Jangan
Biarkan KPK Karam, Presiden
Fransisca Ayu Kumalasari ; Alumnus Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UGM, Tinggal di Solo
|
JAWA
POS, 18 Februari 2015
LENGKAP sudah upaya pelumpuhan terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah Komisioner Bambang Widjojanto, kini
Ketua KPK Abraham Samad (AS) ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi
Selatan dan Barat (Sulselbar). Penetapan status tersangka Samad terkait
dengan kasus pemalsuan dokumen negara (Jawa
Pos, 17/2). Dia diduga ikut membantu tersangka utama Feriyani Lim yang
memalsukan dokumen berupa KTP, paspor, dan kartu keluarga pada 2007. Dengan
demikian, Samad secara hukum diduga melanggar pasal 263, 264, 266 KUHP
tentang pemalsuan surat dengan ancaman hukuman delapan tahun penjara.
Konsekuensinya, Abraham Samad harus mengundurkan diri dari
jabatannya sehingga pimpinan KPK hanya tersisa dua orang, yakni Adnan Pandu
Praja dan Zulkarnain.
Ujian Tersulit
Asa pemberantasan korupsi sedang mendapat ujian tersulit
sepanjang sejarah berdirinya KPK. Tanpa pretensi apa pun, terlihat ada
semacam serangan sistematis ke dalam tubuh KPK pasca ditersangkakannya Komjen
Budi Gunawan (BG). Dengan berlindung di balik alasan ’’KPK bukan malaikat’’,
para komisioner KPK mulai diincar dan dipereteli segala ’’borok’’ masa
lalunya. Para politikus yang pernah memiliki sentimen negatif dengan kinerja
KPK terus memberondong argumen-argumen cercaan yang menggugat setiap
mekanisme penyidikan di KPK.
Persetujuan DPR terhadap calon Kapolri Komjen BG, meski sudah
ditersangkakan KPK, sebenarnya bagian dari jebakan para politikus di Senayan
untuk menjerumuskan Presiden Jokowi ke kawah delegitimasi sekaligus ingin
melawan KPK. Kita tahu, senjata politisi di DPR untuk menaklukkan otoritas
istimewa KPK adalah merevisi UU KPK atau memereteli kewenangannya.
Jurus-jurus itulah yang turut andil memanas-manasi hubungan di antara dua
institusi besar tersebut sampai kini. Konflik dua institusi ini sempat
mencapai klimaks pula ketika gugatan praperadilan terhadap penetapan tersangka
BG diterima Senin kemarin (16/2).
Ada yang apriori terhadap hasil tersebut, namun tak
sedikit pula yang mendukung kemenangan BG disertai embel-embel logika
provokatif bahwa kerja KPK dinilai tidak profesional dan berwibawa. Kalaupun
dengan rentetan peristiwa yang menimpa para komisioner KPK ini dijadikan
alasan bahwa kinerja KPK tidak profesional dan menghormati prinsip kebenaran,
ia tak sepenuhnya berdasar.
Dalam kasus BG, sejak semula, KPK menginvestigasi dan
mengendus bau penyimpangan di balik sejumlah kepemilikan rekeningnya. Namun,
Bareskrim Polri tetap apatis dan menyatakan transaksi BG adalah wajar.
Padahal, publik sadar, sudah lama kasus rekening gendut menyeruak di sejumlah
perwira tinggi, tetapi selalu sulit dibongkar. Keberhasilan KPK mengungkap
skandal korupsi yang melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri seperti Komjen
Suyitno Landung, Brigjen Samuel Ismoko, dan Irjen Joko Susilo adalah bukti
telak bahwa investigasi KPK memang lebih bergigi ketimbang investigasi
kepolisian selama ini yang cenderung lebih melindungi koleganya. Kalau memang
Polri profesional dan objektif, tentu kasus ketiga Pati Polri dan banyak
kasus serupa lainnya bisa langsung diendus kepolisian sendiri.
Konflik KPK-Polri dengan segala jemawa sempit kelembagaan
yang menyertainya akan terus mendegradasi hasrat eliminasi korupsi di bangsa
ini jika tak diupayakan titik lebur untuk menyinergikan kembali semangat dan
optimisme melawan segala kelaliman korupsi. Rakyat dan bangsa ini butuh
lembaga penegak hukum yang memiliki komitmen suci, militan, berani, dan
atribut moralitas untuk memenuhi panggilan sejarah melawan korupsi. Payahnya,
segelintir akademisi turut ikut bermain di air keruh dengan ikut memprovokasi
agar Presiden Jokowi tidak perlu mendengar rekomendasi Tim 9 dan tetap
melantik Komjen BG sebagai Kapolri.
Melihat para polisi yang rela dan kompak bersujud syukur
di jalanan becek sesaat setelah pengumuman kemenangan BG dalam sidang kemarin
seakan mengirimkan sinyal bahwa semangat korsa yang menubuh di lembaga kepolisian
lama-kelamaan bisa berujung ekstraksi koersif kebencian tanpa lagi bersikap
objektif dan menjunjung tinggi kebenaran dalam bingkai sesungguhnya. Emosi
individu dipahatkan ke sentimen dan korsa kelembagaan, sedangkan bangunan
kelembagaan dibiarkan tererosi oleh perilaku individu yang abnormal, tak
bermartabat karena sistem yang keropos sengaja dibiarkan demi memuluskan
tradisi koruptif dan mutualisme kepentingan destruktif di dalam maupun di
luar lembaga.
Yang tak kalah mengherankan, mengapa upaya mengungkap
borok para pimpinan KPK baru dilakukan sekarang? Mengapa tidak diungkap sejak
dulu oleh DPR, khususnya komisi III yang memang berkewajiban melakukan ’’fit
and proper test’’ terhadap calon komisioner KPK? Semua pertanyaan itu serasa
menggantung di langit kemunafikan masif yang tanpa sadar membuat para elite
dan pemimpin bangsa ini ikut andil mereproduksi benih-benih kehancuran bagi
bangsa.
Jangan Karam
Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, termasuk
menghindari keberlanjutan pelemahan sistematis terhadap jihad melawan
korupsi, presiden harus segera mengeluarkan perppu untuk mengisi seluruh
kursi pimpinan KPK yang kosong. Dengan begitu, prosedur pengambilan keputusan
di KPK bisa pulih kembali dan koordinasi serta arahan agenda pemberantasan
korupsi dapat sesuai dengan prosedur hukum. Yang tak kalah penting, presiden
juga perlu mengeluarkan keppres untuk memberhentikan AS, untuk menjaga
martabat dan kewibawaan lembaga, sehingga KPK bisa terus fokus dan kontinu
dalam melaksanakan agenda sucinya untuk meninju congkaknya korupsi di bangsa
ini. Hal imperatif tersebut perlu ditempuh presiden karena pemandangan kapal
KPK yang nyaris tenggelam sudah terlihat di depan mata. Harus disadari,
pemimpin dan semua elemen antikorupsi di bangsa ini sedang berkejaran dan
berkelahi dengan waktu dalam melawan para vampir, koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar