Sabtu, 14 Februari 2015

Setahun UU Desa

Setahun UU Desa

Robert Endi Jaweng   ;   Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
KOMPAS, 14 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Setahun silam, Januari 2014, Presiden Yudhoyono yang saat itu masih dalam jabatan mengesahkan UU No 6/2014 tentang Desa. Segala polemik dan aksi massa yang kerap memanasi proses pembahasan di parlemen sekejap sirna. Beleid baru itu dinilai meletakkan dasar-dasar perubahan bagi terwujudnya desa mandiri, sejahtera, demokratis.

Tak terelakkan, lahir bertepatan dengan momentum ”tahun politik” membuat UU ini menjadi komoditas bernilai jual tinggi di tangan para elite, calon anggota legislatif dan calon presiden di berbagai panggung kampanye. Desa jadi rebutan, klaim berjasa melahirkan UU tak malu-malu diumbar. Celakanya, rebutan itu tak lantas reda seiring dengan kelarnya pemilu. Desa terus dikapitalisasi sebagai arena menanam pengaruh jangka panjang. Sesudah pemerintahan baru tersusun, antar-menteri/kementerian dan partai di belakangnya aktif bermanuver merebut ceruk untuk ikut terlibat mengurus desa.

Kental kepentingan politik

Pada saat bersamaan, kerja-kerja persiapan implementasi tak bergerak dalam kekuatan penuh. Sebagian memang tersedia tepat waktu, seperti PP No 43/2014 (Peraturan Pelaksana UU Desa) dan PP No 60/2014 (Dana Desa yang Bersumber dari APBN). Namun, sebagian kebutuhan utama lainnya, terutama kerangka besar berupa peta jalan, regulasi turunan, instrumentasi kebijakan, serta persiapan operasional, belum sepenuhnya siap memulai fase pelaksanaan yang optimal. Setahun kurun transisi, jargon ”revolusi desa” lebih banyak menjadi riuh dalam berita dan wacana politik, tetapi sering senyap dalam aksi nyata di lapangan.

Pertama, sulit dinafikan, pergantian pemerintahan/kepemimpinan nasional memengaruhi teknis peralihan dan lanjutan persiapan. Namun, mestinya masa penyesuaian bagi pemerintahan baru tak memerlukan waktu lama lantaran birokrasi yang menjadi tulang punggung kerja tetap sama. Lebih utama lagi, toh pemerintahan Joko Widodo tak datang dengan program yang berpunggungan dari rezim sebelumnya. Ia bahkan menampakkan aksentuasi lebih tegas: ”membangun Indonesia dari pinggir dengan memperkuat daerah dan desa” sebagai prioritas dalam Nawa Cita.

Tantangan persis terletak pada terjemahannya. Tanpa kapasitas manajemen politik kuat dalam mengelola semangat perubahan, desa lebih banyak dihitung sesuai kepentingan politik partai dan politik birokrasi. Alotnya ”rebutan desa” antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi belum lama ini adalah hasil perpaduan kehendak membangun kaki politik partai dan jangkauan tangan birokrasi hingga basis desa yang jadi justifikasi penetrasi program.

Di sini konsistensi Presiden diuji: mempertahankan prinsip pengelolaan desa secara sistematik-integratif (sejalan semangat UU No 6/2014) atau berkompromi dalam jebakan formula ”berbagi kerja” yang jelas-jelas fragmentatif. Perpres No 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri serta Perpres No 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan pilihan jawaban Presiden atas ujian itu: sesaat mereda polemik, tetapi mempertaruhkan efektivitas tata kelola kebijakan dan implementasi dalam jangka panjang.

Kedua, logika uang (dana desa/DD) bisa membuat elemen-elemen lain hanya sebagai faktor pendukung. Bahkan, dalam hal kecil terkait waktu, banyak pihak menarik April 2015 sebagai garis awal implementasi UU Desa lantaran saat itu DD dikucurkan pertama kali. Orientasi uang semacam ini, selain berbahaya lantaran rentan jadi incaran kepentingan politik dan perburuan rente, juga membawa implikasi teknokratik yang rumit. Terlebih jika melihat rencana pertambahan DD yang fantastis lima tahun ke depan: sekitar Rp 19 triliun (RAPBN-P 2015), Rp 44 triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6 triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019).

Tanpa dana cukup, perwujudan ”desa mandiri, sejahtera, dan demokratis” memang bisa terancam kandas. Namun, dalam kerangka ”desa membangun” dan ”membangun desa” yang telah jadi pilihan teori perubahan dalam UU ini, uang tak boleh lepas dari prinsip rekognisi negara dan keberdayaan warga dalam pembangunan. Kita tentu wajib cemas dengan kesiapan minimal berkenaan kapasitas tata kelola dan sistem pengawasan yang mengancam uang terkelola secara akuntabel dan efektif, tetapi jauh lebih cemas lagi kalau demi mencapai target tersebut menjauhkan rakyat dari ruang pembelajaran dan pemberdayaan sebagai subyek ”desa membangun”. Jebakan uang berpotensi menggiring agenda perubahan ke pilihan rute jalan pintas proyek ”membangun desa” dalam alur top-down, birokratik dan anti deliberasi dari entitas supradesa ataupun pemerintahan desa itu sendiri. Setahun ini, rakyat nyaris hilang dalam euforia politik dan teknokrasi desa versi elite dan pekerja pembangunan.

Ketiga, sikap pasif bahkan resistensi pemda (kabupaten/kota) turut jadi faktor negatif signifikan dalam fase persiapan. Terhitung 11 bulan pertama lahirnya UU Desa, banyak pemda menunjukkan penolakan dengan cara tidak mengambil inisiatif bermakna. Perubahan sikap baru tampak sebulan belakangan ketika skema ”kesatuan administratif pemerintahan” diadopsi dalam Perpres No 11/2014 sehingga kabupaten/kota yang tadinya ditakutkan jadi the missing-link dalam susunan pemerintahan dan konstruksi perwilayahan kini kembali rekat. Puluhan tahun desa jadi alas kaki kekuasaan dan subordinat administrasi pemda, perubahan struktural yang diusung UU No 6/2014 membuat sebagian penguasa lokal tersebut seolah gegar budaya.

Tidak heran, hingga hari ini kita jarang mendengar persiapan mereka berkenaan alokasi dana desa (ADD) dan bagi hasil pajak/retribusi daerah (PDRD) dalam APBD. Padahal, nominal ADD agregat nasional sesungguhnya jauh lebih besar daripada DD: 2015 ini diperkirakan berjumlah Rp 33,4 triliun plus PDRD Rp 2,1 triliun. Lebih jauh, beralasan tak ada regulasi/petunjuk pusat, pemda tak tampak serius menyosialisasi/mentransfer pengetahuan soal kebijakan baru tersebut, apalagi memfasilitasi program penguatan kapasitas aparat desa dalam kerangka tata kelola pemerintahan modern (anggaran, administrasi, dll), padahal desa (apalagi desa adat) sebagai street level bureaucracy yang selama ini memang kurang familiar.

Catatan akhir

Jargon revolusi desa terbilang jauh lebih kompleks dibandingkan kebijakan otonomi daerah yang pada masa permulaan butuh masa transisi hampir dua tahun (1999-2001) kini masuk fase pembuktian awal. Kita tahu, secara substansi ataupun kerangka persiapan, yang ada di atas meja hari ini bukanlah capaian terbaik dan optimal sesuai mandat UU No 6/2014.

Dengan pilihan skema ”berbagi kerja” mengurus desa, Presiden perlu lebih asertif memimpin perubahan agar antarkementerian dan antar-rezim kerja (rezim keuangan, rezim sektoral, rezim administrasi) tak lagi justru ”berebut peran”. Simpul koordinasi kebijakan yang berada di Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kemenko Politik, Hukum, dan Keamanan mesti lebih gesit membangun kerja sama lintas instansi/ portofolio terkait, menghindari blunder. Paket permendagri yang terbit belum lama ini, khususnya permendagri terkait pedoman pembangunan, contoh masih belum jelasnya terjemahan skema ”berbagi kerja” lantaran masuk ke domain urusan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.

Pada akhirnya, semua desain kebijakan dan persiapan implementasi di level nasional dan daerah akan diuji di laboratorium desa itu sendiri. Fokus perhatian lanjut mesti bergeser ke 74.045 desa yang beragam karakter dan tingkat perkembangannya. Sudah setahun ini kita seolah memunggungi desa, bahkan mengeksploitasinya, dan Jakarta sibuk sendiri berebut peran. Kini saatnya haluan diputar drastis dan bekerja dari dalam desa itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar