Rabu, 18 Februari 2015

Kasih Ibu Sepanjang Masa…

Kasih Ibu Sepanjang Masa…

J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Sisa penggalan adagium di atas adalah …”kasih anak sepanjang hasta”. Fenomena kasih adalah agregat dari perasaan amanah, ikhlas, adil, bijaksana, dan selalu membahagiakan yang dicintai. Dalam kupasan Gerasimos Santas, Teori Cinta Plato dan Freud (terjemahan Dr Konrad Kebung SVD, 2002), ia mengutip Empedocles bahwa kasih (cinta) dengan sebutan agape atau philia adalah daya kosmik yang mempersatukan yang berlawanan.

Seorang ibu agar anak-anaknya bahagia rela berkorban melakukan apa saja disertai doa, mati raga (tirakat), serta menyangkal diri terhadap hasrat dan kenikmatan pribadi (self-denial) seumur hidup. Sebaliknya, kasih anak sangat pendek, hanya sepanjang lengan. Bahkan, anak dapat tega berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana dalam kisah Malin Kundang.

Metafora, rangkaian ungkapan analogis di atas, daya getarnya merembet ke sanubari Megawati saat menetapkan Joko Widodo sebagai calon presiden PDI-P 2014. Keputusan tersebut merupakan peristiwa fenomenal yang akan dipahat dalam sejarah politik Indonesia. Keputusan bukan tanpa risiko mengingat Jokowi ”bukan siapa-siapa”, bukan pengurus partai, apalagi lingkaran dalam Megawati. Pilihannya mengundang polemik, kontroversi, dan kerisauan di internal PDI-P. Gejolak internal tersebut dapat dipahami mengingat banyak kader PDI-P yang merasa telah berjasa dan berkorban ”berdarah-darah” selama 10 tahun sebagai partai ”oposisi” menganggap diperlakukan kurang adil oleh ketua umumnya.

Namun, Megawati tetap kukuh terhadap pilihan politiknya. Ia memilih Jokowi sebagai capres 2014 untuk kepentingan yang lebih besar dan dilandasi sikap mulia. Ia ingin PDI-P mempunyai peran sentral dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Maka, PDI-P harus menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2014. Ambisi politik Megawati nyambung dengan berbagai hasil survei yang dilakukan, antara lain oleh harian Kompas, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Populi Center, Cyrus, dan CSIS. Studi lapangan secara meyakinkan menunjukkan kecenderungan, apabila pencalonan Jokowi sebagai presiden 2014 dilakukan sebelum Pemilu Legislatif 2014, akan berimbas positif terhadap perolehan PDI-P dalam Pemilu Legislatif 2014. Secara implisit, Megawati, karena limpahan kasihnya, menginginkan banyak kader PDI-P (anak-anaknya) mendapatkan posisi politik yang menentukan dalam pemerintahan 2014-2019.

Namun, karena kasih anak hanya sepanjang hasta, tidak sedikit para kadernya belum ikhlas menerima keputusan Megawati yang amat mulia itu. Terlebih, sebagai ibu yang baik, getaran kasih Megawati dirasakan oleh anak-anaknya sehingga setiap kadernya merasa sama dekatnya, dan bersamaan dengan itu, mereka merasa pula paling disayang. Akibatnya, muncul rasa iri, diperlakukan kurang adil, dan sebagainya. Tidak sedikit kader PDI-P menganggap lingkaran dalam Istana justru bukan kader PDI-P, melainkan orang luar yang dianggap membatasi akses mereka kepada Jokowi.

Dinamika politik beberapa minggu terakhir ini menunjukkan suhu politik merambat semakin memanas. Isu sentralnya diawali dari pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri yang kontroversial. Temperatur politik semakin memanas setelah KPK menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka. Pro dan kontra semakin meningkat.

Sederhananya, pihak Istana merasa kurang nyaman dengan calon Kapolri yang cacat etika dan kepatutan, sementara kubu PDI-P menganggap pencalonan itu sah menurut hukum, apalagi Komisi III DPR telah menyetujui. Isu semakin mengkhawatirkan karena sudah memasuki isu ”pertarungan” antara KPK dan kepolisian. Bahkan, beberapa kader PDI-P melakukan kritik yang sangat tajam dan langsung terhadap kepemimpinan Jokowi.

Dalam sengkarut politik yang semakin sulit diurai, peran Megawati sebagai negarawan serta ibu dari kubu Istana dan PDI-P sekaligus sangat penting. Perilaku sementara kader-kader PDI-P dapat dimengerti, tetapi jika dibiarkan dapat menjadi bola liar dan akan sangat merugikan PDI-P. Lebih dari itu, rakyatlah yang paling dirugikan karena politik bukan lagi ranah yang mulia, melainkan sekadar medan pertarungan hasrat kuasa (lust of power). Mereka harus sadar bahwa pilihan ibunya (Megawati) terhadap Jokowi adalah pilihan yang bermartabat. Ia telah ”mewakafkan” salah satu kader terbaiknya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, dan niat tersebut dapat diwujudkan.

Oleh karena itu, saat negara dilanda kemelut politik dan ketidakpastian (critical juncture), Megawati tidak bisa lain harus melanjutkan niat dan tekad mulianya agar Jokowi (bersama Jusuf Kalla) segera berhasil menyejahterakan rakyat. Agenda tersebut sangat urgen mengingat sebagian besar rakyat masih bersimbah kepapaan. Megawati seyogianya mendukung kebijakan Jokowi yang memihak kepada rakyat. Ia telah diberi tugas luhur mengelola kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Ia bukan lagi sekadar petugas partai. Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia, pemegang kekuasaan pemerintahan serta panglima tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Republik Indonesia. Harus tetap diingat, meskipun Jokowi menjadi presiden yang lahir dari rahim PDI-P, ia telah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Jasa Megawati akan selalu diingat oleh rakyat. Maka, tidak berlebihan kalau sebagian kalangan masyarakat menganggap Megawati pantas disebut Ibu Bangsa. Ia berhasil melampaui dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar