Rabu, 18 Januari 2017

Bersyukur Itu Menemukan Diri Sendiri

Bersyukur Itu Menemukan Diri Sendiri
Hasanudin Abdurakhman ;  Cendekiawan; Penulis; Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                 KOMPAS.COM, 17 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada teman saya yang dengan sinis mengatakan,”Bersyukur itu ndingkluk. Artinya merendahkan standar harapan kita. Dengan begitu, kita akan merasa bahwa kita sudah mendapat lebih. Lalu kita merasa senang.”

Contohnya, kita lihat orang-orang miskin, atau orang-orang yang hidupnya menderita. Lalu kita lihat diri kita, ternyata kita lebih baik. Lalu kita merasa senang. Itulah bersyukur.

Pernah saya temukan meme yang menjengkelkan. Isinya tentang anak yang (terpaksa) berjualan, untuk menyambung hidupnya. Meme diakhiri dengan pertanyaan, masihkah kamu tidak bersyukur?

Lha, apa hubungannya? Orang diajak bersyukur setelah melihat penderitaan orang lain. Bersyukur artinya merasa senang bahwa kita tidak menderita seperti dia. Syukur macam apa itu?

Suruhan untuk bersyukur juga sering datang ketika seseorang tidak puas dengan keadaannya. “Sudah, jangan banyak menuntut, syukuri yang sudah kau dapat!”

Apakah bersyukur bermakna bahwa kita tidak boleh berharap mendapat yang lebih baik lagi? Apakah menginginkan yang lebih baik selalu bermakna bahwa kita tidak bersyukur atas apa yang kita dapat?

Bagi saya, bersyukur tidak begitu maknanya. Bersyukur itu menyadari diri kita sendiri. Coba lihat diri kita. Kita punya tubuh, seadanya tubuh kita ini. Kita punya 2 tangan, 2 kaki, dan berbagai organ lain.

Ada yang hanya punya 1 tangan, atau bahkan tidak punya tangan. Juga ada yang hanya punya 1 kaki, atau tidak punya kaki. Setiap orang mengenali dirinya, secara apa adanya. Inilah saya. Saya adalah saya, bukan orang lain.

Lalu, kita lihat diri kita lebih lanjut. Apa lagi yang kita miliki? Ada yang pandai matematika. Ada yang pandai main musik. Ada pula yang kuat badannya, mampu lari cepat, lari jauh, atau kuat mengangkat barang. Masing-masing orang punya kelebihan. Temukan kelebihan kita sendiri.

Banyak orang yang tidak tahu apa kelebihannya. Ia menjadi orang yang biasa saja, atau bahkan menganggap dirinya terbelakang. Lalu ia menjadi rendah diri. Ia tak merasa layak berdiri bersama manusia lain. Ia mungkin protes pada Tuhan. “Kenapa Kauciptakan aku seperti itu?”

Protes itu tak akan pernah mengubah keadaannya. Yang akan mengubah keadaan adalah cara dia memandang dirinya sendiri.

Pernah saya lihat acara di TV Jepang. Acara ini memberi kesempatan kepada orang-orang yang merasa ada bagian tubuhnya yang ingin ia ubah. Setelah diseleksi, yang disetujui akan dibiayai untuk melakukan operasi plastik.

Dalam suatu episode, ada gadis remaja yang merasa mukanya jelek. Ia ingin operasi plastik. Para pengisi acara itu tidak serta merta meluluskan permintaannya. Yang “dioperasi” justru mental gadis itu. Dengan sedikit polesan kosmetik, mereka berhasil membuat gadis itu tampil cantik. Ia diyakinkan bahwa ia sama sekali tidak jelek. Kemudian ia menjadi percaya diri.

Begitulah. Kita sering lebih sensitif menemukan kekurangan-kekurangan kita, ketimbang menemukan kelebihan kita. Kita lebih sering mencoba menyembunyikan kekurangan, ketimbang menunjukkan kelebihan.

Saking sibuknya kita dengan kekurangan, kita merasa bahwa diri kita penuh dengan kekurangan. Kita gagal menemukan kelebihan kita. Lalu kita mengeluh, protes pada Tuhan.

Bahkan, ada orang yang merasa dirinya memiliki kekurangan. Padahal yang ia anggap kekurangan itu adalah kelebihan bagi orang lain. Misalnya, ada orang jangkung yang terus membungkuk, karena merasa jangkung itu jelek. Padahal ada begitu banyak orang yang ingin jangkung.

Jadi, bersyukur itu sekali lagi, adalah soal mengenali diri kita, menemukan keunggulan kita, menyadari bahwa itu keunggulan, bukan kekurangan. Bahkan orang yang tangannya hanya satu pun bisa menjadikan satu tangannya itu sebagai keunggulan.

Mungkin ada Anda pernah menyaksikan anak Korea yang tangannya tak utuh, menjadi pemain piano yang hebat. Ia tentu lebih hebat dari kebanyakan kita yang punya tangan lengkap. Ia tidak saja berhasil mengalahkan “kekurangannya”, tapi justru menjadikan tangannya itu sebagai pusat keunggulannya.

Perhatikan juga orang-orang di sekitar kita. Orang tua, saudara, teman, guru, dan siapapun yang mencintai kita. Mereka semua tidak sempurna. Ada saja hal yang membuat kita tak puas kepada mereka.

Tapi mereka semua memberi kita energi yang luar biasa, untuk menikmati hidup ini. Jangan berharap mereka akan sempurna, karena kita juga tidak sempurna.

Lalu, selanjutnya bagaimana? Asahlah terus keunggulan kita itu. Manfaatkan untuk menghasilkan hal-hal yang baik, bermanfaat bagi diri kita sendiri. Banyak-banyaklah berbuat baik, sampai perbuatan baik kita itu dinikmati oleh banyak orang.

Perbuatan baik, menghasilkan hal baik, akan menambah keunggulan yang tadinya sudah kita punya. Ia juga akan menghasilkan energi yang lebih besar untuk berbuat kebaikan lebih banyak lagi.

Ingat, bersyukur itu bukan mencari kekurangan orang lain yang tak ada pada kita. Bersyukur itu adalah menemukan keunggulan pada diri kita, memanfaatkannya, menikmatinya, tanpa merendahkan orang lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar