Selasa, 03 Februari 2015

Keseimbangan DPR-Presiden

Keseimbangan DPR-Presiden

Jazuli Juwaini  ;  Ketua Fraksi PKS DPR
REPUBLIKA, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Seusai perhelatan Pemilu 2014, diharapkan lahir sistem dan kepemimpinan lembaga negara yang efektif dan kuat berorientasi maju (progresif) bagi kebaikan negara serta kesejahteraan rakyat. Sebanyak 260 juta rakyat Indonesia menunggu realisasi janji—baik yang terucap semasa kampanye maupun yang terekam dalam benak harap rakyat selama 15 tahun pascareformasi.

Jika kita tengok sejarah reformasi yang terlembaga melalui amendemen konstitusi, salah satu yang menjadi titik pangkal perbaikan adalah koreksi dan penyempurnaan sistem ketatanegaraan yang dijabarkan dalam serangkaian revisi paket undang-undang politik. Di antara penyempurnaan dalam arah sistem ketatanegaraan yang disepakati kolektif saat proses amendemen dalam kurun 1999-2002 adalah, pertama, penegasan sistem presidensial. Kedua, penguatan parlemen. Ketiga, memperjelas pembagian kekuasaan dan sistem check and balances antarlembaga negara.

Sistem presidensial disepakati oleh perumusan amendemen UUD 1945 sebagai konsepsi yang secara aklamasi ditetapkan di awal pembahasan amendemen sebagai yang tidak akan diubah—selain Pembukaan UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini bermakna bahwa sistem presidensial merupakan sistem yang cocok bagi Indonesia sekaligus membawa konsekuensi siapa pun Presiden RI kedudukannya sangat kuat di mata konstitusi.

Siapa pun presiden republik ini tidak boleh berkecil hati apalagi takut atau ragu melaksanakan pemerintahan negara, sepanjang berjalan di atas rel konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku sebagai konsekuensi kita menganut negara hukum (rechstaat). Secara bersamaan, konstitusi hasil amendemen juga memperkuat parlemen dengan mereposisi kedudukan DPR dan melahirkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Semua sudah mafhum, selama Orde Baru, DPR sebagai lembaga legislatif dikesankan subordinat eksekutif, bahkan seolah sekadar “tukang stempel” kebijakan eksekutif (presiden). Pelemahan DPR secara sistematis melalui instrumen kekuasaan yang otoriter. Inilah yang dikoreksi melalui amendemen konstitusi: DPR diperkuat peran dan kedudukannya dalam menjalankan fungsinya.

Dalam fungsi legislasi, DPR memegang kekuasaan membentuk UU di mana kekuasan ini sebelumnya ada di tangan presiden. Dalam fungsi anggaran, DPR ikut membahas dan menyetujui RAPBN. Dalam fungsi pengawasan, DPR berwenang mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam melaksanakan konstitusi dan UU. Sedangkan, DPD yang dibentuk sebagai perwakilan daerah merupakan kamar kedua parlemen dalam corak soft bicameralism yang secara khusus memainkan peran sebagai jembatan bagi kepentingan daerah.

Peran dan kedudukan DPD kekinian dirasakan semakin kuat dan relevan dalam sejumlah agenda nasional, terutama yang terkait langsung dengan kepentingan daerah. Penguatan parlemen di atas memberikan pesan bahwa konstitusi menginginkan satu sistem pemerintahan negara yang kuat. Bukan hanya eksekutif/presiden yang tampil dominan—seperti langgam di masa Orde Baru—tetapi penguatan itu merata pada semua cabang kekuasaan/lembaga negara lainnya. Bukan dalam langgam yang saling mendominasi, tapi berjalan proporsional sesuai kewenangannya.

Sejalan dengan semangat di atas, amendemen UUD memperjelas skema pembagian kekuasaan dan sistem check and balances antarlembaga negara. Checks merujuk pada suatu keadaan saling kontrol antarcabang kekuasaan negara. Balances merujuk pada keseimbangan kekuasaan agar salah satu cabang kekuasaan negara tidak menjadi terlalu kuat sehingga tidak terjadi tirani.

Konstitusi meletakkan kewenangan masing-masing lembaga negara secara proporsional, tidak ada lembaga negara yang lebih tinggi dari lainnya. MPR yang sebelumnya lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat kini menjadi sejajar dengan lembaga lainnya. Lembaga negara lainnya juga tidak ada yang dominan. DPR, misalnya, dalam kedudukannya saat ini tidak bisa serta-merta dapat menjatuhkan presiden, bahkan dalam hal terjadi pelanggaran konstitusi sekalipun.

Dengan konstruksi ketatanegaraan demikian, konstitusi menghendaki relasi yang saling mengontrol dan mengimbangi (check and balances). Bukan ego dan dominasi kewenangan masing-masing lembaga yang ditonjolkan, tapi penghargaan pada relasi yang saling check dan saling balances. Karena itu, setiap lembaga negara harus menghargai konsepsi ini dalam praktik hubungan antarlembaga. Tidak boleh ada lembaga negara yang memberi sinyal menafikan adanya check and balances karena akan mengganggu upaya membangun sistem ketatanegaraan yang kuat sebagaimana digariskan konstitusi.  

Relevan dengan bahasan di atas, hubungan antara presiden dan DPR sempat memanas, meski tak bisa dimungkiri itu terjadi akibat ekses polarisasi koalisi pemilu presiden yang sangat diametral sebelumnya.

Sejumlah kebijakan strategis pemerintah nyaris tanpa konsultasi dan pengawasan DPR, sejak soal pembentukan kabinet baru (nomenklatur baru kementerian), pengadaan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), penghentian Kurikulum 2013, kenaikan harga BBM, penghapusan subsidi Premium, kenaikan harga gas elpiji, kenaikan tarif dasar listrik, dan berbagai kebijakan strategis berdampak luas bagi rakyat lainnya. Hal ini diperparah dengan keluarnya beleid larangan menteri dan jajaran direksi BUMN hadir memenuhi undangan DPR meski kemudian diralat/dicabut. Ada alasan yang dikemukakan pemerintah utamanya terkait persoalan internal DPR yang dinilai belum kondusif, selain alasan tertentu yang lebih bernuansa politis.

Apatah yang lalu telah terjadi, kebijakan telah diambil/berjalan, dan biarkan berproses sesuai dinamika ketatanegaraan. Ke depan, masing-masing lembaga harus kembali menempatkan diri dalam relasi yang seimbang dan proporsional sebagaimana amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Konstitusi secara jelas dan tegas menghendaki berlakunya sistem check and balances, bukan relasi yang saling mendominasi dan menjatuhkan. Hal itu hanya bisa terwujud jika ada saling pemahaman, penghargaan, dan penghormatan terhadap kedudukan dan kewenangan konstitusional masing-masing.

Desain konstitusional DPR jelas, yakni membentuk UU, menyetujui hal ihwal penganggaran negara, serta mengawasi jalannya pemerintahan negara. Desain konstitusional presiden juga jelas melaksanakan pemerintahan negara berdasarkan UU yang dibentuk bersama DPR. Desain konstitusional ini menyiratkan relasi yang kuat dan erat antara DPR dan presiden dan sistem ketatanegaraan. Di dalamnya termuat berbagai dimensi good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Pesan pentingnya adalah tidak (boleh) ada satu pun kebijakan strategis negara, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, yang luput dari pembahasan (konsultasi dan/atau persetujuan) bersama presiden dan DPR. Selanjutnya, DPR wajib mengawasi kebijakan itu sesuai kewenangan konstitusionalnya. Inilah esensi check and balances dalam relasi konstitusional DPR dan presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar