Beo
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 13 Desember 2015
Tetangga saya punya
beo yang bisa bersiul melagukan lagu Indonesia Raya dan Gundul-Gundul Pacul
(lagu anak-anak Jawa Tengah). Untuk masing-masing lagu si beo itu hanya bisa
menyiulkan dua bar saja. Jadi kalau dinyanyikan (oleh manusia tentunya)
siulan si beo hanya sampai di sini ”Indonesia, tanah airku,” sudah! Begitu
juga lagu Gundul-Gundul Pacul, si beo hanya bisa menyiulkan, ”Gundul-gundul
pacul-cul, gembelengan,” sudah! Kalau disuruh meneruskan lagu itu sampai
selesai si beo tidak bisa karena tidak pernah diajari oleh yang punya.
Lain lagi beo kawan
saya yang punya pesantren. Beo pesantren itu fasih sekali mengatakan ”Salamualaikuuummm...” kepada setiap
tamu yang datang. Bahkan tidak ada tamu pun dia terus juga mengulang-ulang, ”Salamualaikuumm....” Tetapi kalau ada
tamu yang baru datang dan mengucapkan salam, beo itu tidak bisa menjawab, ”Waalaikum salaaam.”
Padahal, menjawab
salam itulah yang lebih wajib daripada menyampaikan salam itu sendiri. Jadi,
kalau ada tamu yang baru datang dan mengucapkan salam, beo akan menjawab ”Salamualaikuumm...” juga. Mengapa
begitu? Karena majikannya, walaupun kiai kondang, tidak pernah mengajarinya.
Tetapi yang paling hebat adalah beo milik ibu kos khusus karyawati. Ibu kos
ini baru membeli beo baru karena terpengaruh oleh penjualnya yang mengatakan
bahwa selain pandai bicara beo yang satu ini punya mata tembus pandang
seperti mata Superman.
Ketika anak-anak kos
diceritai oleh ibu kos tentang kehebatan beo ini, mereka hanya tertawa tidak
percaya. Namun, ketika keesokan harinya tiga anak kos (tiga-tiganya
karyawati) melewati kurungan beo waktu mau ke kantor tiba-tiba si beo
nyeletuk, ”Putih, putih, hitam”. Awalnya ketiga wanita yang kebetulan sekamar
itu tidak menyadari apa maksud si beo, tetapi tiba-tiba salah seorang
tersadar dan berseru kepada kawan-kawannya, ”Eh, itu kan warna-warna CD
(celana dalam) kita!!”.
Kedua kawannya tidak
percaya, maka jawab salah satunya, ”Ah, masa sih beo itu benar-benar punya
mata Superman? Besok deh kita tes lagi.” Keesokan harinya ketiga penghuni kos
itu bersekongkol untuk mengakali sekaligus menguji apakah benar-benar beo itu
bermata Superman. Maka ketiganya sengaja tidak memakai CD, dan melewati lagi
kandang beo dengan harapan kali ini si beo pasti salah omong. Tetapi alangkah
terkejutnya ketiga karyawati cantik itu, karena si beo berseru, ”Keriting,
keriting, botak!” Beo itu ternyata benar-benar titisan Superman.
Kita tahu bahwa banyak
sekali hewan yang kecerdasannya hampir menyamai manusia. Anjing-anjing
peliharaan bisa mengikuti perintah majikannya dengan baik. ”Sit!”, maka
anjing itu akan duduk, atau ”shake hand ” dan anjing itu akan mengulurkan
kaki kanannya (ulangi: kanan, bukan kiri, sesuai dengan tata krama manusia)
untuk disalami.
Jadi seakan-akan
anjing itu bisa bercakap-cakap dengan majikannya. Begitu juga dengan ikan
lumba-lumnba yang seakan-akan pandai berhitung, dan bisa menjawab pertanyaan penonton
tentang sebuah persoalan matematika dengan cara membunyikan bel, dan
seterusnya,
kuda, kucing dan simpanse adalah hewan-hewan yang dipercaya mempunyai
kecerdasan tinggi. Walaupun demikian, kita pun tahu bahwa tidak pernah hewan
mengungguli kecerdasan manusia.
Dalam sebuah
penelitian oleh psikolog Kellog (1934) seekor anak simpanse bernama Gua,
diasuh sejak bayi bersama seorang anak manusia yang umurnya sama persis
dengan simpanse bernama Donald. Kedua makhluk bayi itu diperlakukan persis
sama untuk membuktikan apakah mereka bisa bertumbuh kembang secara bersamaan.
Ternyata di awalnya Gua bertumbuh dan menguasai berbagai keterampilan lebih
cepat daripada Donald.
Setelah beberapa saat,
Donald mengungguli Gua, terutama dalam berbahasa, Donald bisa bercakap-cakap,
sementara Gua tidak pernah tertarik untuk belajar bahasa. Bahasa memang
keunggulan manusia dari makhluk lainnya. Melalui bahasa dan simbol-simbol
lain manusia mengembangkan diri dan teknologi. Bahasa bukan sekadar bunyi,
tetapi simbol yang bermakna dan kemampuan untuk memberi dan menafsir makna
inilah yang menurut filsuf Ernest Cassirer (1944) hanya ada pada manusia.
Manusia itu adalah
makhluk simbol, kata Cassirer. Buat seekor simpanse pemain sirkus yang
tugasnya mengendarai motor-motoran, lampu merah berati dia harus stop
mobil-mobilan yang ditumpanginya. Tidak ada arti lain, karena yang diajarkan
ke dia adalah bahwa lampu merah itu tanda untuk berhenti, sudah! Sedangkan
manusia bisa mengembangkan warna merah ke konteks yang lain, seperti Palang
Merah, lampu merah di lokalisasi, lampu merah di pintu studio yang artinya
sedang siaran dsb.
Manusia bisa berpikir
sampai tahap simbol, sedangkan hewan yang terpandai pun hanya bisa mencapai
tahap tanda. Karena kekuatan simbolsimbol yang dibuat dan dipercaya manusia
itulah (termasuk simbol-simbol matematika) manusia bisa berkembang, membangun
gedung dan bangunan yang tinggi, menciptakan mesin-mesin untuk memudahkan
kehidupan manusia dsb. Hewan tidak akan mungkin melakukan semua itu.
Setelah mengetahui
teori di atas, tentu saja sekarang kita tahu bahwa beo-beo sejati adalah
beonya tetangga saya dan beonya pak kiai tadi. Beo-beo itu kemampuannya
terbatas dan tidak akan bisa terlepas dari pemiliknya, sehingga ia tidak akan
mampu melakukan hal yang tidak atau tidak mampu diajarkan oleh pemiliknya.
Beonya ibu kos itu
hanya lawakan buat lucu-lucuan saja karena tidak mungkin kecerdasan beo
hampir mendekati manusia. Tetapi manusia yang kecerdasannya mendekati burung
beo cukup banyak, yaitu manusia-manusia yang bisanya hanya membeo dan tidak
bisa berpikir sendiri kecuali menunggu petunjuk dan perintah bos-nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar