Selasa, 15 Desember 2015

Perubahan di Pelosok Negeri

Perubahan di Pelosok Negeri

Antony Lee dan A Ponco Anggoro  ;  Wartawan Kompas
                                                      KOMPAS, 15 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Membangun Indonesia dari pinggiran, dari perbatasan negeri dan dari desa. Itulah bunyi salah satu dari sembilan janji Joko Widodo-Jusuf Kalla saat Pemilu Presiden 2014 yang dikenal dengan Nawacita.

Di awal tahun ini, pemerintah berupaya mengonkretkan janji itu dengan meningkatkan alokasi dana desa dari awalnya Rp 9,1 triliun menjadi Rp 20,77 triliun. Namun, setelah anggaran disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, bukan berarti sekitar 74.000 desa di Tanah Air bisa segera menerima dan memakainya. Begitu banyak aral yang menghadang. Mulai dari perebutan urusan kewenangan desa antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, hingga tak segera disalurkannya dana itu ke desa, padahal sudah dicairkan dari pemerintah pusat ke rekening pemerintah kabupaten/kota.

Persoalan kian pelik karena tak semua aparatur pemerintah desa terbiasa dengan urusan administrasi yang menjadi syarat pencairan dana desa. Sementara pendamping dari pemerintah yang diharapkan bisa meningkatkan kapasitas aparatur baru hadir menjelang akhir tahun.

Akhirnya, di tahun pertama program dana desa ini, dana yang dikucurkan tidak berjalan mulus. Bahkan, hingga akhir November lalu, masih ada 5.026 desa yang belum menerima dana tersebut.

Sementara bagi desa yang sudah menerima dana desa, banyak yang peruntukannya tidak sesuai. Hasil riset program dana desa oleh Setara Institute dan Jaringan Paralegal Indonesia di sejumlah desa di Kabupaten Pringsewu (Lampung), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah), dan Kabupaten Kulon Progo (Yogyakarta), Agustus-Oktober lalu, setidaknya menunjukkan hal itu.

”Lebih dari 30 persen dana desa untuk belanja pegawai. Sisanya tidak untuk infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat desa, tetapi lebih banyak untuk belanja fisik dan barang internal pemerintah desa, seperti pemugaran gapura balai desa dan pengecatan pagar balai desa. Padahal, seharusnya 30 persen alokasi dana desa untuk belanja rutin pegawai dan sisanya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat,” kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani.

Tahun 2016, alokasi dana desa meningkat dua kali lipat dari tahun ini. Itu artinya pemerintah harus menyederhanakan rantai birokrasi dan urusan administrasi agar pencairan dana tidak rumit. Agenda pemerintah pula untuk memastikan aparatur pemerintah desa dan masyarakat, memahami prosedur pencairan dan penggunaan dana itu hingga mekanisme pengawasannya. Dengan demikian, dana itu bisa optimal dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lain dengan program dana desa, secercah harapan terlihat dari beranda depan negeri. Di sejumlah daerah perbatasan, seperti di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku, pembangunan infrastruktur, seperti jalan, listrik, air bersih, dan pos lintas batas negara, tampak nyata.

Pembangunan itu bersumber dari dana pembangunan perbatasan Rp 13,9 triliun, yang dialokasikan oleh 25 kementerian/lembaga. Apakah pembangunan itu betul bisa mengubah wajah perbatasan seperti dijanjikan pemerintah? Jawabannya baru bisa diketahui setelah 2017, saat proyek itu ditargetkan usai.

Pilkada serentak

Geliat pembangunan di pelosok negeri sekalipun implementasinya belum seluruhnya berjalan mulus, diwarnai pula oleh proses suksesi kepala/wakil kepala daerah yang pada 9 Desember lalu, untuk pertama kalinya digelar serentak secara nasional, di 264 daerah. Ini berarti pilkada digelar di separuh lebih dari total provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia yang jumlahnya 516.

Melalui momentum pilkada tersebut, diharapkan muncul pemimpin-pemimpin daerah baru yang berkualitas dan berintegritas. Ini penting karena di era otonomi daerah, mereka yang jadi ujung tombak pembangunan di daerah. Namun, implementasinya tidak selalu mulus. Menjelang pemungutan suara, 9 Desember 2015, politik uang masih marak terjadi.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada telah disebutkan ancaman sanksi pembatalan calon jika melakukan politik uang. Namun, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU tidak mencantumkan norma ancaman pidananya sehingga aturan itu tak bisa optimal diterapkan.

Ketika calon masih menghalalkan politik uang untuk memengaruhi pilihan pemilih, bisa dibayangkan ketika calon itu terpilih dan menjabat. Jangan berharap orientasi utamanya adalah melayani publik. Ini karena yang bakal muncul di pikiran adalah bagaimana mengembalikan modal finansial yang telah dikeluarkan saat pilkada. Sejumlah unsur di UU No 8/2015 yang sebetulnya mendorong lahirnya pemimpin daerah berkualitas juga tak dimanfaatkan optimal di pilkada lalu. Masa kampanye tiga bulan, misalnya, tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para kandidat. Mereka umumnya baru mulai aktif berkampanye dua pekan sebelum pemungutan suara.

Tidak optimalnya pemanfaatan masa kampanye oleh para kandidat membuat di hari pemungutan suara, faktor dominan yang memengaruhi pilihan pemilih adalah popularitas calon dan bukan kualitas atau visi, misi, dan program calon. Kesiapan partai politik juga menjadi masalah di pilkada serentak lalu. Di Manado (Sulawesi Utara), Bone Bolango (Gorontalo), dan Boven Digoel (Papua), misalnya, sejumlah parpol mengusung kandidat yang masih berstatus terpidana.

Parpol yang dapat mengusung kandidat juga ada yang tidak menggunakannya. Akibatnya, kandidat yang dihadirkan terbatas. Bahkan di tiga daerah, yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), dan Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), hanya satu pasangan kandidat yang terdaftar dan mengikuti pilkada.

Nico Harjanto dari Populi Center menuturkan, sebaik apa pun prosesnya, jika kandidat yang disodorkan parpol kurang baik, tak akan menghasilkan pemimpin yang inovatif dan sesuai harapan rakyat. Akhirnya, penting untuk menjadikan apa yang terjadi di pilkada serentak sebagai pelajaran agar pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas bisa lahir pada pergelaran pilkada selanjutnya.

Ini penting karena pemimpin daerah jadi ujung tombak pembangunan di daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar