Selasa, 03 Februari 2015

Tentang Negara dan Kritik Prematur atas Manufakturisasi Pendidikan

Tentang Negara dan

Kritik Prematur atas Manufakturisasi Pendidikan

Musa Maliki  ;  Pengajar UPN Veteran Jakarta;
PhD student di Charles Darwin University, Darwin, Australia
INDOPROGRESS, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

TULISAN Regit AS[1] mengandung beberapa poin yang memang signifikan dan seringkali dianggap remeh oleh kita semua. Khususnya menyangkut bagaimana pendidikan direpresentasikan oleh aparatus pemerintah. Bagi pemerintah yang mengatasnamakan negara, pendidikan adalah pengembangan pengetahuan yang bukan hanya mendisiplinkan manusia untuk menjadi subjek pekerja. Pendapat ini bersumber dari interpretasi Regit AS terhadap riset Dodi Mantra dan Reza Istefi yang tak diungkapkan metode dan pendekatannya. Menurut Regit, pendidikan yang disokong negara sangat kental dengan muatan produksi subjek pekerja demi meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi. Ia berargumen bahwa pendidikan Indonesia akan kembali pada tujuan utama negara karena yang dikejar adalah angka pertumbuhan ekonomi.

Terkait dengan kritiknya terhadap Anies Baswedan yang dianggap pro pasar kerja, Regit menambahkan tentang ketidakberdayaan Anies menghadapi intervensi politik partai-partai di parlemen yang mendistorsi produksi ilmu pengetahuan sebagai solusi problem-problem masyarakat di lapangan.

Hal di atas memang ada benarnya. Namun beberapa hal, perlu digali lebih jauh.

Pertama, skeptisisme Regit akan konsep negara tentunya tidak akan meniadakan negara (Indonesia) baik secara fakta maupun secara substansial. Hari ini, negara adalah sebuah kenyataan dan dirasa masih penting untuk hadir. Masalahnya adalah bagaimana bentuk dan proses bernegara., sebab negara tidak serta merta stagnan dan statis sesuai dengan awal pembentukannya di masa Westpahalia (1648).[2]

Ada begitu banyak perdebatan tentang formasi negara. Semisal Michael Hardt dan Antonio Negri yang mendefinisikan negara sebagai formasi universal nilai-nilai Barat.[3] Sedangkan Begoña Aretxaga mencatat bahwa setelah Perang Dunia II dan jatuhnya tembok Berlin, jumlah negara justru bertambah dan kehadiran institusi internasional seperti Bank Dunia, membuat bentuk negara menjadi sangat beragam.[4]

Philip Abrams sendiri melihat bahwa sapuan gelombang neo-liberalisme di dekade 1980-an mendorong negara untuk mendekat ke pasar serta menjalankan privatisasi dan menjauh dari nilai-nilai masyarakat sipil seperti kesejahteraan dan keamanan masyarakat.[5] Abrams menganggap negara sebagai sesuatu yang transendental. Institusi kepolisian, tentara dan hukum seolah-olah memang disatukan dan dilegitimasi, meski wujud negara yang sesungguhnya hanya di tataran ide semata. Negara itu ide politik yang tidak ada dalam fakta fenomenal. Foucault, misalnya, melihat negara itu sangat terikat dengan populasi dan naked violence.[6]

Dalam soal bentuk, kita mengenal negara totalitarian, demokrasi, birokratik, dan jenis yang lain. Hal ini menunjukkan bagaimana negara yang, meskipun tidak jelas secara fakta, tetapi efek dan praktik diskursifnya terasa nyata. Di poin ini, Regit semestinya menjelaskan bentuk Indonesia sebagai negara hingga berakhir pada kesimpulan bahwa pendidikannya memang hanya membuahkan subjek pekerja untuk menopang dirinya.

Semua warga berharap untuk sejahtera. Dalam konteks ini, masyarakat bisa mempunyai tafsir macam-macam terhadap negara, tergantung bentuk dan praktik diskursifnya. Jika negara ditafsirkan pemerintahan yang kapitalistik, tentunya pendidikan adalah alat untuk akumulasi kapital negara. Jika negara dipahami secara demokratis, maka pendidikan adalah alat politik untuk mencapai kesadaran tinggi terhadap politik. Dalam tulisannya, Regit berasumsi bahwa Indonesia adalah negara kapitalis tanpa melakukan telaah lebih serius terkait klaim ini.

Hakikat pendidikan adalah untuk menopang institusi (yang dinamai pemerintah). Institusi ini bergerak untuk menopang proses bernegara. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh Mendiknas adalah kebijakan dalam konteks bernegara. Dengan demikian, jelas bahwa pendidikan kita adalah bagian dari proses sistem politik Indonesia. Ia tidak hanya proses pergulatan intelektual semata.

Sejak era Soeharto hingga kini, pendidikan kita memang secara pragmatis memfokuskan dirinya untuk peningkatan kesejahteraan warga dan keberlangungan bernegara. Ia tidak didedikasikan pada idealisme, untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dapat dikatakan bahwa pragmatisme ini bersifat idealis, sebab menyangkut kesejahteraan warga negara. Program Kementerian Mendiknas tentunya berada di level idealis yang berbeda yang dimaksud Regit.

Pendidikan kita lebih banyak mencetak intelektual tukang ngasong, intelektual marketing, intelektual copy-paste, yang mendewakan Barat. Para intelektual jenis tersebut hanya bertujuan mengakumulasi kapital dan meningkatkan level sosial. Namun masih ada harapan munculnya intelektual-intelektual sejati yang tidak hanya akan sekedar menjadi pelengkap pembangunan.

Kita tidak bisa tergesa-gesa menilai pendidikan Indonesia saat ini. Terburu-buru menjustifikasi apakah pendidikan kita market oriented atau knowledge oriented. Pilihan itu terletak pada masing-masing orang untuk menentukan apakah dia akan melawan sistem, atau melakukan merekayasa atau mengambil celah masuk di antara keduanya. Seseorang harus realistis mengingat faktor pengalaman di lapangan dan mental yang terasah jauh lebih bermanfaat dibanding bacaan buku yang berjibun.

Singkat kata, kita tak bisa ‘gebyah uyah’, memukul rata seperti membaca statistik dengan mengatakan bahwa pendidikan kita hanya mencetak subjek pekerja semata. Apalagi jika kritik ini menyasar pemerintahan Jokowi-JK yang baru berumur 100 hari.

Kedua, secara nasional dominannya pemberitaan mengenai dinamika politik membuat konsentrasi media tersita oleh wacana politik. Terlalu banyaknya permainan politik berdampak pada pendidikan kita secara nasional. Pendidikan kita juga tidak diharuskan mencetak satu jenis manusia semata. Ada banyak hal yang rumit dan membutuhkan proses. Hal ini memiliki dinamikanya sendiri sehingga proses perubahan sosial terjadi seperti adanya etika diskursus, dialog, dialektika, percakapan antar agen sosial dan pemerintah.[7]

Ketiga, Regit mungkin perlu mengeksplorasi lebih tentang konsep kerja. Sebab kerja itu sendiri sangat ditentukan oleh rasio dominan yang digunakan. Apakah rasio-instrumental ataukah rasio teknis atau kritis?[8] Eksplorasi ini perlu diperhatikan karena Regit perlu menyadari bahwa tidak semua orang akan disuruh menjadi aktivis. Tidak semua warga Indonesia mau atau harus bisa berpikir kritis, reflektif dan mengharapkan perubahan sosial yang signifikan.

Sejak masa Marx, Weber dan Habermas, konsep mengenai kerja telah didiskusikan. Tentang bagaimana konsep kerja di lingkungan sistemik dan juga lingkungan dunia keseharian (lebenswelt). Hasilnya, kerja teknis-analitis, praktis, dan kritis. Ketiganya eksis di lingkungan keseharian kita. Jadi masalahnya bukan pada program pemerintahnya saja, tetapi pada rasio (akal) yang akan digunakan peserta didik untuk kepentingan dan kemauannya dalam hidup keseharian. Misalnya subjek pekerja di perusahaan, pegawai negeri sipil saja atau aktivis sosial, masing-masing dengan pengetahuan dan konsekuensinya.

Belum lagi ditambah dengan kenyataan komunitas ASEAN di mana Indonesia adalah bagian di dalamnya. Kita tidak dapat mundur atau lari dari kenyataan yang sudah di depan mata. Sudah saatnya, kita merumuskan bagaimana pendidikan kita menghadapinya ketimbang saling menyalahkan. Di masa Jokowi-JK, kita perlu berpikir bagaimana pendidikan dapat menggerakkan basis sosial dan kultural dan tidak hanya ekonomi. Misalnya, tentang bagaimana wajah konsep maritim dalam dunia pendidikan.

Tulisan Regit SA, dapat dipahami sebagai bentuk keresahan mengenai problem kapitalisme global yang menggurita dan semakin mutakhir. Hal ini memang menjadi perhatian khusus bagi pembangunan pendidikan di sektor nasional dan di tingkat lokal agar kearifan budaya, moralitas sosial dan agama kita tetap terjaga dari modernitas yang merusak[9].

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela Jokowi-JK. Rezim ini masih berumur terlalu muda. Juga bukan pembelaan terhadap konsep negara. Catatan ini justru ingin mengundang kita untuk berpikir bagaimana strategi pendidikan yang tepat di lingkungan kita masing-masing agar dapat menghadapi serbuan modernitas/globalisasi. Kita tidak bisa hanya menyandarkan pendidikan kepada pemerintah semata. Berbagai institusi sosial juga dapat melakukan perubahan. Dapat mengambil peran masing-masing sebagai aktor aktif. Melayangkan kritik adalah sebuah kewajiban. Namun ia tidak bisa dilakukan tanpa pertimbangan mengenai multi aspek dan kompleksitas permasalahan. Kritik seharusnya tidak dilakukan secara serampangan dan dengan pemikiran yang tertutup.

Tulisan Regit cukup penting sebagai pemantik eksplorasi lebih mendalam tentang pendidikan kita. Tentang bagaimana wajah pendidikan di masa depan ketika berhadapan dengan globalisasi dan neoliberalisme. Bagaimana seharusnya pendidikan kita bersikap menyambut masyarakat ekonomi ASEAN dan tetap melahirkan figur-figur inspiratif yang dapat melakukan perubahan.


Pustaka
[1] Regit AS, (2015) “Kemerosotan Intelektual Mahasiswa, Praktik Pendisiplinan Manusia dan Produksi Pengetahuan Secara Otonom. IndoProgress http://indoprogress.com/2015/01/kemerosotan-intelektual-mahasiswa-praktek-pendisiplinan-manusia-dan-produksi-pengetahuan-secara-otonom/
[2] Sasson Sofer, (2009) “The Prominence of Historical Demarcations: Westphalia and the New World Order”, Diplomacy & Statecraft, Vol. 20, hlm. 1-19.
[3] Michael Hardt and Antonio Negri, (2000), Empire. Harvard University Press
[4] Begoña Aretxaga (2003), “Maddening States” in Annual Review of Anthropology, Vol. 32. pp. 393-410.
[5] Philip Abrams (1988), “Notes on Difficulty of Studying the State” in Journal of Historical Sociology, Vol. 1. Issue 1. pp. 58-89
[6] Knut G. Nustad and Christian Krohn-Hansen (2005), State Formation: Anthropological Perspectives, London: Pluto Press
[7] Philip A. Woods (2003), “Building on Weber to Understand Governance: Exploring the Links between Identity, Democracy and `Inner Distance'”, Sociology, Vol. 37, No.1. pp. 143-63
[8] Darrow Schecter (2010), Critique of Instrumental Reason from Weber to Habermas, London: Continuum International Publishing

[9] Fernad Braudel (1982), Civilization and Capitalism: 15.-18 Century, USA: Harper and Row

Tidak ada komentar:

Posting Komentar