Selasa, 03 Februari 2015

Mengirim Pesan Keliru

Mengirim Pesan Keliru

Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
KOMPAS, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Agaknya tidak salah kalau mengasumsikan, pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara RI baru oleh Presiden Joko Widodo telah mengirim sejumlah pesan keliru kepada masyarakat luas (sending wrong messages to the public), baik di dalam maupun luar negeri. Kehebohan media dan masyarakat menyangkut pencalonan Kapolri yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka korupsi benar-benar menyentak kesadaran.

Mempertahankan pencalonan seorang tersangka sebagai Kapolri, sedangkan komisioner KPK satu demi satu mengalami kriminalisasi yang tidak masuk akal, kian memperkuat ada pesan keliru tersebut.

Lebih jauh, kian lama berlanjutnya saga (serangkaian kejadian yang biasanya negatif) dalam kasus pencalonan Budi Gunawan (BG), kian remuk pula citra Presiden Jokowi. Bukan hanya itu, skeptisisme dan ketidakpercayaan (distrust) di kalangan publik juga terus meningkat. Menguatnya sikap kalangan publik seperti ini jelas sangat merugikan Presiden Jokowi dalam menggalang dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengakselerasikan kembali pembangunan negeri ini.

Pesan keliru utama yang sulit dielakkan dari pencalonan tersebut adalah Presiden Jokowi tidak sepenuhnya pro pemberantasan korupsi. Dengan tidak mencabut pencalonan BG sebagai Kapolri dan menggantinya dengan calon lain, Presiden Jokowi gagal memperbaiki keadaan—damage has been done, kerusakan telah telanjur terlakukan. Pernyataan Presiden Jokowi yang normatif bahwa ia menyerahkan kasus ini kepada penyelesaian secara hukum tidak mampu memulihkan keadaan.

Entah bagaimana cara Presiden Jokowi memulihkan citranya yang terlihat kian merosot. Blusukan yang terus dilakukan terlihat tidak lagi menarik perhatian. Bahkan, mulai terdengar suara-suara yang mempertanyakan penggunaan anggaran dan pemberian bantuan dalam blusukan Presiden.

Satu per satu media mulai meninggalkannya. Presiden Jokowi kian tidak lagi menjadi media darling. Padahal, banyak media sebelumnya merupakan ”corong” Jokowi sejak ia masih menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai masa pencalonannya sebagai Presiden.

Kekecewaan publik yang bermula dari komposisi kabinet yang tidak sesuai harapan karena lebih mengindikasikan ”dagang sapi” dengan parpol-parpol pendukung tampaknya merupakan titik balik popularitas Presiden Jokowi. Presiden dipandang bertanggung jawab atas menteri-menteri yang gagal meyakinkan publik bahwa mereka mampu bekerja baik untuk negeri ini.

Pencalonan BG juga dicurigai banyak kalangan masyarakat sebagai bagian dari bagi-bagi jatah kekuasaan—dalam hal ini untuk PDI-P. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai pihak yang menekan Presiden Jokowi untuk mencalonkan dan mempertahankan pencalonan BG.

Aktivisme tokoh-tokoh PDI-P dalam kriminalisasi komisioner KPK dan saat yang sama membela dan menuntut agar BG segera dilantik Presiden Jokowi seolah mengonfirmasi ada tekanan pimpinan puncak PDI-P terhadap Presiden Jokowi. Sejauh ini, Presiden Jokowi terlihat ”tunduk” pada tekanan tersebut. Masih jadi tanda tanya, apakah Tim Konsultatif Independen yang diketuai Ahmad Syafii Maarif dapat melepaskan Presiden Jokowi dari tekanan PDI-P itu.

Ketundukan Presiden Jokowi pada tekanan PDI-P jelas mengecewakan banyak kalangan. Sejak masa pencalonannya, Jokowi telah jadi sasaran kampanye negatif, bahwa jika kelak terpilih, ia hanya akan jadi ”boneka”. Karena itu, mereka sangat berharap Presiden Jokowi bisa melepaskan diri dari ”bayang-bayang” Megawati Soekarnoputri.

Hasilnya, selama 100 hari pertama pemerintahan Presiden Jokowi adalah terus berakumulasinya kekecewaan masyarakat mulai dari soal kabinet yang tidak menjanjikan, pencalonan BG, hingga ketundukan Presiden Jokowi kepada pimpinan PDI-P. Publik bisa menyaksikan, satu per satu barisan pendukungnya mulai meninggalkannya. Banyak kalangan masyarakat bukan membela Presiden Jokowi, melainkan sebaliknya kian banyak memihak KPK yang diibaratkan sebagai pertarungan Daud versus Jalut (David versus Goliath), yang dalam bahasa populer disebut sebagai ”Cicak versus Buaya”.

Kian banyak pula kalangan masyarakat yang percaya, Presiden Jokowi tidak menepati janji dalam Nawa Cita poin dua, bahwa ”pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan”.

Kasus pencalonan BG yang masih bertahan—sejauh menyangkut tata kelola pemerintahan yang bersih melalui pemberantasan korupsi—memperlihatkan kecenderungan kian ”jauh panggang dari api”. Pesan keliru Presiden Jokowi tidak kondusif terhadap pemberantasan korupsi.

Presiden Jokowi masih memiliki ”kesempatan emas” untuk memperbaiki keadaan jika tidak ingin pemerintahannya terganduli kasus BG dan sebaliknya dapat memulihkan kembali citra dan kepercayaan masyarakat. Tidak ada pilihan lain bagi Presiden Jokowi kecuali mengajukan calon Kapolri yang memiliki rekam jejak yang benar-benar berintegritas, jauh dari sebagai terduga, apalagi tersangka korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar