplang BLBI melalui pos belanja pembayaran obligasi rekap. Padahal, anggaran yang didapat dari pajak rakyat itu seharusnya bisa digunakan untuk program peningkatan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan kemandirian pangan.

Selain itu, KPK harus mencari dan mendalami proses yang diduga kuat telah terjadi rekayasa pencatatan buku keuangan dengan label reprofiling atau penyebaran beban utang secara merata sampai tahun 2043 utang BLBI. Reprofiling utang pengemplang BLBI ini sinonim dengan manipulasi. Ini jelas harus diusut dan diperkarakan sebagai kriminal serius (exstra ordinary crime).

Indikasi adanya praktik manipulasi data atau penyesatan berbagai informasi, yang membuat mantan Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono, patuh untuk membayar utang, haruslah dijadikan prioritas investigasinya oleh KPK.

Itu menunjukkan bahwa utang menjadi masalah terbesar. Nasib jutaan rakyat digadaikan demi kepentingan 10 obligor terbesar BLBI. Padahal, BLBI sejatinya wujud exstra ordinary crime akibat kepiawaian 10 obligator dalam mengelabuhi pemerintah.

Tokoh-tokoh reformasi yang lesu darah dalam memperjuangkan terbongkarnya kasus BLBI, tidak boleh diikuti KPK. Sebagai lembaga yudisial khusus, KPK harus menunjukkan kapabilitas istimewanya untuk melakukan terobosan yang spektakuler dalam membongkar obligator nakal. KPK sudah berkali-kali diingatkan menjadi satu-satunya harapan untuk menyelesaikan skandal BLBI. Dengan kekuasaan yang begitu besar, KPK semestinya bisa secepatnya menuntaskan kasus BLBI.

Dari versi umum, badan evaluasi independen dalam tubuh IMF (Independent Evaluation Office) mengakui bahwa IMF telah melakukan banyak kesalahan di Indonesia. Yang paling mencolok ialah penutupan 16 bank tanpa persiapan matang sehingga melahirkan BLBI sebesar 144 triliun rupiah dari BI ditambah Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebesar 430 triliun. Kemudian, kewajiban pembayaran bunga 600 triliun. Totalnya, 1.174 triliun rupiah.

Prioritaskan

Skandal BLBI yang penyelesaiannya dimanipulasi menjadi utang negara melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI itu disebut-sebut menjadi biang dari membengkaknya utang pemerintah. Anggaran negara tiap tahun makin minim alokasi untuk pembangunan karena tersedot guna membayar utang obligor pengemplang BLBI. Intinya, sebagian besar rakyat sengsara akibat utang, sementara segelintir manusia lain ongkang-ongkang, duduk di atas penderitaan orang banyak (Ubaidillah, 2015).

Berdasarkan penghitungan rasional, pemerintah masih memiliki hak tagih sedikitnya 800 triliun rupiah yang bisa digunakan untuk menambah dana pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan 250 juta rakyat. Dalam ranah itu, KPK memunyai peran melicinkan jalan kepada pemerintah untuk menggunakan hak tagihnya. Sebab KPK dapat membongkar mekanisme yang diduga tidak sehat atau hanya menguntungkan obligator.

Ketika mekanisme yang diduga cacat itu dibongkar, besar peluang bagi pemerintah untuk mengembalikan hak rakyat yang dijarah obligator hitam. KPK sedapat mungkin harus mengamankan kekayaan rakyat yang dicuri para koruptor itu.

KPK akan dikenang bangsa sebagai pahlawan jika mampu melaksanakan hak tagih terhadap obligor BLBI yang enggan melunasi utangnya itu, meski obligator nakal menganggap sudah lunas.

Utang-utang yang dicicil pemerintah selama ini, menurut Rafick, dalam Catatan Hitam 5 Presiden Indonesia (halaman 38) tidak ubahnya sebagai bentuk pengalokasian upeti triliunan rupiah untuk membayar cicilan utang luar negeri, plus bunga. Ditambah lagi utang dalam negeri hasil sulapan IMF dan bunganya

Negara hanya dijadikan permainan para penjarah uang rakyat. Negara bisa dibilang sudah menderita kekalahan minimal 16 tahun. Ini semua diindikasikan kuat akibat dukungan tangan-tangan gaib (the invisible hands) yang memproteksi BLBI.

Selama ini, sudah berkali-kali pimpinan KPK berjanji mengungkap skandal BLBI dalam waktu cepat. Sisa waktu 11 bulan KPK harus memprioritaskan penyelesaian skandal BLBI. Keberhasilan menjerat 10 besar obligor BLBI menjadi pertaruhan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar