Keseimbangan
DPR-Presiden
Jazuli Juwaini ; Ketua
Fraksi PKS DPR
|
REPUBLIKA,
02 Februari 2015
Seusai perhelatan Pemilu 2014, diharapkan lahir sistem dan
kepemimpinan lembaga negara yang efektif dan kuat berorientasi maju
(progresif) bagi kebaikan negara serta kesejahteraan rakyat. Sebanyak 260
juta rakyat Indonesia menunggu realisasi janji—baik yang terucap semasa
kampanye maupun yang terekam dalam benak harap rakyat selama 15 tahun
pascareformasi.
Jika kita tengok sejarah reformasi yang terlembaga melalui
amendemen konstitusi, salah satu yang menjadi titik pangkal perbaikan adalah
koreksi dan penyempurnaan sistem ketatanegaraan yang dijabarkan dalam
serangkaian revisi paket undang-undang politik. Di antara penyempurnaan dalam
arah sistem ketatanegaraan yang disepakati kolektif saat proses amendemen
dalam kurun 1999-2002 adalah, pertama, penegasan sistem presidensial. Kedua,
penguatan parlemen. Ketiga, memperjelas pembagian kekuasaan dan sistem check and balances antarlembaga
negara.
Sistem presidensial disepakati oleh perumusan amendemen
UUD 1945 sebagai konsepsi yang secara aklamasi ditetapkan di awal pembahasan
amendemen sebagai yang tidak akan diubah—selain Pembukaan UUD 1945 dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini bermakna bahwa sistem presidensial
merupakan sistem yang cocok bagi Indonesia sekaligus membawa konsekuensi
siapa pun Presiden RI kedudukannya sangat kuat di mata konstitusi.
Siapa pun presiden republik ini tidak boleh berkecil hati
apalagi takut atau ragu melaksanakan pemerintahan negara, sepanjang berjalan
di atas rel konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku sebagai
konsekuensi kita menganut negara hukum (rechstaat).
Secara bersamaan, konstitusi hasil amendemen juga memperkuat parlemen dengan
mereposisi kedudukan DPR dan melahirkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Semua sudah mafhum, selama Orde Baru, DPR sebagai lembaga
legislatif dikesankan subordinat eksekutif, bahkan seolah sekadar “tukang
stempel” kebijakan eksekutif (presiden). Pelemahan DPR secara sistematis
melalui instrumen kekuasaan yang otoriter. Inilah yang dikoreksi melalui
amendemen konstitusi: DPR diperkuat peran dan kedudukannya dalam menjalankan
fungsinya.
Dalam fungsi legislasi, DPR memegang kekuasaan membentuk
UU di mana kekuasan ini sebelumnya ada di tangan presiden. Dalam fungsi
anggaran, DPR ikut membahas dan menyetujui RAPBN. Dalam fungsi pengawasan,
DPR berwenang mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam melaksanakan
konstitusi dan UU. Sedangkan, DPD yang dibentuk sebagai perwakilan daerah
merupakan kamar kedua parlemen dalam corak soft bicameralism yang secara
khusus memainkan peran sebagai jembatan bagi kepentingan daerah.
Peran dan kedudukan DPD kekinian dirasakan semakin kuat
dan relevan dalam sejumlah agenda nasional, terutama yang terkait langsung
dengan kepentingan daerah. Penguatan parlemen di atas memberikan pesan bahwa
konstitusi menginginkan satu sistem pemerintahan negara yang kuat. Bukan
hanya eksekutif/presiden yang tampil dominan—seperti langgam di masa Orde
Baru—tetapi penguatan itu merata pada semua cabang kekuasaan/lembaga negara
lainnya. Bukan dalam langgam yang saling mendominasi, tapi berjalan
proporsional sesuai kewenangannya.
Sejalan dengan semangat di atas, amendemen UUD memperjelas
skema pembagian kekuasaan dan sistem check and balances antarlembaga negara.
Checks merujuk pada suatu keadaan saling kontrol antarcabang kekuasaan
negara. Balances merujuk pada keseimbangan kekuasaan agar salah satu cabang
kekuasaan negara tidak menjadi terlalu kuat sehingga tidak terjadi tirani.
Konstitusi meletakkan kewenangan masing-masing lembaga
negara secara proporsional, tidak ada lembaga negara yang lebih tinggi dari
lainnya. MPR yang sebelumnya lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan
rakyat kini menjadi sejajar dengan lembaga lainnya. Lembaga negara lainnya
juga tidak ada yang dominan. DPR, misalnya, dalam kedudukannya saat ini tidak
bisa serta-merta dapat menjatuhkan presiden, bahkan dalam hal terjadi
pelanggaran konstitusi sekalipun.
Dengan konstruksi ketatanegaraan demikian, konstitusi
menghendaki relasi yang saling mengontrol dan mengimbangi (check and balances). Bukan ego dan
dominasi kewenangan masing-masing lembaga yang ditonjolkan, tapi penghargaan
pada relasi yang saling check dan
saling balances. Karena itu, setiap
lembaga negara harus menghargai konsepsi ini dalam praktik hubungan
antarlembaga. Tidak boleh ada lembaga negara yang memberi sinyal menafikan
adanya check and balances karena akan mengganggu upaya membangun sistem
ketatanegaraan yang kuat sebagaimana digariskan konstitusi.
Relevan dengan bahasan di atas, hubungan antara presiden
dan DPR sempat memanas, meski tak bisa dimungkiri itu terjadi akibat ekses
polarisasi koalisi pemilu presiden yang sangat diametral sebelumnya.
Sejumlah kebijakan strategis pemerintah nyaris tanpa
konsultasi dan pengawasan DPR, sejak soal pembentukan kabinet baru
(nomenklatur baru kementerian), pengadaan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan
Kartu Indonesia Pintar (KIP), penghentian Kurikulum 2013, kenaikan harga BBM,
penghapusan subsidi Premium, kenaikan harga gas elpiji, kenaikan tarif dasar
listrik, dan berbagai kebijakan strategis berdampak luas bagi rakyat lainnya.
Hal ini diperparah dengan keluarnya beleid larangan menteri dan jajaran
direksi BUMN hadir memenuhi undangan DPR meski kemudian diralat/dicabut. Ada
alasan yang dikemukakan pemerintah utamanya terkait persoalan internal DPR
yang dinilai belum kondusif, selain alasan tertentu yang lebih bernuansa
politis.
Apatah yang lalu telah terjadi, kebijakan telah
diambil/berjalan, dan biarkan berproses sesuai dinamika ketatanegaraan. Ke
depan, masing-masing lembaga harus kembali menempatkan diri dalam relasi yang
seimbang dan proporsional sebagaimana amanat konstitusi dan peraturan
perundang-undangan. Konstitusi secara jelas dan tegas menghendaki berlakunya
sistem check and balances, bukan
relasi yang saling mendominasi dan menjatuhkan. Hal itu hanya bisa terwujud
jika ada saling pemahaman, penghargaan, dan penghormatan terhadap kedudukan
dan kewenangan konstitusional masing-masing.
Desain konstitusional DPR jelas, yakni membentuk UU,
menyetujui hal ihwal penganggaran negara, serta mengawasi jalannya
pemerintahan negara. Desain konstitusional presiden juga jelas melaksanakan
pemerintahan negara berdasarkan UU yang dibentuk bersama DPR. Desain
konstitusional ini menyiratkan relasi yang kuat dan erat antara DPR dan
presiden dan sistem ketatanegaraan. Di dalamnya termuat berbagai dimensi good
governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pesan pentingnya adalah tidak (boleh) ada satu pun
kebijakan strategis negara, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, yang
luput dari pembahasan (konsultasi dan/atau persetujuan) bersama presiden dan
DPR. Selanjutnya, DPR wajib mengawasi kebijakan itu sesuai kewenangan
konstitusionalnya. Inilah esensi check
and balances dalam relasi konstitusional DPR dan presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar