Perubahan di Pelosok Negeri
Antony Lee dan A Ponco Anggoro ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
15 Desember 2015
Membangun Indonesia dari
pinggiran, dari perbatasan negeri dan dari desa. Itulah bunyi salah satu dari
sembilan janji Joko Widodo-Jusuf Kalla saat Pemilu Presiden 2014 yang dikenal
dengan Nawacita.
Di awal tahun ini, pemerintah
berupaya mengonkretkan janji itu dengan meningkatkan alokasi dana desa dari
awalnya Rp 9,1 triliun menjadi Rp 20,77 triliun. Namun, setelah anggaran
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, bukan berarti sekitar 74.000 desa di Tanah
Air bisa segera menerima dan memakainya. Begitu banyak aral yang menghadang.
Mulai dari perebutan urusan kewenangan desa antara Kementerian Dalam Negeri
dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,
hingga tak segera disalurkannya dana itu ke desa, padahal sudah dicairkan
dari pemerintah pusat ke rekening pemerintah kabupaten/kota.
Persoalan kian pelik karena tak
semua aparatur pemerintah desa terbiasa dengan urusan administrasi yang
menjadi syarat pencairan dana desa. Sementara pendamping dari pemerintah yang
diharapkan bisa meningkatkan kapasitas aparatur baru hadir menjelang akhir
tahun.
Akhirnya, di tahun pertama program
dana desa ini, dana yang dikucurkan tidak berjalan mulus. Bahkan, hingga
akhir November lalu, masih ada 5.026 desa yang belum menerima dana tersebut.
Sementara bagi desa yang sudah
menerima dana desa, banyak yang peruntukannya tidak sesuai. Hasil riset
program dana desa oleh Setara Institute dan Jaringan Paralegal Indonesia di
sejumlah desa di Kabupaten Pringsewu (Lampung), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa
Barat), Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah), dan Kabupaten Kulon Progo
(Yogyakarta), Agustus-Oktober lalu, setidaknya menunjukkan hal itu.
”Lebih dari 30 persen dana desa
untuk belanja pegawai. Sisanya tidak untuk infrastruktur dan pemberdayaan
masyarakat desa, tetapi lebih banyak untuk belanja fisik dan barang internal
pemerintah desa, seperti pemugaran gapura balai desa dan pengecatan pagar
balai desa. Padahal, seharusnya 30 persen alokasi dana desa untuk belanja
rutin pegawai dan sisanya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat,” kata
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani.
Tahun 2016, alokasi dana desa
meningkat dua kali lipat dari tahun ini. Itu artinya pemerintah harus
menyederhanakan rantai birokrasi dan urusan administrasi agar pencairan dana
tidak rumit. Agenda pemerintah pula untuk memastikan aparatur pemerintah desa
dan masyarakat, memahami prosedur pencairan dan penggunaan dana itu hingga
mekanisme pengawasannya. Dengan demikian, dana itu bisa optimal dipakai untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lain dengan program dana desa,
secercah harapan terlihat dari beranda depan negeri. Di sejumlah daerah
perbatasan, seperti di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku,
pembangunan infrastruktur, seperti jalan, listrik, air bersih, dan pos lintas
batas negara, tampak nyata.
Pembangunan itu bersumber dari
dana pembangunan perbatasan Rp 13,9 triliun, yang dialokasikan oleh 25
kementerian/lembaga. Apakah pembangunan itu betul bisa mengubah wajah
perbatasan seperti dijanjikan pemerintah? Jawabannya baru bisa diketahui
setelah 2017, saat proyek itu ditargetkan usai.
Pilkada
serentak
Geliat pembangunan di pelosok
negeri sekalipun implementasinya belum seluruhnya berjalan mulus, diwarnai
pula oleh proses suksesi kepala/wakil kepala daerah yang pada 9 Desember
lalu, untuk pertama kalinya digelar serentak secara nasional, di 264 daerah.
Ini berarti pilkada digelar di separuh lebih dari total provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia yang jumlahnya 516.
Melalui momentum pilkada tersebut,
diharapkan muncul pemimpin-pemimpin daerah baru yang berkualitas dan
berintegritas. Ini penting karena di era otonomi daerah, mereka yang jadi
ujung tombak pembangunan di daerah. Namun, implementasinya tidak selalu
mulus. Menjelang pemungutan suara, 9 Desember 2015, politik uang masih marak
terjadi.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pilkada telah disebutkan ancaman sanksi pembatalan calon jika melakukan
politik uang. Namun, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU tidak
mencantumkan norma ancaman pidananya sehingga aturan itu tak bisa optimal
diterapkan.
Ketika calon masih menghalalkan
politik uang untuk memengaruhi pilihan pemilih, bisa dibayangkan ketika calon
itu terpilih dan menjabat. Jangan berharap orientasi utamanya adalah melayani
publik. Ini karena yang bakal muncul di pikiran adalah bagaimana
mengembalikan modal finansial yang telah dikeluarkan saat pilkada. Sejumlah
unsur di UU No 8/2015 yang sebetulnya mendorong lahirnya pemimpin daerah
berkualitas juga tak dimanfaatkan optimal di pilkada lalu. Masa kampanye tiga
bulan, misalnya, tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para kandidat. Mereka
umumnya baru mulai aktif berkampanye dua pekan sebelum pemungutan suara.
Tidak optimalnya pemanfaatan masa
kampanye oleh para kandidat membuat di hari pemungutan suara, faktor dominan
yang memengaruhi pilihan pemilih adalah popularitas calon dan bukan kualitas
atau visi, misi, dan program calon. Kesiapan partai politik juga menjadi
masalah di pilkada serentak lalu. Di Manado (Sulawesi Utara), Bone Bolango
(Gorontalo), dan Boven Digoel (Papua), misalnya, sejumlah parpol mengusung
kandidat yang masih berstatus terpidana.
Parpol yang dapat mengusung kandidat
juga ada yang tidak menggunakannya. Akibatnya, kandidat yang dihadirkan
terbatas. Bahkan di tiga daerah, yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT),
Kabupaten Blitar (Jawa Timur), dan Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), hanya
satu pasangan kandidat yang terdaftar dan mengikuti pilkada.
Nico Harjanto dari Populi Center
menuturkan, sebaik apa pun prosesnya, jika kandidat yang disodorkan parpol
kurang baik, tak akan menghasilkan pemimpin yang inovatif dan sesuai harapan
rakyat. Akhirnya, penting untuk menjadikan apa yang terjadi di pilkada
serentak sebagai pelajaran agar pemimpin daerah yang berkualitas dan
berintegritas bisa lahir pada pergelaran pilkada selanjutnya.
Ini penting karena pemimpin daerah
jadi ujung tombak pembangunan di daerah.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar