Selasa, 15 Desember 2015

JKW-JK dan Panggung Rakyat

JKW-JK dan Panggung Rakyat

Wahyu Haryo PS dkk.  ;  Wartawan Kompas
                                                      KOMPAS, 15 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Satu tahun dua bulan perjalanan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditandai dengan persoalan hukum, etika, dan integritas. Sayangnya, persoalan itu muncul tak hanya datang dari luar pemerintahannya, tetapi juga dari dalam. Bagaimana Presiden-Wakil Presiden menyelesaikannya?

Masih lekat saat Presiden Jokowi akhirnya melantik Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti walaupun sebelumnya sempat mengajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Ironisnya, tiga hari setelah dicalonkan, mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini tak hanya membuat Presiden Jokowi malu dan dilecehkan, tetapi juga dilematis, terus dicalonkan atau ditarik, apalagi DPR menyetujui pencalonan Budi sebagai Kapolri di tengah-tengah desakan publik agar Presiden menarik Budi.

Hukum, etika, dan integritas

Kasus ini menjadi persoalan pertama yang menghadapkan pemerintahan JKW-JK pada masalah hukum, etika, dan integritas. Kewibawaan Presiden yang mencalonkan Budi, kepastian hukum yang diharapkan KPK, etika dan integritas yang dipertaruhkan Presiden untuk terus mempertahankan Budi dan melantiknya, atau benar-benar memenuhi keinginan publik untuk menarik dan menggantikannya. Namun, dengan aspirasi publik yang cukup kuat menolak Budi karena status tersangkanya, Presiden dengan menunggu waktu yang tepat akhirnya melantik Badrodin. Dari situ, Presiden memperlihatkan penghormatannya terhadap proses hukum yang berjalan atas Budi meskipun butuh waktu untuk mengonsolidasikannya terlebih dahulu dengan kekuatan dukungannya, terutama parpol pengusung dan pendukung.

Ketika giliran dua unsur pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, setelah Budi dijadikan tersangka dan ditangkap kepolisian, kepemimpinan JKW-JK kembali diuji. Ada pandangan, proses hukum itu bentuk balas dendam Polri terhadap KPK yang menetapkan tersangka Budi. Namun, suara publik yang kuat dan menganggap penetapan Polri terhadap pimpinan KPK sebagai bentuk kriminalisasi tampaknya tak terlalu diyakini Jokowi.

Analisis wajah oleh praktisi forensik kebohongan Handoko Gani, yang melihat kemarahan Jokowi kepada Abraham yang datang mengadu ketika Bambang ditangkap, sebagaimana terungkap saat konferensi pers di Istana Bogor, Jawa Barat, (Kompas, 14/2), mengisyaratkan hal itu. JKW-JK tampaknya kukuh dengan prinsipnya menghormati proses hukum yang dijalankan Polri. Hal itu ditunjukkan JKW-JK yang menunjuk pimpinan sementara KPK menggantikan Abraham dan Bambang. Dari tiga unsur pimpinan sementara KPK, hanya Johan Budi, orang dalam KPK, yang diangkat Jokowi.

Dua lainnya, Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adji, diusulkan Kalla karena Jokowi kurang mengenal tokoh nasional lainnya. Boleh jadi publik kecewa dengan keputusan tersebut karena persepsi yang muncul JKW-JK ”merestui” pelemahan KPK. Wajar jika publik pun meragukan komitmen pemerintah memberantas korupsi walaupun JKW-JK kerap mendukung penuh pemberantasan korupsi. Tampaknya, itulah ”keseimbangan” secara optimal JKW-JK menyelesaikan ganjalan pertama di antara parpol pengusung dan pendukungnya.

Hingga kini, ‎kasus hukum pimpinan KPK itu belum dicabut. Tentu, waktu yang akan menjawab bersalah atau tidak keduanya. Meskipun desakan publik kuat agar kasus itu dihentikan, kenyataannya hingga saat ini tidak juga dihentikan. Sempat ada spekulasi, kasusnya baru dihentikan setelah masa tugas kedua unsur pimpinan KPK itu berakhir pada Desember. Sebaliknya, ada anggapan, kedua unsur pimpinan KPK itu ”akan dihabisi” setelah KPK baru.

Publik kembali riuh dengan terbitnya peraturan presiden tentang kenaikan fasilitas uang muka pembelian mobil pribadi pejabat. Usulan DPR menaikkan uang muka kepada pemerintah entah bagaimana disetujui kementerian. Presiden pun meneken perpres itu meskipun kemudian mengoreksinya kembali dengan membatalkannya. Selain tak sesuai dengan kondisi ekonomi saat itu, alasan lainnya, tentu, Presiden mendengarkan suara rakyat.

Langkah koreksi kebijakan pemerintah setelah penolakan rakyat juga diambil JKW-JK saat inisiatif DPR didukung pemerintah akan merevisi UU KPK. Waktu itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, yang kader PDI Perjuangan, justru menyetujuinya. Namun, rencana revisi UU itu dinilai publik hanya akan melemahkan KPK memberantas korupsi. Selain mempersoalkan kewenangan menyadap, yang paling utama adalah membatasi jangka waktu keberadaan KPK. Dengan gejolak itu, Jokowi sebagai kepala pemerintahan akhirnya menegaskan revisi UU itu bukan prioritas. Rencana revisi pun buyar.

Namun, di pengujung tahun ini, lagi-lagi, rencana revisi UU KPK muncul dan masuk dalam Prolegnas 2015. Artinya, revisi UU KPK lebih nyata akan dibahas. Menurut Kalla, UU KPK perlu direvisi karena sudah lama sehingga perlu penyesuaian. Jokowi selanjutnya menegaskan, kalaupun akan direvisi, lebih dulu dengarkan rakyat dan kaji mendalam dengan melibatkan akademisi.

Tampaknya, ”benteng pertahanan” Jokowi untuk terus mempertahankan penolakan revisi UU KPK tak dapat dibendung lagi. Selain karena desakan fraksi di DPR, tentu juga parpol pengusung dan pendukung sudah bertekad bulat menginginkan revisi UU KPK. Jokowi pun akhirnya hanya dapat mengatakan, ”Dengarkan rakyat dan libatkan para akademisi sebelum revisi.”

Inilah yang mendorong segelintir anggota DPR seperti memperoleh semangat dengan cepat membahas UU KPK dalam waktu tiga hari. Belakangan, sorotan yang kuat terhadap DPR dan hati nurani pemerintah sendiri menyepakati pembahasan revisi UU KPK akan dilakukan tahun depan.

Keterlibatan publik

Munculnya kasus ”papa minta saham”, yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha migas M Riza Chalid, yang transkrip rekamannya dibawa Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan, tampaknya menjadi gong penutup persoalan hukum etika dan integritas pemerintahan JKW-JK. Dalam kasus itu, Kalla lebih dahulu mengekspresikan kegeramannya, dan baru disusul Jokowi ikut meluapkan kemarahannya. Kemarahan mereka wajar karena seolah-olah keduanya ada keinginan korupsi dari aset di Papua. Ekspresi keduanya sejatinya mewakili kemarahan publik atas perilaku tak etis pimpinan lembaga.

Kiprah Jokowi selama ini sebenarnya tak bisa dilepaskan dari pengalamannya saat mulai masuk birokrasi pemerintah yang diawali sebagai Wali Kota Solo. Saat itu, seorang kepala dinasnya terindikasi kasus hukum sehingga kejaksaan memprosesnya. Sebagai pimpinan, Jokowi tentu bertanggung jawab. Bersama wakil wali kotanya, Jokowi pun memberikan jaminan agar kepala dinasnya tidak ditahan. Namun, hukum berbicara lain. Sang kepala dinas tetap ditahan.

Begitulah Jokowi tatkala melihat anak buahnya akan ditahan, langkah pembelaannya pun dilakukan meskipun secara prosedur hukum menjamin tersangka tidak menentukan apa-apa. Walau demikian, sekitar tujuh tahun memimpin Kota Solo, Jokowi dikenal sebagai sosok pemimpin sederhana, cepat bekerja, tak birokratis, dan tak protokoler. Saat tertentu, Jokowi bersama pers bisa duduk selonjor di tangga Loji Gandrung (rumah dinas wali kota). Demikian pula saat jadi Gubernur DKI, sewaktu-waktu Jokowi bisa mengajak pers makan siang di luar kantor. Di situ, Jokowi berbicara bebas apa saja.

Ia juga kerap turun ke lapangan sebelum mengambil keputusan. Berkali-kali mengajak makan para pedagang sebelum digusurnya. Untuk menyelesaikan tugasnya di kantor, Jokowi paling lama berada di kantor sekitar satu jam untuk meneken surat-surat. Selebihnya, waktunya dihabiskan menemui rakyat, pegawai, dan memonitor program. Kebiasaan itu terbawa hingga menjadi Gubernur DKI, dan kini Presiden RI.

Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, yang mengamati gaya kepemimpinan Jokowi sejak wali kota, gubernur, hingga presiden, Sabtu (12/12), mengatakan, meskipun apa yang dilakukannya didasari oleh kesadaran sendiri, Jokowi sebenarnya lebih suka melibatkan publik untuk mendapat masukan sebelum mengambil keputusan. Kondisi ini lebih efektif di tengah banyaknya friksi dan faksi dalam kabinetnya, apalagi Jokowi hanya sebagai ”petugas” partai.

Para menteri, yang sebagian masih menganggap memiliki dua ”tuan”, yaitu presiden dan ketua parpolnya, jelas tak dapat menghasilkan komunikasi terbuka dan apa adanya. Komunikasi yang terbentuk tentu menemui kebuntuan karena adanya bayangan orang-orang di baliknya. Presiden pun lalu memanfaatkan ”panggung” depan yang bisa disaksikan dan didengar publik.

”Langkah ini ditempuh karena Jokowi bukan figur penentu pada parpol besar sehingga perlu memainkan panggung. Ini, artinya, Presiden selalu ingin menjaga hubungan baik dengan netizen maupun masyarakat umumnya. Bahasa tubuh, baik ekspresi wajah maupun nada bicara Jokowi, dengan masyarakat biasa lebih ’jujur’ ketimbang saat dia berhadapan dengan kalangan elite, akademisi, politisi, maupun pejabat pemerintah dalam ’panggung’belakang,” papar Yunarto.

Oleh karena itu, dengan permainan ”panggung”, Presiden Jokowi bisa jadi akan terus-menerus memanfaatkannya untuk menyelesaikan persoalan hukum, etika, dan integritas hingga kabinet dan kekuatan politik dalam kendalinya benar-benar solid dan terkonsolidasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar