Buruh dalam Pusaran Konflik
Suwandi Sumartias ;
Pengajar Hubungan Industrial
di Fikom Universitas Padjadjaran
|
KOMPAS,
01 Desember 2015
Masifnya unjuk rasa
buruh yang menentang pembatalan PP No 78/2015 tentang Pengupahan sudah
diprediksi bakal terjadi. Namun, pemerintah seakan tak ambil pusing dengan
unjuk rasa, bahkan cenderung membiarkan.
Kali ini buruh dalam
hal menentukan upah minimum merasa tidak dilibatkan sehingga lahirnya
peraturan pemerintah (PP) itu dianggap melanggengkan upah murah. Dari banyak
kasus unjuk rasa, urusan normatif dan ketidakadilan yang dirasakan buruh
masih jadi alasan kuat melakukan mogok kerja. Gelombang unjuk rasa yang
menentang PP itu merupakan bentuk perlawanan kaum buruh yang selalu
diposisikan pemerintah dan pengusaha sebagai bagian ”luar” perusahaan.
Gagalnya komunikasi
dan negosiasi di tingkat bipartit (pengusaha-buruh) dan lemahnya hubungan
tripartit (pengusaha-buruh dan pemerintah) telah berlangsung lama dan klasik.
Buruh selalu diposisikan sebagai kelompok lemah dan dimarjinalkan, bukan
bagian penting dalam relasi produksi yang egaliter dan sinergis bagi kemajuan
perusahaan. Pemerintah sering kali alpa untuk menjalankan fungsi regulator
yang fair dan kondusif dalam hubungan industrial. Alih-alih dalam lahirnya PP
itu.
Konflik kepentingan
dan hak dalam relasi kerja buruh-pengusaha selalu mewarnai hubungan
industrial, khususnya di perusahaan atau industri manufaktur yang melibatkan
ribuan pekerja. Munculnya konflik sering akibat nihilnya kemitraan yang berlandaskan
komunikasi dan negosiasi yang belum terbuka dan berimbang. Rasa curiga dan
saling prasangka menjadi hambatan untuk duduk bersama.
Kemitraan dalam
produksi yang menuntut tingkat produktivitas kaum buruh lebih tinggi, sering
kali tak berbanding lurus dengan kemitraan dalam profit atau benefit yang
dirasakan kaum buruh. Situasi ini diperparah oleh elemen ketiga, yakni
kehadiran pemerintah atau dinas terkait dengan relasi industri yang ”bermain”
dan ikut memperkeruh keadaan.
Dalam koridor relasi
kerja yang masih dipenuhi dengan berbagai persoalan mendasar, termasuk
nihilnya komitmen dan kesadaran untuk maju dan sejahtera bersama antara
pengusaha dan buruh, serta lemahnya peran pemerintah dalam menegakkan
peraturan, hubungan industrial akan selalu diwarnai berbagai benturan
kepentingan.
Reposisi gerakan buruh
Di luar kepentingan
memperjuangkan aspirasi buruh, tak jarang gerakan buruh ditunggangi
kepentingan para aktivis buruh yang memiliki agenda politik tertentu. Dalam
situasi seperti ini, gerakan buruh menjadi gerakan yang cenderung mengarah
pada selebritas gerakandalam upaya membangun kekuatan dan pencitraan yang tak
lagi substantif dan solutif. Pergeseran orientasi gerakan buruh ini akan
selalu mewarnai dan semakin masif adanya. Gerakan buruh menjadi agenda rutin
yang akan kehilangan makna yang konstruktif dan substantif serta lebih
mengemuka sebagai gerakan artifisial dalam bentuk demonstrasi besar-besaran.
Gerakan buruh identik
dengan sebuah gerakan massa pekerja yang sering dinilai radikal, pragmatis,
dan bercorak ideologis sosialis. Bahkan, di Indonesia gerakan komunitas ini
memilikimuatan sejarah ”pahit”dikaitkan dengan gerakan ideologi kiri.
Pertarungan ideologi yang tak berkesudahan sejatinya sudah ditanggalkan
karena tantangan persoalan kekinian telah bergeser pada paradigma baru.
Hubungan konfliktual antara buruh-pengusaha dan pemerintah seyogianya
diposisikan kembalipada persoalan nyata hubungan produksi yang lebih
kooperatif dan positif di antara para pelaku produksi.
Buruh tak lagi sebagai
obyek para pemilik modal, demikian juga pemilik modal tidak lagi berada
sebagai kelompok dominan yang terus-menerusdianggap mengeksploitasi buruh
untuk meraup keuntungan materi. Pemerintah pun bukan lagi sebagai wasit dan
fasilitator yang hanya mampu memainkan kekuasaan untuk mengeluarkan berbagai
peraturan tanpa pengawalan dan penegakan yang jelas dan konsisten. Pemerintah
juga tidak lagi memandang pengusaha menjadi ”sapi perahan” yang sangat empuk.
Tanggung jawab bersama
Karena krisis ekonomi
yang berkepanjangan telah berdampak luar biasa menurunkan iklim bisnis di
Indonesia, situasi ini tentu akan menyulitkan semua pihak . Menurut catatan
Badan Pusat Statistik, sekitar 75 persen tenaga kerja di Indonesia pekerja
kerah biru, yakni pekerja yang melakukan pekerjaan dengan tangannya atau
mencari nafkah dengan tenaga fisik. Dari sekitar 95 juta tenaga kerja,
sebesar 70,22 juta orang masuk kategori pekerja kerah biru, dan 24,73 juta
pekerja kerah putih yang mengandalkan kemampuanintelektual untuk mencari nafkah.
Posisi tawar pekerja kerah biru terhadap perusahaan biasanya lebih lemah, tak
hanya menyangkut upah, tetapi juga hak-hak normatif lain, seperti jaminan
sosial, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua.
Ekonom peraih Nobel
yang juga pengamat hubungan industrial, Paul Krugman, menyatakan bahwa
seorang pedagang bisa menjual banyak barang, tetapi seorang pekerja biasanya
hanya memiliki satu pekerjaan yang tidak saja menopang kebutuhan hidupnya,
tetapi juga kebutuhan identitas dirinya. Barang yang tidak terjual hanya
mengganggu, tetapi seorang pekerja yang menganggur adalah sebuah tragedi.
Betapa tak mudah
memahami gerakan buruh sebagai bentuk murni perjuangan dan gerakan sosial
ekonomi. Pekerjaan yang dijalaninya bertahun-tahun tetap saja tak bisa memenuhi
apa yang jadi kebutuhan hidupnya, apalagi sense of identity-nya. UUD 1945
(Pasal 27 Ayat 2) dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Konstitusi dan UU ternyata belum mampu menjamin semua ini
terjadi. Dalam kasus PP Pengupahan, buruh merasa tak dilibatkan dalam
penentuan upah dan PP itu dituding melanggengkan politik upah murah.
Dalam situasi dan
posisi buruh yang amat lemah, apalagi diperparah oleh lemahnya pengawasan dan
penegakan peraturan oleh dinas terkait, posisi buruh lemah dalam relasi
produksi. Di beberapa negara yang industrinya lebih maju, relasi produksi itu
murni urusan pengusaha dan buruh, pemerintah benar-benardipercaya dapat
menjadi wasit dan fasilitator yang profesional dan adil. Dalam relasi
produksi di Indonesia, semua pelaku dalam arus produksi masih memiliki
kelemahan dalam berbagai hal, termasuk lemahnya kesadaran dalam menjalankan
peran dan fungsi masing-masing.
Tokoh sosialis Karl
Marx menegaskanbahwa kepentingan utama kaum borjuis (pemilik modal) adalah
memperoleh keuntungan yang maksimum. Sebaliknya, proletar (buruh) perlu gaji
yang lebih, gaji yang mengurangi keuntungan majikan. Manakala majikan tak
memenuhi tuntutan pekerja, terjadilah konflik industri. Konflik berkembang
atas dasar pertentangan kepentingan antara pekerja dan yangmempekerjakan.
Di sisi lain, konflik
berbahaya karena konflik itu disfungsional, mengakibatkan perpecahan, dan
mengacaukan masyarakat. Solusi menarik datang dari Keisuke Fuse, Direktur
Departemen Internasional Konfederasi Serikat Pekerja Nasional Jepang,
Zenroren, bahwa potensi konflik hubungan industrial sebenarnya bisa ditekan
jika pengusaha dan buruh bisa saling terbuka dalam setiap persoalan di perusahaan.
Kejujuran akan membangun kepercayaan dan menimbulkan ketenangan bekerja di
perusahaan. Salah satu resep mengelolakonflik hubungan industrial adalah
manajemen dan serikat pekerja berkomunikasi secara intensif, terutama dalam
hal menetapkantarget perusahaan danstrategi memenangkan pasar, sehingga semua
pihak memiliki tanggung jawab moral dalam bekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar