Minggu, 06 Desember 2015

Pembusukan Etika Politik

Pembusukan Etika Politik

Masdar Hilmy  ;  Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                      KOMPAS, 05 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh seorang petinggi politik kita dalam kasus kontrak karya Freeport dapat menggerus kualitas politik-demokrasi dari dalam. Penggerusan semacam ini, dalam banyak hal, memberikan ancaman lebih besar ketimbang penggerusan dari luar oleh musuh-musuh eksternal demokrasi. Penggerusan tersebut mencerminkan defisit etika politik yang berpijak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) mengatribusikan sikap institusi dan atau individu yang berantitesis terhadap kualitas politik-demokrasi modern sebagai "pembusukan politik". Salah satu sumber pembusukan tersebut berasal dari ketidakmampuan sebuah institusi dan atau individu-individu di dalamnya untuk merespons dan beradaptasi dengan tuntutan baru berdasarkan pada paradigma, pola pikir atau prinsip-prinsip etika politik yang baru pula.

Cengkeraman elite

Dalam hal terjadinya pembusukan dari dalam, institusi kenegaraan modern yang seharusnya bersifat impersonal akan rawan jatuh dalam cengkeraman elite dalam sebuah proses yang oleh Fukuyama disebut sebagai "reptarimonialisasi". Demokrasi modern secara teoretik seharusnya mampu mengatasi persoalan cengkeraman elite melalui penerapan prinsip pemerintahan yang akuntabel, baik, dan bersih. Demokrasi semestinya melakukan distribusi public good kepada seluruh warga negara melalui perangkat kelembagaan yang ada.

Sekalipun demokrasi memiliki mekanisme pengawasan terhadap perilaku elite, ia sering kali gagal menjalankan peran pengawasan sebagaimana dikehendaki. Hal ini karena para elite biasanya memiliki akses terhadap sumber daya (ekonomi-politik) dan informasi yang mereka gunakan untuk melindungi kepentingan diri mereka sendiri. Publik tentu tidak akan marah terhadap perilaku elite yang dengan seenaknya melakukan penyalahgunaan wewenang jika mereka tidak tahu. Tetapi, publik akan menumpahkan kekesalan mereka melalui mekanisme politik-demokrasi yang ada ketika mereka mengetahui ulah "tak senonoh" elite politik kita.

Tindakan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden oleh siapa pun, barangkali dapat ditoleransi sepanjang ada rasionalitas publik yang kuat, adekuat, serta darurat. Namun, jika pencatutan nama keduanya dilakukan atas motif-motif yang berlawanan dengan public good, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Grant dan Keohane (2005) dalam artikel mereka, "Accountability and Abuses of Power in World Politics" menegaskan bahwa penyalahgunaan wewenang terjadi ketika "public officials act against the interests of the public". Yakni, ketika elite politik bertindak secara berlawanan dengan kepentingan publik.

Namun demikian, betapa pun seorang elite politik memiliki rasionalitas publik yang kuat untuk mencatut nama-nama elite politik tertentu, bukan berarti hal demikian dapat diterima dalam praktik politik modern. Elite politik yang telah menyalahgunakan wewenang dapat dipastikan mengalami defisit etika dalam berpolitik. Etika politik dalam konteks ini merujuk pada prinsip-prinsip moral yang menjadi tiang penyangga tegaknya nilai-nilai dan praktik politik yang berpijak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Oleh karena itu, terminologi politik modern harus mengakomodasi kosakata baru terkait dengan praktik politik yang dianggap tabu: pantang menyalahgunakan wewenang demi alasan apa pun, termasuk mencatut nama-nama tertentu dan atau berbohong untuk motif dan tujuan yang apublik. Beruntunglah kita memiliki mekanisme demokrasi yang mampu melakukan koreksi, komplain, dan checks and balances terhadap praktik-praktik politik yang tak terpuji. Ke depan, untuk mengakhiri kegaduhan publik, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR harus bertindak cepat dengan menghukum ulah sebagian elitenya yang tidak etis.

"Tripod" etika politik

Guna mencegah pembusukan etika politik, Fukuyama menyarankan diperkuatnya sistem politik modern yang diilustrasikan sebagai "tripod" yang tiap-tiap elemennya saling menopang; negara modern, penegakan hukum, dan akuntabilitas demokratik (h. 550). Sebagai sebuah segitiga sama kaki, tripod tersebut harus berdiri secara seimbang agar dapat memastikan terjaminnya etika politik yang sehat, terbuka, dan berkeadilan. Agar "tripod" tersebut berdiri secara seimbang, rasionalitas publik harus menjadi referensi utama bagi tindakan elite politik.

Negara modern dibutuhkan untuk mengakumulasikan dan mendistribusikan kekuasaan, di lain pihak penegakan hukum dan akuntabilitas publik diperlukan untuk membatasi dan menyalurkan kekuasaan itu sendiri. Sebagai sebuah institusi, Indonesia barangkali telah memiliki persyaratan sebagai negara modern, terutama seiring dengan semakin lengkapnya perangkat kenegaraan yang ada. Namun demikian, kita harus jujur mengakui bahwa Indonesia masih mengalami persoalan serius di dua aspek lainnya; penegakan hukum dan akuntabilitas publik.

Jika "tripod" berdiri secara tidak berimbang, maka sebuah negara dapat terjatuh pada kediktatoran atau bahkan negara gagal. Masih menurut Fukuyama, pemerintahan patrimonial atau neopatrimonial yang dianut oleh banyak negara berkembang menjadi penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan. Melepaskan diri dari jeratan politik-demokrasi patrimonial atau neopatrimonial menuju negara demokrasi modern jauh lebih sulit ketimbang transisi politik dari rezim otoritarianisme ke rezim demokrasi.

Fukuyama bahkan secara khusus menyoroti kondisi politik Indonesia-bersama Brasil, Meksiko, dan India-sebagai negara yang kompetitif secara demokrasi, tetapi mengalami problem korupsi akut dan penyumbatan distribusi service delivery secara adil dan merata (h. 551). Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur kereta api di luar Jawa oleh pemerintahan Jokowi dapat dimaknai sebagai upaya mengurai persoalan terakhir di atas. Sayangnya, kerja keras pemerintah seakan "dinodai" oleh ulah tidak etis elite lainnya untuk tujuan-tujuan yang belum diketahui manfaatnya bagi publik.

Oleh karena itu, perilaku elite yang mengabaikan etika politik harus menjadi catatan bersama agar tidak menular kepada elite lainnya. Arbitrase etika politik yang berpijak pada prinsip tata pemerintahan yang akuntabel, baik, dan bersih, harus segera ditegakkan agar penggerusan dari dalam tidak terulang lagi. Penegakan etika politik akan menjadi pintu masuk bagi terurainya berbagai bentuk penyimpangan politik yang dapat berujung pada pembusukan etika politik di negeri ini. Sebab jika ulah tidak etis para elite dibiarkan, jangan harap keadilan dan kesejahteraan distributif dapat benar-benar membumi di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar