Selasa, 10 Februari 2015

Pers dan Kemuliaan Indonesia

Pers dan Kemuliaan Indonesia

Bandung Mawardi   ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA, 09 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

MARCO Kartodikromo mengabarkan bahwa kerja kaum jurnalis untuk mengobarkan nasionalisme dan menguatkan kemuliaan Indonesia sering dihajar oleh penguasa. Wartawan mesti bersiap dihukum atau dipenjara. Marco dalam puisi berjudul ”Awas Kaoem Djournalist!” dan dimuat di Islam Bergerak edisi 10 Juni 1918 berseru,  Djournalist haroes bisa berdiri,/ Sendiri djoega jang keras hati./ Dan tidak boleh main komedi/ Goena mentjari enak sendiri.// Koran itoe tooneel oempamanja,/ Toean membatja jang menontonnja,/ Djournalist djadi pemainnja,/ Hoofdredacteur djadi kepalanja.

Wartawan dan koran bergerak demi kepentingan Indonesia. Sejak mula, wartawan bertugas menggerakkan berita untuk ”kemadjoean” dan demokrasi. Tahun demi tahun berlalu. Artikel pendek ”Indonesia Moelia” karangan penulis berinisial DAS, disajikan di koran Api edisi 9 November 1925 bisa menjadi acuan mengenang Indonesia masa lalu.

Teks itu ”Indonesia jang dihiasi dengan pelaboehan-pelaboehan, kota-kota, goedang-goedang, kantor-kantor, gedong-gedong, villa-villa, roemah-roemah, stasion-stasion, nampaklah jang betoel-betoel Indonesia ada negeri jang kaja dan moelia.”

Kita mungkin kagum, mengenang Indonesia negeri tanpa derita dan penjajahan. Artikel itu muncul di surat kabar untuk ”kaoem kromo” alias ”raíjat djelata” di Indonesia. Pemberitaan tentang Indonesia mulia justru ingin mengingatkan bahwa Indonesia sedang menanggung kolonialisme dan ingin bergerak menuju ”kemadjoean”. Penulis artikel sadar tentang kemauan bumiputra harus memuliakan Indonesia, bebas dari dominasi kolonial dan mengukuhkan adab kemodernan.

Indonesia masih dijajah tapi berita dan artikel terus disajikan agar orang-orang tergerak untuk memiliki Indonesia. Surat kabar pun berperan memberi suguhan ide dan imajinasi agar berbiak etos pemuliaan Indonesia. Kerja wartawan dan penulis artikel menabur berita atau cerita mengenai nasionalisme, demokrasi, humanisme, dan adab literasi.

Memori itu pantas kembali disajikan saat kita bergerak dengan cuilan-cuilan peran pers dalam pemuliaan Indonesia, setelah sanggup membebaskan diri dari kolonialisme.  Kita bisa mengingat penjelasan Adinegoro dalam Falsafah Ratu Dunia (1949) mengenai pengaruh pers dalam arus kesejarahan dan perkembangan Indonesia. Adinegoro berkata bahwa ”ratu dunia” itu opini umum, dimunculkan dan digerakkan oleh pers. Keberadaan pers bermisi untuk ”demokrasi, kebudajaan, hak asasi manusia, kedaulatan.”

Pada masa 1950-an, koran dan majalah terbit mengabarkan tema-tema besar: revolusi, demokrasi, korupsi, dan nasionalisme. Kemunculan puluhan partai dan pengaruh para pejabat membuat pers sering ”berjoget” untuk bersuara mengacu fakta atau menebar opini umum demi pamrih picisan. Indonesia telah menjadi negeri bergelimang berita. Agenda pemodernan melenggang dengan kontribusi pers.

Pers menjadi mata untuk melihat pekerjaan presiden, menteri, tentara, polisi, pengusaha, seniman, guru, petani, dan buruh. Sejak 1950-an, pemberitaan korupsi perlahan menguak ketidakberesan kerja birokrasi dan penegakan hukum. Wartawan berkemungkinan memberitakan melalui siasat investigasi.

Penulis tajuk rencana dan jajaran redaksi mesti sanggup memberi argumentasi-argumentasi jika berhadapan dengan tindakan represif dari pemerintah atau pihak-pihak berkepentingan. Peran pers untuk menanggulangi korupsi tentu berkonsekuensi sanksi atau pemberedelan.

Pada masa 1970-an, kemuliaan Indonesia masih dinodai korupsi dan demokrasi ilusif. Rezim Orde Baru tak becus membuktikan janji-janji mengurusi Indonesia secara beradab dan demokratis. Pers tak mau diam. Wartawan tetap tekun memberitakan pelbagai kasus korupsi. Koran dan majalah mesti memperhitungkan risiko pemberitaan dan polemik atas editorial. Kemauan terlibat dalam pemberantasan korupsi dan pemihakan pada pemerintah menimbulkan perpecahan di kalangan pers.

Tema Besar

Rosihan Anwar (1983) mengenang bahwa gerakan dan demonstrasi melawan korupsi oleh mahasiswa dan pelajar meningkat pada masa 1970-an. Pemberitaan di pelbagai koran justru ditanggapi kemarahan oleh Soeharto dan para pejabat. Kita simak tajuk rencana Indonesia Raya edisi 3 Januari 1970, ditulis oleh Mochtar Lubis: ”…tantangan korupsi jang meradjalela dan perbaikan administrasi negara adalah dua tantangan jang harus diatasi setjepat mungkin.”

Korupsi jadi tema besar, memusingkan jutaan orang. Para pejabat bertambah harta, menikmati kehidupan elitis. Jutaan orang memamah lakon buruk tentang pembangkrutan Indonesia oleh pejabat-pejabat mata duitan. Kemuliaan Indonesia cuma ungkapan indah saat mata terpejam dan tubuh berbaring di atas tikar.

Memori-memori itu bersambung dengan situasi Indonesia mutakhir. Ikhtiar memberantas korupsi berhadapan aksi-aksi berdalih kehormatan institusi dan persaingan mendapat pejabat.

Kerja melawan korupsi oleh KPK mendapat serangan tak beradab. Pers turut bersuara lantang melawan korupsi. Seruan kritis ditanggapi arogansi sekian pejabat negara, polisi, anggota DPR, dan elite partai politik. Sekarang, kita mengerti bahwa seruan Marco Kartodikromo sampai Mochtar Lubis memang pantas dianut: pers bekerja melawan arogansi kekuasaan dan korupsi demi kemuliaan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar