Senin, 09 Februari 2015

Psikologi POLITIK

Psikologi POLITIK

Kristi Poerwandari  ;  Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 08 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Banyak dari kita yang gemas, marah, dan cemas mengikuti persoalan politik di negeri ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana memastikan bahwa pemberantasan korupsi, penegakan keadilan melalui hukum, dan keamanan negara kita tetap terjaga?

George Marcus (2002) mengingatkan bahwa politics is as much about ”feeling” as it is about ”thinking”. Situasi politik dapat memunculkan emosi-emosi sangat kuat, entah rasa suka, tidak suka, gembira, marah, muak, keinginan membalas dendam, hingga kecemasan. Oleh para peneliti psikologi ini disebut dengan istilah hot cognitions.

Saya mengobrol dengan sopir taksi yang menyampaikan kekhawatiran bahwa kondisi sekarang dapat berdampak pada situasi keamanan dan mengganggu kelancarannya mencari uang. Kita juga mengamati respons emosi dari berbagai kelompok berbeda. Ada suara yang sebagian menyatakan kekecewaan besar bahkan kemarahan, ada lagi yang mencoba berempati.

David Patrick Houghton menulis buku Political Psychology, Situations, Individuals, and Cases (2009). Ia mengulas berbagai penelitian psikologi politik dengan menggunakan kasus-kasus sepanjang sejarah pemerintahan modern di Amerika Serikat. Menurut dia, emosi berperan penting bukan saja dalam menentukan partisipasi politik masyarakat, melainkan juga dalam pengambilan keputusan politik dari penguasa. Emosi-emosi tertentu, misalnya rasa gembira, sedih, malu, hingga keinginan membalas dendam, dapat memicu bentuk-bentuk pemrosesan informasi secara khusus yang berakhir dengan pengambilan keputusan tertentu.

”Groupthink” dan ”Newgroup Syndrome”

Mengenai pengambilan keputusan politik penguasa, tampaknya perlu sangat berhati-hati. Kita kembali membahas konsep groupthink. Irving Janis (1972, 1982) mengembangkan konsep groupthink, menunjuk pada situasi ketika kelompok mengambil keputusan secara salah karena tekanan dalam kelompok telah sedemikian rupa mengarahkan kelompok pada menurunnya ”efisiensi mental, kemampuan menguji realitas, dan penilaian moral” dari anggota-anggotanya.

Houghton mengatakan, kita perlu berdiskusi mengenai ”yang melampaui groupthink” ketika bicara mengenai pengambilan keputusan dalam kelompok. Konsep yang digunakan adalah the newgroup syndrome. Penggagasnya Eric Stern and Bengt Sundelius. Mereka menjelaskan, pendekatan ini dimaksudkan untuk dapat menelaah dugaan mengenai dinamika terbentuknya konformitas tidak sehat dalam kelompok politik yang baru terbentuk.

Dalam kelompok seperti itu, sub-budaya kelompok dan norma-norma prosedural yang tertata baik belum terbangun. Kekosongan ini menciptakan ketidakjelasan pada anggota sehingga jadi cemas, bingung, tergantung, dan mungkin sangat dipengaruhi oleh pemimpin atau anggota-anggota kelompok yang bergerak agresif.

Menurut Stern dan Sundelius, administrasi pemerintahan baru masuk dalam kekuasaan dengan anggota-anggota kelompok yang baru, menciptakan dinamika baru. Pengambilan keputusan yang disfungsional dapat terjadi karena ada kecenderungan antusiasme besar, dibarengi sikap kurang terbuka dan kurang kritis.

Mereka mengambil beberapa contoh kasus dalam sejarah modern pemerintahan Amerika Serikat, misalnya pemerintahan Kennedy. Pelaku-pelaku utama pemerintahan tidak mengenal satu sama lain dengan baik, dan baru masuk dalam tugas barunya. Sang presiden juga punya pengalaman terbatas sebagai anggota Kongres dan kemudian Senator. Menurut mereka, Kennedy merasa cukup bahwa jika ia mengumpulkan orang-orang berbakat dan hebat, dengan sendirinya berbagai hal baik dapat dikembangkan. Padahal, tidak demikian kenyataannya.

Dalam situasi sekarang, ada beberapa hal yang sangat penting. Pertama, bagaimana presiden dapat memperoleh masukan dari berbagai pihak sebagai bekal ia merenung. Dia kemudian harus mencari situasi tenang untuk dapat menimbang-nimbang dan mendengar perasaannya sendiri, sekaligus mengelola emosi-emosinya untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik. Pada akhirnya, ia harus mengambil keputusan yang mengatasi kepentingan individual dan kelompok-kelompok sempit.

Keputusan presiden akan memengaruhi emosi mayoritas masyarakat umum, yang meski punya kemampuan juga untuk memantau, sesungguhnya jauh dari kemampuan untuk langsung memengaruhi pengambilan keputusan dari kelompok penguasa. Bagaimanapun, mereka tetap akan berperan sangat kuat karena para pendukung sudah dari awal berkata mereka akan terus mengawal, dalam artian, pemerintahannya.

Sementara itu, kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan, yang sekaligus punya kekhawatiran akan dijauhkan dari kekuasaan atau dibongkar perilakunya yang kurang elok, pasti juga punya emosi-emosi, perhitungan-perhitungan, dan gerak-geraknya sendiri.

Jajaran pemerintahan harus juga terus berhati-hati agar seminimal mungkin menampilkan newgroup syndrome. Arogansi harus ditanggalkan. Sikap rendah hati serta kesediaan mendengar dan mau belajar harus sangat diutamakan. Hal-hal dari pemerintahan sebelumnya tentu tidak semua buruk. Banyak juga yang baik yang harus menjadi pembelajaran.

Saya bertanya-tanya apakah di Amerika Serikat, tempat berbagai penelitian psikologi politik dilakukan, banyak juga aspek-aspek informal dan tumpukan-tumpukan kepentingan di belakang layar, dengan situasi yang serunyam seperti di negara kita?

Semoga presiden dan para petinggi kita dijauhkan dari egoisme, ketakutan, dan kepentingan pribadi atau kelompok, dilindungi dari bahaya, dan dituntun bekerja hanya untuk kebaikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar