Teroris
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
14 Desember 2015
Stepan: Cuma
bom yang revolusioner.
Hampir separuh abad yang lalu Arief Budiman
menerjemahkan lakon Les Justes
dengan judul Teroris, yang kemudian
jadi naskah Albert Camus yang paling banyak dipentaskan di kota-kota
Indonesia.
Saya tak tahu mengapa kata "teroris"
yang dipilih; saya percaya Arief Budiman, yang mengagumi dan dengan mendalam
menelaah Camus, tahu apa yang dilakukannya. Yang sekarang saya lihat,
Teroris, lakon itu, seperti yang sedang terjadi di mana-mana, menunjukkan
hubungan yang merisaukan, atau mengerikan, antara pembunuhan dan keadilan,
antara kebenaran dan kematian, antara politik dan ketakberhinggaan.
Dalam pengantar untuk naskahnya, dengan
titimangsa 1949, Camus menulis bahwa lakonnya berdasarkan peristiwa nyata,
meskipun Les Justes "bukan sebuah lakon sejarah". Februari 1905, di
Moskow, sekelompok teroris yang merupakan bagian partai sosialis revolusioner
merancang percobaan pembunuhan atas Hertog Agung Serge Alexandrovich, paman
Tsar Rusia. Camus juga menyebut ia tak mengubah nama tokoh utamanya,
Kaliayev. Itu karena "rasa hormat dan kagum" kepada mereka yang
dalam usaha yang amat nista itu "tetap tak mampu menyingkirkan suara
hati mereka".
Yanek Kaliayev, pemuda itu, memang tak mampu
untuk melepaskan hatinya. Ia disiapkan untuk melemparkan bom. Tapi ketika
kereta sang Hertog datang, ada yang tak disangka-sangkanya. Di kereta tamu
agung itu ada dua anak kecil, kemenakan sang Hertog. Wajah mereka tampak
sedih, memandang lurus ke depan. Melihat itu, Yanek batal menjalankan
perintah. "Tanganku jadi lemas. Kakiku goyah," katanya kemudian.
Bom tak jadi dilemparkan; kereta itu berlalu, selamat.
Yanek kembali ke tempat persembunyian dengan
perasaan kacau. Tapi teman-temannya memaklumi sikapnya. Mereka memaafkan
kegagalannya. Hanya Stepan yang berkeras. Baginya, bom harus tetap
diledakkan, juga jika harus membunuh kedua anak itu. "Karena Yanek tak
jadi membunuh mereka," katanya, "jutaan anak-anak Rusia akan mati
kelaparan beberapa tahun ke depan...."
Barangkali pendirian ini yang kini ada di
antara mereka yang di tahun ini saja membunuh 43 orang di Beirut, 132 di
Paris, 224 di pesawat yang terbang dari Jazirah Sinai, 27 di Kota Kuwait, 38
di Sousse, Tunisia.... Mereka adalah Stepan: atas nama yang tertindas dan
yang dihinakan, atas nama keadilan, atas nama iman yang dahsyat, tak ada
batas bagi pembunuhan. Teror, kata Stepan, tak mengambil bentuk seperti yang
diinginkan orang-orang yang lunak hati (délicats).
"Kita pembunuh, dan kita telah memilih jadi demikian."
Dalam Teroris,
memang ada Dora, si perakit bom. Ia menyelipkan satu pertanyaan dan
mengingatkan, "Bahkan dalam destruksi sekalipun, ada tatanan, ada
batas-batas."
Stepan tak akan menggubris ini sebab ia bisa
bertanya balik: siapa yang menentukan batas? Bukankah revolusi justru
menghancurkan tata—juga nilai-nilai kemanusiaan yang lazim dicanangkan orang
yang lunak hati?
Hanya bom yang revolusioner. Puisi, dunia kaum
délicats, tak cocok untuk mengubah
kehidupan. Kebenaran tak dapat ditawar, juga oleh kematian. Aksi politik yang
militan harus siap untuk menjalani yang tak berhingga.
Yanek akhirnya melemparkan bom. Sang Hertog
terbunuh dan si pembunuh ditangkap. Yanek dihukum gantung. Tapi ia mati
dengan tenang. Pembunuhan, tulis Camus dalam L'Homme Revolté, adalah "perkecualian yang tanpa
harapan" (une exception désespérée).
Yanek, sang pembangkang, membunuh, agar jelas bahwa pembunuhan sebenarnya,
dan selanjutnya, tak bisa dilakukan. Yanek tahu ia harus mati.
Tentu tak bisa kita melihat para algojo ISIS
sebagai para teroris dalam lakon Camus. Dilihat di hari ini, Teroris tak
terasa gelap, bahkan terlampau jernih. Camus seperti tak mengenal kemungkinan
bahwa keadilan bisa berarti dendam dan dendam bisa berarti kebencian. Bagi
para algojo yang menyembelih deretan korban di depan kamera—agar
disiarkan—pembunuhan bukan "perkecualian yang tanpa harapan".
Tapi ada apa selanjutnya? Tiap penyiaran
mengandung undangan berbagi. Tak jelas dengan siapa para algojo itu akan
berbagi; mereka memperbanyak musuh, menyempitkan diri. Pembunuhan-pembunuhan
mereka hanya terasa sebagai parade kekejaman—hanya sejenis nihilisme—untuk
kehancuran diri dan yang lain. Tak dibutuhkan sentuhan yang mengimbau apa
pun, kecuali Tuhan yang diubah jadi buas.
Sebaliknya Dora, dalam Teroris, mengucapkan
sesuatu dengan sentuhan itu, menandai kekerasan hidupnya juga menyembunyikan
sesuatu yang merindukan yang universal. Sejenak ia ingin matahari bersinar,
leher tak terus-menerus bersitegang, dan keangkuhan dilepas. Sejenak ia
menduga itu "cinta", katanya. Yang jelas, bukan sebuah monolog. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar