Rabu, 04 Februari 2015

Pejabat “Ngartis”

Pejabat “Ngartis”

Tasroh  ;  Pegawai Negeri di Pemerintah Kabupaten Banyumas;
Alumnus Ritsumeikan Asia-Pacific University, Jepang
TEMPO, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Rancangan UU DPR RI khususnya Pasal 12 ayat 2 tentang "larangan anggota DPR RI merangkap pekerjaan sebagai artis atau pekerjaan di luar sebagai politikus" hakikatnya adalah regulasi yang sudah terlambat. Sudah lama dilarang, melalui berbagai regulasi lain sebelumnya, termasuk dalam UU No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam Pasal 19 ayat 3 UU ASN tegas disebutkan bahwa semua penikmat anggaran publik (baik dari sumber APBN, APBD, maupun BUMN/D atau pihak negara dan pemerintahan lainnya), dilarang bekerja rangkap pekerjaan dalam waktu bersamaan.

Sayangnya, RUU DPR yang dinilai sebagai upaya memperbaiki kinerja wakil rakyat tersebut justru banyak ditentang oleh wakil rakyat itu sendiri. Hal itu terlihat dari hasil riset Poltracking (2015) yang menyebutkan sebanyak 55 persen wakil rakyat, khususnya wakil rakyat yang berasal dari kalangan artis/selebritas hiburan, menolak tegas RUU DPR yang melarang anggota DPR "ngartis" tersebut.

Dari mana pun asal-usul pekerjaan para wakil rakyat sebelum duduk menjadi wakil rakyat, tak menjadi masalah serius. Yang menjadi masalah adalah, ketika mereka sudah dipercaya konstituennya/rakyatnya untuk mewakili mereka di Senayan, sebagian besar wakil rakyat dari kalangan artis tersebut belum bisa melepas pekerjaannya sebagai artis, sehingga banyak pekerjaan di Senayan yang "keteter", bahkan jauh dari standar kinerja wakil rakyat. Sebab, waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian mereka terbagi-bagi.

Secara regulasi negara, larangan merangkap jabatan/pekerjaan sebenarnya tidak hanya berlaku bagi "wakil rakyat", tapi secara prinsip tindakan demikian juga berlaku bagi semua pejabat publik/negara, baik dari eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan pejabat-pejabat dalam jabatan/pekerjaan lain yang selama ini hidup dan bekerja dari sumber anggaran publik di berbagai tingkatan.

Setidaknya ada dua bahaya yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kasus "pejabat ngartis". Pertama, merugikan keuangan negara. Kedua, merusak wibawa negara/pemerintah.

Untuk yang terakhir inilah dampaknya yang amat sistemik. Kita bisa melihat kasus yang menimpa Dahlan Iskan yang waktu itu masih aktif sebagai Menteri BUMN, tapi juga menerima pekerjaan sebagai "bintang iklan" sebuah produk obat herbal. Demikian pula kasus perusakan citra dan wibawa jabatan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat, di mana wakil gubernurnya, sejak dijabat Dede Jusuf, menjadi bintang iklan obat sakit kepala, kemudian dilanjutkan oleh wakil gubernurnya lagi, yakni aktor dan produser Dedy Mizwar, yang menjadi bintang iklan makanan ringan, yang kini banyak menjadi lecehan publik di jejaring sosial dan media massa.

Karena itu, RUU DPR soal pelarangan ngartis bagi wakil rakyat, menurut hemat penulis, tak hanya wajib dicantumkan secara terang-benderang, tapi juga harus didukung publik untuk segera diperjelas, baik sanksi hukumnya, sanksi sosialnya, bahkan hingga etika dan moralnya. RUU DPR tersebut harus menegaskan perihal larangan ngartis bagi wakil rakyat dan pejabat publik lainnya, agar mereka serius bekerja untuk rakyat dan negara. Jika tak sanggup, mereka harus memilih: mau jadi artis atau pejabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar