Kamis, 12 Februari 2015

Uji Publik Calon Kepala Daerah

Uji Publik Calon Kepala Daerah

Farouk Muhammad   ;   Wakil Ketua DPD RI
KORAN SINDO, 11 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kerangka revisi Undang- Undang (UU) tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah uji publik calon kepala daerah. Dalam UU tersebut, uji publik ditujukan kepada bakal calon kepala daerah sebelum penetapan dan pengajuan sebagai calon di mana hasilnya menjadi salah satu syarat pencalonan kepala daerah. Uji publik dilaksanakan oleh tim independen yang dibentuk oleh penyelenggara pilkada yang anggotanya meliputi unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan penyelenggara.

Tersirat dalam UU bahwa uji publik dimaksudkan untuk memperkuat pelibatan atau partisipasi publik dalam penjaringan calon kepala daerah sejak penentuan bakal calon oleh partai politik dan perseorangan, sehingga di satu sisi publik (pemilih) akan sejak dini ”menyeleksi” calon terbaik sebagai kepala daerahnya dan di sisi lain partai politik didorong semakin selektif, transparan, dan akuntabel dalam mengajukan calon kepala daerah.

Pesan implisit konsep uji publik adalah upaya untuk meminimalisasi oligarki partai dalam menentukan calon kepala daerah—yang selama ini ditengarai lebih menonjolkan pertimbangan popularitas dan modal (materi) ketimbang kualitas dan kapabilitas.

Pro-Kontra

Konsep uji publik telah diintroduksi dalam UU Nomor 22/2014 maupun Perppu No 1/2014 yang menganulir UU Nomor 22/2014 tersebut. Artinya ada kesepahaman pembentuk UU (DPR, DPD, dan Pemerintah) bahwa uji publik perlu diangkat menjadi norma UU.

Penulis menjadi pihak yang terlibat dalam pembahasan materi ini dalam kapasitas saat itu sebagai Ketua Timja RUU Pilkada DPD RI. Bahkan, uji publik sejak awal merupakan konsepsi yang secara resmi diusulkan oleh DPD dan penulis menuangkan konsepsi tersebut dalam norma undang-undang secara utuh yang kemudian berkembang dalam dinamika pembahasan.

Mayoritas Fraksi DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan UU Nomor 22/ 2014 mendukung gagasan DPD tersebut sebagai satu bentuk ikhtiar untuk mendapatkan calon terbaikdari sejumlah bakal calon yang mendaftar atau didaftarkan oleh partai politik dan perseorangan.

Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa esensi pilkada adalah menghadirkan pemimpin daerah yang berkualitas dalam rangka mendinamisasi dan memajukan daerah. Pemimpin yang demikian dapat diperoleh jika dibuka ruang yang memadai bagi publik untuk mengetahui dan menguji rekam jejak (track record) dan integritas serta kompetensi bakal calon sebelum dicalonkan sebagai kepala daerah.

Gagasan uji publik pada dasarnya juga merupakan refleksi terhadap hasil pilkada selama ini. Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak calon yang diajukan oleh partai politik maupun perseorangan sebenarnya bukanlah calon terbaik. Hanya karena publik tidak memiliki ruang yang menentukan, mereka tidak memiliki (alternatif) pilihan lain.

Sementara proses penentuan calon merupakan hak prerogatif” partai politik, yang sayangnya lebih bernuansa oligarkis, nir-public discourse, dan lebih menonjolkan popularitas dan modal ketimbang kualitas dan kapabilitas. Uji publik berusaha mengatasi hal tersebut sehingga ruang publik turut serta dalam menentukan calon yang terbaik menjadi semakin luas.

Belakangan sayup terdengar norma uji publik ini termasuk yang akan direvisi dengan argumentasi bahwa uji publik merupakan hak dan kewenangan partai politik dalam proses penjaringan bakal calon, sebagaimana langgam yang berlaku selama ini. Bukankah salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik, termasuk rekrutmen calon pejabat publik?

Jika tim independen memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian lalu merekomendasikan bahkan dapat menentukan layak atau tidak layak bakal calon, lalu di mana letak kewenangan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi? Uji publik juga menjadikan tahapan pemilu menjadi lebih panjang mengingat penambahan jadwal sebelum pencalonan.

Uji publik dikhawatirkan menjadi ajang menjatuhkan karakter seseorang sehingga gagal atau batal dalam pencalonan. Toh publik pemilih telah memiliki ruang yang menentukan selama masa kampanye hingga saatnya menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang menurut mereka terbaik di bilik suara.

Uji Publik Berkualitas

Pertanyaannya, bagaimana konsep uji publik yang secara objektif menguntungkan publik dan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas? Mengingat UU tidak—atau paling kurang belum—menjabarkan konsep uji publik tersebut. Penulis dapat memahami karena mungkin materi muatan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara pilkada.

Penulis berpendapat, kita harus memahami terlebih dahulu esensi (dan urgensi) uji publik. Esensinya adalah pelibatan publik sehingga publik menjadi sentral dalam proses-proses pilkada. Pesannya, setiap calon harus berasal ”dari publik, oleh publik, dan untuk publik” sebagaimana kredo demokrasi yang kita pahami bersama: ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Partai politik sebagai agen rekrutmen politik harus diletakkan dalam kerangka tersebut, bahwa parpol sejatinya adalah publik itu sendiri: lahir dari dan bekerja untuk publik. Mana ada parpol yang berani mengabaikan publik, karena jika itu terjadi sama saja sedang menggali kubur sendiri.

Dengan demikian uji publik dapat diterima sebagai upaya untuk menangkap segala kepentingan, kebutuhan, dan harapan publik, yakni: kepala daerah yang berkualitas. Pelaksanaan uji publik terhadap bakal calon kepala daerah sama sekali tidak ada ruginya, bahkan justru menguntungkan partaipolitikkarenaruanguntuk seleksi yang selama ini dilakukan oleh partai politik menjadi difasilitasi oleh negara dalam ruang publik yang lebih luas.

Partai politik dapat mengajukan sebanyak mungkin bakal calon untuk diseleksi awal (pre-eliminary selection), bukan saja untuk mengukur bakal calon yang lebih diminati publik, tapi juga bisa memprediksi bakal calon yang diperkirakan menang. Hal ini jelas mengatasi ”mahalnya” ongkos pencalonan—mulai dari sulitnya mendapatkan calon yang tepat hingga gesekan persaingan antarcalon—yang selama ini (juga) banyak dikeluhkan partai politik.

 Pemahaman tersebut selanjutnya menjadi kerangka pengaturan uji publik dalam regulasi penyelenggaraan pilkada. Secara substansi, fokus uji publik adalah untuk menguji dua aspek utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, aspek kompetensi meliputi seluruh pengetahuan, wawasan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kedua, aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan karakter yang lekat pada bakal calon kepala daerah yang bisa dilihat dari rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik. Dua aspek inilah yang sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership (kepemimpinan) yang sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang lebih menonjolkan aspek popularitas dan modal (materi).

Jalan Tengah: Publik dan Partai

Secara prosedural, proses uji publik dilaksanakan oleh suatu panel independen yang dibentuk oleh penyelenggara pilkada di mana panel memiliki kewenangan untuk secara aktif membuka dan menerima masukan publik terhadap bakal calon kepala daerah.
                                    
Harus dipastikan waktu yang memadai agar panel dapat menggali, menerima, dan menguji- silang informasi publik terkait aspek kompetensi dan kapabilitas para bakal calon kepala daerah. Dengan kewenangan demikian, lazimnya panel memiliki hak untuk memberikan sertifikasi apakah bakal calon layak (qualified) atau tidak layak (unqualified).

Akan tetapi, mengingat hal ini akan menimbulkan resistensi dari partai politik sebagai peserta pilkada, jalan tengah yang mungkin dapat dilakukan adalah panel diberi kewenangan untuk secara proaktif mengungkapkan data yang ditemukan kepada publik secara objektif tanpa menjustifikasi layak atau tidak layak. Dengan demikian publik yang akan menentukan apakah yang bersangkutan layak atau tidak menjadi calon kepala daerah.

Proses uji publik yang dilakukan secara konsisten dan profesional niscaya akan menghasilkan demokrasi pemilihan kepala daerah yang lebih matang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar