Rabu, 18 Februari 2015

“Quo Vadis” Kesehatan di Papua

“Quo Vadis” Kesehatan di Papua

Achmad Sujudi  ;  Menteri Kesehatan RI 1999-2004
KOMPAS, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

”Mari kita mendirikan fakultas kedokteran di Papua karena putra-putri Papua itulah yang nantinya akan berbakti di wilayahnya.”

Pernyataan di atas adalah reaksi spontan dan tulus saya sebagai Menteri Kesehatan pada Kabinet Gotong Royong (1999-2004) ketika menjawab pertanyaan sejumlah pihak, khususnya anggota DPRD Papua.

Pertanyaan mereka sederhana: mengapa pemerintah pusat tidak menyetujui adanya fakultas kedokteran (FK) di Papua? Pertanyaan ini muncul berdasarkan pengalaman mereka bahwa para dokter yang datang ke Papua hanya bertugas sebentar, kemudian pergi meninggalkan Papua.

Dalam pandangan saya saat itu, putra-putri Indonesia timur, termasuk Papua, sudah selayaknya dapat kesempatan mengenyam pendidikan kedokteran yang lebih mudah dan terjangkau ketimbang harus menempuh pendidikan di tempat yang jauh, yang mungkin tak terjangkau. Mendengar jawaban saya di hadapan DPRD Papua tersebut di atas, reaksi dari Dewan sangat mengejutkan. Mereka, para anggota Dewan dan sebagian tokoh, hampir tidak memercayainya. Mereka ragu karena selama ini Jakarta hanya berjanji dan bahkan tak menyetujui hal tersebut.

Selang beberapa waktu kemudian, melalui sejumlah lobi dan upaya lainnya, jurusan program pendidikan kedokteran pun dibentuk di Universitas Cenderawasih (Uncen) dengan dibantu oleh sejumlah universitas terdekat, seperti Universitas Hasanuddin dan Universitas Samratulangi, serta Universitas Gadjah Mada. Program ini sepenuhnya dibantu dan didukung oleh Departemen Kesehatan. Walaupun tertatih-tatih, program pendidikan kedokteran ini pun berkembang menjadi FK dan bahkan ada jurusan pendukung, yakni keperawatan.

Kondisi tersebut jadi berubah setidaknya dalam dua tahun terakhir. Liputan Kompas edisi 18Januari 2015 menggugah saya khususnya dan (sebagian besar) mereka yang concern pada pembangunan kesehatan di Indonesia. Pada liputan tersebut, Kompas melaporkan kondisi yang sangat ironis dialami oleh FK Uncen. Baik disebabkan kondisi internal universitas dan fakultas, fasilitas yang minim, tenaga pengajar terbatas, maupun sejumlah penyebab lain, yang pada ujungnya menjadikan niat tulus untuk melahirkan tenaga profesional yang bisa mengabdi pada daerahnya boleh jadi hanya akan menjadi sebuah angan-angan.

Janji Jokowi-JK

Jika merujuk 9 Program Nyata Jokowi-JK yang dijanjikan saat kampanye, pada butir ketujuh (bidang kesehatan) dinyatakan: ”akan memberikan layanan kesehatan gratis rawat inap/rawat jalan dengan Kartu Indonesia Sehat. Membangun 6.000 puskesmas dengan fasilitas rawat inap serta air bersih untuk seluruh rakyat.” Sementara janji pada butir kesembilan: ”mewujudkan pendidikan seluruh warga negara, termasuk anak petani, nelayan, buruh, termasuk difabel dan elemen masyarakat lain melalui Kartu Indonesia Pintar.”

Kampanye Jokowi-JK yang menekankan pada konsep paradigma sehat, yakni mengedepankan promotif dan preventif, perlu diapresiasi. Sebab, konsep ini menjadi lebih efisien dan ekonomis. Contoh sederhana: penyakit malaria, tidak mungkin hanya diobati, tetapi juga dilakukan pencegahan penularannya dengan memusnahkan sarang nyamuk, penggunaan kelambu, dan lain-lain yang sifatnya preventif.

Bandingkan dengan ”paradigma sakit” yang lebih concern pada kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian, upaya kesehatan primer melalui pembangunan puskesmas (bukan rumah sakit) sebanyak-banyaknya yang dijanjikan Jokowi-JK harus diapresiasi. Hanya saja, pertanyaan besarnya, siapa yang akan mengisi dan menjalankan peran puskesmas tersebut, khususnya di wilayah terpencil dan pedalaman.

Pada era Orde Lama ada aturan berupa UU No 8/1961 (sebagai revisi aturan sebelumnya, yakni UU No 8/1951) yang kemudian dikenal dengan wajib kerja sarjana (WKS). Intinya menyatakan penempatan dokter dan dokter gigi diatur oleh pemerintah dengan sanksi penangguhan pemberian surat izin untuk praktik.

Pada era Orde Baru, aturan WKS untuk dokter dan paramedis diperkuat Keputusan Presiden RI No 37/1991 tentang Pengangkatan Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti. Ini dimaksudkan bahwa yang mengikuti WKS telah diangkat sebagai pegawai negeri tidak tetap. Setelah masa bakti berakhir, ia dapat melanjutkan dengan diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Di samping menjelaskan tentang pengembangan karier, keppres ini menjelaskan juga tentang sanksi atas pelanggaran. Anggaran untuk penempatan tenaga WKS dialokasikan melalui dana Inpres. Seperti kita ketahui, pada era Orde Baru ada banyak skema Inpres, termasuk di dalamnya Inpres dokter.

Pada era reformasi terjadi perubahan dalam skema Inpres yang juga berimbas pada Inpres dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Di samping itu, diterapkannya desentralisasi dan sejumlah pemekaran wilayah menyebabkan terjadinya perubahan birokrasi di sejumlah wilayah. Sejumlah kebijakan pun berubah, menyebabkan para sarjana serta dokter dan tenaga kesehatan mempunyai haknya sendiri untuk melakukan pengabdian atau pencarian hidupnya.

Lahirnya UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menjadikan aturan WKS tak berlaku lagi. Maka, otomatis semua sarjana—termasuk sarjana kesehatan, dokter, dan dokter gigi—tidak terikat lagi dengan aturan wajib kerja pada pemerintah. Kalau tidak ada kewajiban dokter bertugas di Papua dan lembaga yang mencetak dokter juga tak dilindungi, lantas bagaimana nasib kesehatan di Papua? Inilah yang menjadi quo vadis. Padahal, kita tahu, kondisi kesehatan Papua dari berbagai sisi berada pada posisi yang sangat memprihatinkan dan harus segera ditangani.

Selamatkan FK Uncen

Tak dapat dimungkiri, kondisi FK Uncen memang jauh dari ideal, khususnya dalam melahirkan profesi dokter yang tugasnya sangat berat. Namun, usulan membubarkan FK Uncen adalah langkah sangat tidak logis. Bagi generasi saya—bahkan sebelumnya—yang menempuh pendidikan kedokteran di sejumlah universitas pada era 1960-an, kondisi, fasilitas, suasana, dan sejumlah variabel lain bisa jadi mirip dengan yang dialami FK Uncen saat ini. Namun, semangat, kemauan, dan political will pemerintah saat itu memberikan semangat pada kami untuk tidak hanya berpangku tangan menghadapi nasib. Semua pemangku kepentingan bekerja keras. Ternyata, hasilnya, alumnus kedokteran era tersebut memberikan peran yang besar terhadap perubahan bangsa ini.

Pemerintahan (pusat) saat ini, pemerintah daerah di Papua, dukungan civil society, lembaga lokal, nasional, dan internasional, serta kontribusi sejumlah perusahaan yang melakukan kegiatan di Papua harus bisa bergandengan tangan menyelamatkan lembaga pendidikan yang akan memberikan kontribusi bagi pembangunan (kesehatan) di Papua dan Indonesia timur khususnya serta pada Indonesia pada umumnya.

Saya yakin, semua elemen, mulai dari FK di wilayah lain di luar Papua, institusi kesehatan, hingga lembaga profesi dan asosiasi akan dengan senang hati terlibat memberikan kontribusi terhadap niat penyelamatan pada FK Uncen. Jika semua tak lagi peduli dengan problem ini, sungguh sebuah ironi besar bagi bangsa ini di tengah wacana tentang globalisasi, emansipasi, hak asasi, dan wacana lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar