Kamis, 12 Februari 2015

Nafsu untuk Menghukum

Nafsu untuk Menghukum

Geger Riyanto   ;   Esais, bergiat di Koperasi Riset Purusha
KORAN TEMPO, 11 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Slahi diikat dan ditutup matanya. Ia tak tahu dirinya berada di mana. Ia bahkan tak tahu apa yang sudah dilakukannya yang menyebabkan ia disekap seperti ini. Di hadapannya, berdiri dua sosok penyidik. Ia bisa merasakannya.

"Apa yang telah kamu lakukan?" tanya satu dari mereka. "Aku tidak melakukan apa-apa!" jawab Slahi spontan. Para penyidik kontan tertawa. "Oh, luar biasa! Kau tak melakukan apa-apa, tapi kau ada di sini!" ujar seorang penyidik. Slahi, yang sebelumnya gamang, kini membatin geram. "Jadi, aku harus mengakui kejahatan apa supaya aku bisa dituduh bersalah?"

Satu cuplikan dari cerita Slahi ini mungkin mengingatkan orang pada novel absurd berjudul The Trial. Josef K., seorang bankir, dalam cerita gubahan Kafka tersebut, serta-merta saja ditangkap oleh dua agen. Ia ditangkap atas kejahatan yang tak pernah diketahuinya sampai pada ujung kisah. Setahun setelah diombang-ambing dalam proses peradilan yang tak jelas, K dijemput oleh dua agen yang sama. Setelah menggiringnya ke sebidang tanah galian, kedua agen tersebut hendak membunuhnya. K, tak tahan dengan apa yang dialaminya, pasrah mempersilakan mereka.

Sayangnya, kisah Slahi bukanlah fiksi. Slahi adalah seorang insinyur dan pakar telekomunikasi yang tinggal di Mauritania. Suatu hari, 13 tahun yang lalu, pada usianya yang ke-30 tahun-persis dengan Josef K.-Slahi didatangi dua petugas badan intelijen negaranya. Yang Slahi ketahui selanjutnya, ia sudah berada di penjara yang terisolasi dari dunia luar. Ia tak tahu dirinya berada di mana.

Slahi dituduh terlibat dalam terorisme. Para penyidik yang mencecar dan menyiksanya, lucunya, tak tahu kejahatan apa yang ia lakukan. "Kau Arab, kau muda, kau berjihad, kau berbicara dalam berbagai bahasa, kau bepergian ke negara-negara, kau lulusan ilmu teknik." Hanya ini yang mereka ketahui, dan dakwaan terhadap Slahi merupakan yang terburuk dari 15 orang terburuk di Guantanamo.

Sayangnya lagi, kisah Slahi-kini terbit dalam buku Guantanamo Diary-bukanlah kisah yang terlalu jauh dari kita. Ia lebih nyata dan lebih dekat daripada yang kita bayangkan: ia terjadi dan akan senantiasa terjadi selama segelintir kelompok punya kekuasaan tak terbatas untuk mengabulkan prasangkanya menjadi kenyataan, menyulap satu pihak menjadi bersalah hanya dengan menunjuknya bersalah. Terasa tidak asing? Tentu saja.

Sejak memiliki otoritas penegak hukum, agaknya tak berlebihan jika dikatakan sejarah Indonesia merupakan sejarah yang rawan terhadap situasi semacam itu. Hukuman datang jauh mendahului ditemukannya kesalahan pihak tertuduh. Kita bisa menyebut contohnya satu demi satu. Namun, kita sendiri tahu bahwa daftarnya akan terlalu panjang, yang dimulai dengan jutaan orang yang dihukum serta dihilangkan masa depannya dengan stempel eks-tapol atau keluarga eks-tapol.

Dus, mungkin hiruk-pikuk yang berlangsung saat ini tak lebih dari sebuah kewajaran: noda sepele dalam lintasan sejarah panjang satu negeri yang tak pernah menyaring urusan hukum dari urusan kekuasaannya. Dan, mungkin, saat menyebutnya sebagai kekeliruan sejarah, kita yang keliru. Kita yang terlalu keras berusaha untuk sok beradab, kendati kenyataannya, apakah toh yang memotivasi hukum kalau bukan nafsu untuk menghukum? Apakah yang memotivasi kekuasaan kalau bukan nafsu untuk berkuasa? Ah!

1 komentar:

  1. Satu cuplikan dari cerita Slahi ini mungkin mengingatkan orang pada novel absurd berjudul The Trial
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus