Pejabat
“Ngartis”
Tasroh ; Pegawai
Negeri di Pemerintah Kabupaten Banyumas;
Alumnus Ritsumeikan Asia-Pacific University, Jepang
|
TEMPO,
03 Februari 2015
Rancangan UU DPR RI khususnya Pasal 12 ayat 2 tentang
"larangan anggota DPR RI merangkap pekerjaan sebagai artis atau
pekerjaan di luar sebagai politikus" hakikatnya adalah regulasi yang
sudah terlambat. Sudah lama dilarang, melalui berbagai regulasi lain sebelumnya,
termasuk dalam UU No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam Pasal 19 ayat 3 UU ASN tegas disebutkan bahwa semua
penikmat anggaran publik (baik dari sumber APBN, APBD, maupun BUMN/D atau
pihak negara dan pemerintahan lainnya), dilarang bekerja rangkap pekerjaan
dalam waktu bersamaan.
Sayangnya, RUU DPR yang dinilai sebagai upaya memperbaiki
kinerja wakil rakyat tersebut justru banyak ditentang oleh wakil rakyat itu
sendiri. Hal itu terlihat dari hasil riset Poltracking (2015) yang menyebutkan
sebanyak 55 persen wakil rakyat, khususnya wakil rakyat yang berasal dari
kalangan artis/selebritas hiburan, menolak tegas RUU DPR yang melarang
anggota DPR "ngartis" tersebut.
Dari mana pun asal-usul pekerjaan para wakil rakyat
sebelum duduk menjadi wakil rakyat, tak menjadi masalah serius. Yang menjadi
masalah adalah, ketika mereka sudah dipercaya konstituennya/rakyatnya untuk
mewakili mereka di Senayan, sebagian besar wakil rakyat dari kalangan artis
tersebut belum bisa melepas pekerjaannya sebagai artis, sehingga banyak
pekerjaan di Senayan yang "keteter", bahkan jauh dari standar
kinerja wakil rakyat. Sebab, waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian mereka
terbagi-bagi.
Secara regulasi negara, larangan merangkap
jabatan/pekerjaan sebenarnya tidak hanya berlaku bagi "wakil
rakyat", tapi secara prinsip tindakan demikian juga berlaku bagi semua
pejabat publik/negara, baik dari eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan
pejabat-pejabat dalam jabatan/pekerjaan lain yang selama ini hidup dan
bekerja dari sumber anggaran publik di berbagai tingkatan.
Setidaknya ada dua bahaya yang mengancam kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam kasus "pejabat ngartis". Pertama,
merugikan keuangan negara. Kedua, merusak wibawa negara/pemerintah.
Untuk yang terakhir inilah dampaknya yang amat sistemik.
Kita bisa melihat kasus yang menimpa Dahlan Iskan yang waktu itu masih aktif
sebagai Menteri BUMN, tapi juga menerima pekerjaan sebagai "bintang
iklan" sebuah produk obat herbal. Demikian pula kasus perusakan citra
dan wibawa jabatan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat, di mana wakil
gubernurnya, sejak dijabat Dede Jusuf, menjadi bintang iklan obat sakit
kepala, kemudian dilanjutkan oleh wakil gubernurnya lagi, yakni aktor dan
produser Dedy Mizwar, yang menjadi bintang iklan makanan ringan, yang kini
banyak menjadi lecehan publik di jejaring sosial dan media massa.
Karena itu, RUU DPR soal pelarangan ngartis bagi wakil
rakyat, menurut hemat penulis, tak hanya wajib dicantumkan secara
terang-benderang, tapi juga harus didukung publik untuk segera diperjelas,
baik sanksi hukumnya, sanksi sosialnya, bahkan hingga etika dan moralnya. RUU
DPR tersebut harus menegaskan perihal larangan ngartis bagi wakil rakyat dan
pejabat publik lainnya, agar mereka serius bekerja untuk rakyat dan negara.
Jika tak sanggup, mereka harus memilih: mau jadi artis atau pejabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar