Kamis, 03 Desember 2015

Buruh dalam Pusaran Konflik

Buruh dalam Pusaran Konflik

Suwandi Sumartias  ;  Pengajar Hubungan Industrial
di Fikom Universitas Padjadjaran
                                                      KOMPAS, 01 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masifnya unjuk rasa buruh yang menentang pembatalan PP No 78/2015 tentang Pengupahan sudah diprediksi bakal terjadi. Namun, pemerintah seakan tak ambil pusing dengan unjuk rasa, bahkan cenderung membiarkan.

Kali ini buruh dalam hal menentukan upah minimum merasa tidak dilibatkan sehingga lahirnya peraturan pemerintah (PP) itu dianggap melanggengkan upah murah. Dari banyak kasus unjuk rasa, urusan normatif dan ketidakadilan yang dirasakan buruh masih jadi alasan kuat melakukan mogok kerja. Gelombang unjuk rasa yang menentang PP itu merupakan bentuk perlawanan kaum buruh yang selalu diposisikan pemerintah dan pengusaha sebagai bagian ”luar” perusahaan.

Gagalnya komunikasi dan negosiasi di tingkat bipartit (pengusaha-buruh) dan lemahnya hubungan tripartit (pengusaha-buruh dan pemerintah) telah berlangsung lama dan klasik. Buruh selalu diposisikan sebagai kelompok lemah dan dimarjinalkan, bukan bagian penting dalam relasi produksi yang egaliter dan sinergis bagi kemajuan perusahaan. Pemerintah sering kali alpa untuk menjalankan fungsi regulator yang fair dan kondusif dalam hubungan industrial. Alih-alih dalam lahirnya PP itu.

Konflik kepentingan dan hak dalam relasi kerja buruh-pengusaha selalu mewarnai hubungan industrial, khususnya di perusahaan atau industri manufaktur yang melibatkan ribuan pekerja. Munculnya konflik sering akibat nihilnya kemitraan yang berlandaskan komunikasi dan negosiasi yang belum terbuka dan berimbang. Rasa curiga dan saling prasangka menjadi hambatan untuk duduk bersama.

Kemitraan dalam produksi yang menuntut tingkat produktivitas kaum buruh lebih tinggi, sering kali tak berbanding lurus dengan kemitraan dalam profit atau benefit yang dirasakan kaum buruh. Situasi ini diperparah oleh elemen ketiga, yakni kehadiran pemerintah atau dinas terkait dengan relasi industri yang ”bermain” dan ikut memperkeruh keadaan.

Dalam koridor relasi kerja yang masih dipenuhi dengan berbagai persoalan mendasar, termasuk nihilnya komitmen dan kesadaran untuk maju dan sejahtera bersama antara pengusaha dan buruh, serta lemahnya peran pemerintah dalam menegakkan peraturan, hubungan industrial akan selalu diwarnai berbagai benturan kepentingan.

Reposisi gerakan buruh

Di luar kepentingan memperjuangkan aspirasi buruh, tak jarang gerakan buruh ditunggangi kepentingan para aktivis buruh yang memiliki agenda politik tertentu. Dalam situasi seperti ini, gerakan buruh menjadi gerakan yang cenderung mengarah pada selebritas gerakandalam upaya membangun kekuatan dan pencitraan yang tak lagi substantif dan solutif. Pergeseran orientasi gerakan buruh ini akan selalu mewarnai dan semakin masif adanya. Gerakan buruh menjadi agenda rutin yang akan kehilangan makna yang konstruktif dan substantif serta lebih mengemuka sebagai gerakan artifisial dalam bentuk demonstrasi besar-besaran.

Gerakan buruh identik dengan sebuah gerakan massa pekerja yang sering dinilai radikal, pragmatis, dan bercorak ideologis sosialis. Bahkan, di Indonesia gerakan komunitas ini memilikimuatan sejarah ”pahit”dikaitkan dengan gerakan ideologi kiri. Pertarungan ideologi yang tak berkesudahan sejatinya sudah ditanggalkan karena tantangan persoalan kekinian telah bergeser pada paradigma baru. Hubungan konfliktual antara buruh-pengusaha dan pemerintah seyogianya diposisikan kembalipada persoalan nyata hubungan produksi yang lebih kooperatif dan positif di antara para pelaku produksi.

Buruh tak lagi sebagai obyek para pemilik modal, demikian juga pemilik modal tidak lagi berada sebagai kelompok dominan yang terus-menerusdianggap mengeksploitasi buruh untuk meraup keuntungan materi. Pemerintah pun bukan lagi sebagai wasit dan fasilitator yang hanya mampu memainkan kekuasaan untuk mengeluarkan berbagai peraturan tanpa pengawalan dan penegakan yang jelas dan konsisten. Pemerintah juga tidak lagi memandang pengusaha menjadi ”sapi perahan” yang sangat empuk.

Tanggung jawab bersama

Karena krisis ekonomi yang berkepanjangan telah berdampak luar biasa menurunkan iklim bisnis di Indonesia, situasi ini tentu akan menyulitkan semua pihak . Menurut catatan Badan Pusat Statistik, sekitar 75 persen tenaga kerja di Indonesia pekerja kerah biru, yakni pekerja yang melakukan pekerjaan dengan tangannya atau mencari nafkah dengan tenaga fisik. Dari sekitar 95 juta tenaga kerja, sebesar 70,22 juta orang masuk kategori pekerja kerah biru, dan 24,73 juta pekerja kerah putih yang mengandalkan kemampuanintelektual untuk mencari nafkah. Posisi tawar pekerja kerah biru terhadap perusahaan biasanya lebih lemah, tak hanya menyangkut upah, tetapi juga hak-hak normatif lain, seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua.

Ekonom peraih Nobel yang juga pengamat hubungan industrial, Paul Krugman, menyatakan bahwa seorang pedagang bisa menjual banyak barang, tetapi seorang pekerja biasanya hanya memiliki satu pekerjaan yang tidak saja menopang kebutuhan hidupnya, tetapi juga kebutuhan identitas dirinya. Barang yang tidak terjual hanya mengganggu, tetapi seorang pekerja yang menganggur adalah sebuah tragedi.

Betapa tak mudah memahami gerakan buruh sebagai bentuk murni perjuangan dan gerakan sosial ekonomi. Pekerjaan yang dijalaninya bertahun-tahun tetap saja tak bisa memenuhi apa yang jadi kebutuhan hidupnya, apalagi sense of identity-nya. UUD 1945 (Pasal 27 Ayat 2) dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Konstitusi dan UU ternyata belum mampu menjamin semua ini terjadi. Dalam kasus PP Pengupahan, buruh merasa tak dilibatkan dalam penentuan upah dan PP itu dituding melanggengkan politik upah murah.

Dalam situasi dan posisi buruh yang amat lemah, apalagi diperparah oleh lemahnya pengawasan dan penegakan peraturan oleh dinas terkait, posisi buruh lemah dalam relasi produksi. Di beberapa negara yang industrinya lebih maju, relasi produksi itu murni urusan pengusaha dan buruh, pemerintah benar-benardipercaya dapat menjadi wasit dan fasilitator yang profesional dan adil. Dalam relasi produksi di Indonesia, semua pelaku dalam arus produksi masih memiliki kelemahan dalam berbagai hal, termasuk lemahnya kesadaran dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing.

Tokoh sosialis Karl Marx menegaskanbahwa kepentingan utama kaum borjuis (pemilik modal) adalah memperoleh keuntungan yang maksimum. Sebaliknya, proletar (buruh) perlu gaji yang lebih, gaji yang mengurangi keuntungan majikan. Manakala majikan tak memenuhi tuntutan pekerja, terjadilah konflik industri. Konflik berkembang atas dasar pertentangan kepentingan antara pekerja dan yangmempekerjakan.

Di sisi lain, konflik berbahaya karena konflik itu disfungsional, mengakibatkan perpecahan, dan mengacaukan masyarakat. Solusi menarik datang dari Keisuke Fuse, Direktur Departemen Internasional Konfederasi Serikat Pekerja Nasional Jepang, Zenroren, bahwa potensi konflik hubungan industrial sebenarnya bisa ditekan jika pengusaha dan buruh bisa saling terbuka dalam setiap persoalan di perusahaan. Kejujuran akan membangun kepercayaan dan menimbulkan ketenangan bekerja di perusahaan. Salah satu resep mengelolakonflik hubungan industrial adalah manajemen dan serikat pekerja berkomunikasi secara intensif, terutama dalam hal menetapkantarget perusahaan danstrategi memenangkan pasar, sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab moral dalam bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar