Kasih
Ibu Sepanjang Masa…
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
17 Februari 2015
Sisa penggalan adagium di atas adalah …”kasih anak sepanjang hasta”. Fenomena
kasih adalah agregat dari perasaan amanah, ikhlas, adil, bijaksana, dan
selalu membahagiakan yang dicintai. Dalam kupasan Gerasimos Santas, Teori
Cinta Plato dan Freud (terjemahan Dr Konrad Kebung SVD, 2002), ia mengutip
Empedocles bahwa kasih (cinta) dengan sebutan agape atau philia
adalah daya kosmik yang mempersatukan yang berlawanan.
Seorang ibu agar anak-anaknya bahagia rela berkorban
melakukan apa saja disertai doa, mati raga (tirakat), serta menyangkal diri
terhadap hasrat dan kenikmatan pribadi (self-denial)
seumur hidup. Sebaliknya, kasih anak sangat pendek, hanya sepanjang lengan.
Bahkan, anak dapat tega berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana dalam kisah
Malin Kundang.
Metafora, rangkaian ungkapan analogis di atas, daya
getarnya merembet ke sanubari Megawati saat menetapkan Joko Widodo sebagai
calon presiden PDI-P 2014. Keputusan tersebut merupakan peristiwa fenomenal
yang akan dipahat dalam sejarah politik Indonesia. Keputusan bukan tanpa
risiko mengingat Jokowi ”bukan siapa-siapa”, bukan pengurus partai, apalagi
lingkaran dalam Megawati. Pilihannya mengundang polemik, kontroversi, dan
kerisauan di internal PDI-P. Gejolak internal tersebut dapat dipahami
mengingat banyak kader PDI-P yang merasa telah berjasa dan berkorban
”berdarah-darah” selama 10 tahun sebagai partai ”oposisi” menganggap
diperlakukan kurang adil oleh ketua umumnya.
Namun, Megawati tetap kukuh terhadap pilihan politiknya.
Ia memilih Jokowi sebagai capres 2014 untuk kepentingan yang lebih besar dan
dilandasi sikap mulia. Ia ingin PDI-P mempunyai peran sentral dalam
mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Maka, PDI-P harus menjadi
pemenang Pemilu Legislatif 2014. Ambisi politik Megawati nyambung dengan
berbagai hasil survei yang dilakukan, antara lain oleh harian Kompas, Lembaga
Survei Indonesia (LSI), Populi Center, Cyrus, dan CSIS. Studi lapangan secara
meyakinkan menunjukkan kecenderungan, apabila pencalonan Jokowi sebagai
presiden 2014 dilakukan sebelum Pemilu Legislatif 2014, akan berimbas positif
terhadap perolehan PDI-P dalam Pemilu Legislatif 2014. Secara implisit,
Megawati, karena limpahan kasihnya, menginginkan banyak kader PDI-P
(anak-anaknya) mendapatkan posisi politik yang menentukan dalam pemerintahan
2014-2019.
Namun, karena kasih anak hanya sepanjang hasta, tidak
sedikit para kadernya belum ikhlas menerima keputusan Megawati yang amat
mulia itu. Terlebih, sebagai ibu yang baik, getaran kasih Megawati dirasakan
oleh anak-anaknya sehingga setiap kadernya merasa sama dekatnya, dan
bersamaan dengan itu, mereka merasa pula paling disayang. Akibatnya, muncul
rasa iri, diperlakukan kurang adil, dan sebagainya. Tidak sedikit kader PDI-P
menganggap lingkaran dalam Istana justru bukan kader PDI-P, melainkan orang
luar yang dianggap membatasi akses mereka kepada Jokowi.
Dinamika politik beberapa minggu terakhir ini menunjukkan
suhu politik merambat semakin memanas. Isu sentralnya diawali dari pencalonan
Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri yang kontroversial.
Temperatur politik semakin memanas setelah KPK menetapkan Budi Gunawan
menjadi tersangka. Pro dan kontra semakin meningkat.
Sederhananya, pihak Istana merasa kurang nyaman dengan
calon Kapolri yang cacat etika dan kepatutan, sementara kubu PDI-P menganggap
pencalonan itu sah menurut hukum, apalagi Komisi III DPR telah menyetujui.
Isu semakin mengkhawatirkan karena sudah memasuki isu ”pertarungan” antara
KPK dan kepolisian. Bahkan, beberapa kader PDI-P melakukan kritik yang sangat
tajam dan langsung terhadap kepemimpinan Jokowi.
Dalam sengkarut politik yang semakin sulit diurai, peran
Megawati sebagai negarawan serta ibu dari kubu Istana dan PDI-P sekaligus
sangat penting. Perilaku sementara kader-kader PDI-P dapat dimengerti, tetapi
jika dibiarkan dapat menjadi bola liar dan akan sangat merugikan PDI-P. Lebih
dari itu, rakyatlah yang paling dirugikan karena politik bukan lagi ranah
yang mulia, melainkan sekadar medan pertarungan hasrat kuasa (lust of power). Mereka harus sadar
bahwa pilihan ibunya (Megawati) terhadap Jokowi adalah pilihan yang
bermartabat. Ia telah ”mewakafkan” salah satu kader terbaiknya untuk menjadi
Presiden Republik Indonesia, dan niat tersebut dapat diwujudkan.
Oleh karena itu, saat negara dilanda kemelut politik dan
ketidakpastian (critical juncture), Megawati tidak bisa lain harus
melanjutkan niat dan tekad mulianya agar Jokowi (bersama Jusuf Kalla) segera
berhasil menyejahterakan rakyat. Agenda tersebut sangat urgen mengingat
sebagian besar rakyat masih bersimbah kepapaan. Megawati seyogianya mendukung
kebijakan Jokowi yang memihak kepada rakyat. Ia telah diberi tugas luhur
mengelola kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Ia bukan lagi sekadar petugas
partai. Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia, pemegang kekuasaan
pemerintahan serta panglima tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara Republik Indonesia. Harus tetap diingat, meskipun Jokowi
menjadi presiden yang lahir dari rahim PDI-P, ia telah menjadi milik seluruh
rakyat Indonesia. Jasa Megawati akan selalu diingat oleh rakyat. Maka, tidak
berlebihan kalau sebagian kalangan masyarakat menganggap Megawati pantas
disebut Ibu Bangsa. Ia berhasil melampaui dirinya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar