Kamis, 12 Februari 2015

Ancaman Miras Oplosan

Ancaman Miras Oplosan

Farouk Muhammad   ;   Wakil Ketua DPD
REPUBLIKA, 11 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Memasuki pengujung 2014 dan tahun ini bangsa kita dikejutkan oleh berita jatuhnya banyak korban akibat menenggak minuman keras (miras) oplosan. Pada saat yang hampir bersamaan, korban meninggal, cacat, dan keracunan muncul hampir merata di Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kotamadya Yogyakarta, Serang, dan beberapa kota lain.

Di tiga kotamadya di Jawa Barat, yakni di Depok, Sumedang, dan Garut, tercatat dalam satu pekan terdapat 125 korban miras oplosan dengan 28 orang di antaranya meninggal dunia. Dari angka tersebut kasus terberat terdapat di Sumedang, dengan 101 korban sakit dan 10 korban jiwa. Di Garut terdapat kakak-beradik yang terenggut nyawanya. Para korban kebanyakan berusia 15 sampai 22 tahun, dengan korban termuda berusia 11 tahun. Angka-angka ini masih terus bertambah sampai saat ini.

Harus dipahami bahwa miras oplosan bukanlah sembarang miras. Ia berbeda dengan miras beralkohol legal yang produksinya diawasi oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Walaupun alkohol sudah berbahaya bagi kesehatan, miras legal masih memiliki taraf keamanan untuk dikonsumsi. Peredarannya pun diawasi dengan disertai pajak tinggi. Sebaliknya miras oplosan adalah minuman beralkohol yang tidak tercatat produksinya pada BPOM, dibuat sendiri oleh konsumen atau melalui bengkel gelap (bootlegging), dan dipasarkan secara gelap.

Miras oplosan di pasar gelap yang di beberapa daerah dikenal dengan nama Cherrybell itu biasanya merupakan oplosan dari metanol dengan kandungan alkohol 90 persen, obat nyamuk dan suplemen tertentu seperti minuman penambah tenaga, atau minuman bersoda. Sering kali penjual juga menambahkan pewarna dari larutan pembersih lantai atau tiner cat. Di Jawa Barat minuman ini dapat dibeli di toko jamu, sedangkan di Yogyakarta terdapat penjualan serupa di area festival rakyat sekaten. Miras oplosan tak saja dikemas dengan botol plastik bekas, tapi juga dijual dengan botol bekas minuman sebagai minuman palsu bermerek.

Ini adalah fenomena gunung es. Para korban kebanyakan dari golongan bawah seperti tukang ojek, pengangguran, buruh bangunan, pelajar sekolah, dan sopir bus yang tidak mampu membeli miras legal. Mereka membeli miras oplosan tidak saja karena faktor harganya yang murah, tapi juga ada beban hidup dan ekonomi.

Ketika menghadapi persoalan ekonomi dan pekerjaan yang berat, seseorang dengan kontrol diri yang lemah akan melihat miras oplosan sebagai pelarian dari kenyataan hidup. Rasa frustrasi adalah penyumbang utama munculnya perilaku menyimpang (Agnew, 1992). Ketika seseorang frustrasi, maka kontrol diri akan melemah dan lari ke hedonisme.

Kondisi ini juga terlihat dari latar belakang usia korban. Di Garut, misalnya, korban terbanyak berusia 15-22 tahun yang masih membutuhkan dukungan referensi kepatutan (role model). Pada usia labil, ketika seseorang menghadapi beban ekonomi yang tidak bisa diselesaikan, kontrol diri akan melemah.

Miras seolah-oleh menjadi jawaban sesaat untuk melupakan beban hidup. Di sisi lain, tuntutan biaya hidup terus membengkak. Dengan rentang korban yang berusia muda sebetulnya bangsa kita sedang menghadapi ancaman perusakan generasi.

Di saat yang bersamaan, kontrol sosial masyarakat kita sedang melemah karena euforia kebebasan reformasi. Dalam bahasa Merton (1949), masyarakat kita sedang kebingungan (anomie). Kita sering menyebut diri kita sebagai bangsa timur yang religius dan beradat, tapi maraknya miras oplosan menunjukkan sebetulnya telah terjadi pembiaran.

Selama ini masyarakat dan negara seolah berpangku tangan ketika ada kegiatan minum bersama miras oplosan di sudut perumahan kita atau lokasi yang menjual atau memproduksi miras oplosan. Ketika kita menghadapi krisis kehidupan, warga kita bergerak sendiri untuk bertahan hidup dan mengabaikan ada mereka yang membutuhkan kontrol sosial seperti para orang muda yang menjadi korban miras oplosan.

Menggugat negara

Kondisi kebingungan ini akan menguat bila masyarakat dan negara gagal menegakkan konformitas norma ideal. Dalam kondisi ini, masyarakat kita secara klasik akan menunjuk pada dua reaksi, yakni penguatan moral melalui kaidah agama dan penegakan hukum oleh kepolisian melalui razia. Namun, baik agama maupun hukum positif tidak dapat berdiri sendiri. Hukum adalah penguat dari nilai objektif kesopanan atau nilai komunitas, dan nilai subjektif yang berupa nilai pribadi dan agama dan nilai komunitas (Sudikno Mertokusumo, 1996).

Sejarah pelarangan alkohol (Alcohol Prohibition) di Amerika Serikat pada 1920-1933 menunjukkan, pelarangan hanya akan memunculkan konsekuensi tak terduga (unintended consequences), seperti mafia, subkultur, konsumsi berlebihan, dan pasar gelap (Ermolaeva dan Ross, 2011). Alih-alih memunculkan konformitas, pelarangan semata malah akan memunculkan perlawanan (rebellion) dari mereka yang menolak (Merton, 1949). Ironisnya, biaya memerangi konsekuen tak terduga tersebut bisa membengkak tanpa membawa hasil. Amerika Serikat menghabiskan 13,4 juta dolar AS pada masa itu.

Kelompok menyimpang dapat muncul karena seringkali mereka mengalami eksklusi sosial, yakni tidak mendapat tempat di masyarakat dan diabaikan negara. Di sinilah peran negara menjadi krusial, yakni menjamin proses kontrol sosial melalui kebijakannya. Peran negara dapat difokuskan melalui tiga hal: perluasan lapangan kerja yang layak, pendidikan, dan penguatan masyarakat komunitarian.

Perluasan lapangan kerja disertai dengan standar upah baik akan membuat pekerja dapat mengakses jenis hiburan lain yang lebih berkualitas. Negara dapat berperan tak melulu melalui pendekatan legal seperti razia miras oplosan, tapi juga menciptakan hiburan yang sehat dan murah. Negara dan masyarakat pemberi kerja, dalam konteks ini wajib memikirkan bagaimana rakyat dapat sejahtera secara immaterial agar mereka tidak mencari hiburan menyimpang.

Di negara-negara maju Eropa Barat, kegiatan akhir pekan untuk relaksasi bahkan telah menjadi komponen renumerasi yang ditawarkan pemberi kerja. Kondisi kerja seperti ini muncul karena adanya kebijakan negara.

Saat ini juga mendesak diperlukan pendidikan karakter atas konsumsi hiburan yang bertanggung jawab atau "hiburan beretika" (Feldman, 2004). Bersenang-senang adalah hak individu, tapi ia juga harus dijalankan dengan kesadaran untuk tidak mencederai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan kesehatan semata menjadi tidak efektif, sebab para penenggak miras oplosan tahu betul minuman mereka berbahaya bagi kesehatan.

Namun, justru karena itu mereka menambahkan metanol atau tiner ke dalam miras mereka. Apalagi bila seseorang menenggak miras karena ingin dianggap "berani" atau "keren" sebagai bagian dari pengakuan (konformitas) kelompok penyimpangnya. Seorang individu yang berkarakter akan berpikir untuk tidak menenggak alkohol apalagi miras oplosan.

Pendidikan dalam konteks ini tidak semata dilekatkan pada variabel tahu dan tidak tahu, melainkan pada pendidikan martabat. Kontrol sosial di sini terbentuk melalui pendidikan ke generasi muda. Bentuknya dapat berupa sosialisasi dan internaliasi kepada setiap masyarakat bahwa menenggak miras adalah penyimpangan yang membuat seseorang menjadi tidak bermartabat atau dalam bahasa kekinian "tidaklah keren".

Negara harus menjamin pendidikan yang bermartabat menjadi bagian bahan ajar. Negara harus berbicara tidak saja pada pembangunan sekolah dan memperbanyak jumlah guru, tapi juga pendidikan yang mengajarkan menenggak alkohol bukanlah perbuatan bermartabat. Negara juga harus menjamin keterkesediaan lapangan kerja yang layak agar generasi muda kita bangga berpenghasilan dan profesi baik.

Negara juga harus menjamin kebebasan yang kita nikmati setelah munculnya era reformasi ini tidak hanya bicara soal kebebasan, tapi juga tanggung jawab sosial. Negara dan masyarakat harus proaktif menegakkan praktik publik shaming bagi mereka yang mengonsumsi miras oplosan sebagai usaha preventif.

Perilaku menyimpang tidak terinkubasi secara soliter, melainkan fenomena sosial yang terkait penyimpangan kolektif yang terorganisasi pada kelompok penyimpang—para korban meminum oplosan. Penanganan masalah maraknya miras oplosan tak bisa lagi dirujuk pada kondisi penghukuman individual, melainkan intervensi kolektif.

Diperlukan usaha lebih besar dalam membentuk lingkungan sosial yang sehat secara menyeluruh daripada sekadar razia dan pelarangan moral. Lembaga sipil dibuat proaktif untuk mendidik warga mereka akan bahaya alkohol sebagai upaya preventif (Filstead dan Keller, 1976). Inilah deteksi dini yang kita butuhkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar