Senin, 16 Februari 2015

Menyerang Polisi

Menyerang Polisi

Anton Tabah  ;  Kolumnis, Purnawirawan Perwira Tinggi Polri
KOMPAS, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Selama lebih dari sepekan ini media menyiarkan kasus penganiayaan oleh puluhan oknum TNI AL terhadap dua perwira Polri, yaitu Komisaris Teuku Arsya Khadafi dan Komisaris Budi Hermanto, ketika keduanya bertugas di sebuah kafe di kawasan Jakarta Selatan. Ironisnya, kasus ini terjadi ketika Panglima TNI dan Kepala Polri sedang gencar membina prajuritnya agar TNI dan Polri solid dalam kerukunan dan kesatuan karena TNI-Polri adalah tulang punggung negara. Kasus seperti ini tak akan terjadi di negara lain karena mereka memberi perlindungan kepada polisi, baik yang sedang bertugas maupun tidak, dengan perlindungan hukum yang ketat dan keras bagi penyerang polisi. Hukumannya bisa berupa denda, kerja sosial, penjara sampai pidana mati, atau kombinasi dari semua jenis hukuman tersebut.

Mengapa? Mereka sadar bahwa ketaatan pada hukum perlu rambu-rambu yang jelas. Polisi adalah pengawalnya. Hanya dengan kepolisian yang kuat, ketertiban bisa berjalan baik.

Oleh karena itu, semua negara membangun kepolisian yang kuat bukan hanya dari aspek sumber daya manusia, peralatan, kesejahteraan, dan kemauan politik, tetapi juga payung hukum yang melindunginya. Salah satunya adalah sanksi berat jika ada warga yang menyerang polisi, meskipun polisi yang diserang tanpa cedera.

Mereka sadar profesi polisi penuh risiko dan sulit diprediksi dari mana dan kapan risiko itu datang. Karena itu, mencederai apalagi membunuh polisi sanksinya  hukuman mati.

Contoh kasus, bintang film Zsa Zsa Gabor yang menampar seorang polisi di California saat dia ditilang karena melanggar lalu lintas. Polisi yang ditamparnya tanpa cedera, kecuali kaca matanya patah. Namun, pengadilan memvonis Zsa Zsa Gabor dengan hukuman berat berlapis, yaitu delapan bulan kurungan ditambah denda 12.500 dollar AS dan kerja sosial selama dua tahun.

Namun, apa yang terjadi di Indonesia jika ada kasus serupa? Menyerang polisi hanya diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai melawan pegawai negeri yang sedang menjalankan tugas. Ancaman hukuman penjara lima tahun jika tak mengakibatkan luka, tujuh tahun jika mengakibatkan luka, sembilan tahun jika luka berat, dan 12 tahun jika mengakibatkan meninggal dunia.

Ancaman tersebut selain ringan juga tanpa hukuman tambahan denda dan kerja sosial seperti negara-negara lain. Lihat KUHP Amerika Serikat, misalnya, bila menyerang polisi yang menimbulkan luka ringan saja ancaman hukumannya 80 tahun penjara, jika luka berat 120 tahun penjara, dan jika mengakibatkan polisi meninggal dunia, maka penyerangnya dihukum mati. 

Memang kadang tak logis, mengapa ancaman hukumannya hingga ratusan tahun? Tujuannya adalah agar selain menimbulkan efek jera, juga apabila pelaku meninggal dunia masih dalam status terpidana. Dengan begitu ada dampak malu bagi keluarganya. Hukuman yang sangat ringan di Indonesia pada kasus perlawanan dan penyerangan terhadap polisi tidak ada efek jera dan membuat hukum tak efektif. Perlindungan hukum bagi polisi yang diterapkan di negara-negara lain patut diakomodasi di Indonesia, yang kini sedang mengalami transisi sosial politik.

Berdemokrasi yang baik

Risiko tugas polisi sangat tinggi karena ancaman tiba-tiba dari segala penjuru sulit diprediksi. Zona pekerjaan polisi sangat luas, seluas masyarakat.

Polisi tak seberuntung jaksa dan hakim yang zona tugasnya jelas ketika mereka melakukan penuntutan dan peradilan. Begitu pula zona tentara, sangat jelas medan perangnya, dan tentara tidak bergerak perorangan, minimal beregu dan ada komandannya. Jaksa dan hakim punya cukup waktu hanya untuk melakukan satu tuntutan atau keputusan. Tentara cukup waktu menentukan strategi karena medan dan sasarannya jelas.

Polisi tak seberuntung mereka. Selain zona tugas polisi sangat luas, juga banyak bergerak perorangan dan jika menghadapi masalah harus mengambil keputusan sendiri. Itu pun mesti cepat karena gangguan kamtibmas dalam hitungan detik. Padahal keputusan seorang polisi sering kali berdampak luas, dan jika tidak tepat sering mengundang protes publik yang luas pula.

Oleh karena itu, polisi perlu perlindungan hukum yang tak hanya diakomodasi Pasal 170 KUHP. Kini waktu yang tepat (karena KUHP sedang direvisi) untuk memasukkan payung hukum bagi polisi secara lebih tegas dan realistis sebanding dengan risikonya.

Ruh dari demokrasi adalah kepatuhan pada hukum. Karena itu, semakin tinggi kepahaman berdemokrasi suatu bangsa semakin banyak regulasi dari negara. Contoh di negara-negara yang berdemokrasi mapan, segala sesuatu diatur  negara. Misalnya, tidak boleh merokok di sembarang tempat dan yang melanggar didenda 100 dollar AS. Bertelepon sambil mengemudikan kendaraan didenda 125 dollar AS. Menyeberang bukan di penyeberangan jalan atau menyetop kendaraan tidak di halte didenda 100 dollar AS. Bahkan, kini meludah di sembarang tempat umum didenda 100 dollar AS. Juga aturan unjuk rasa di AS dan Eropa, tujuh hari sebelumnya harus memberitahukan polisi agar polisi siap mengamankannya.

Itulah demokrasi! Semakin banyak regulasi dan masyarakatnya patuh alias tidak menentang regulasi tersebut demi ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Masyarakat, juga anggota TNI, pun harus berdemokrasi dengan baik. Selain taat hukum juga harus saling menghormati. Karena kebebasan bukan berarti bebas mencaci-maki, menebar kebencian dan permusuhan. Demokrasi bukan ”serba boleh”.

Seperti halnya di negara-negara lain, polisi kita pun telah dipayungi hukum yang kuat. Demokrasi (civil society) akan berjalan baik jika polisinya kuat. Makna adagium universal dalam civil society; ”polisi pengawal demokrasi”. Prof Adlow secara ektrem mengatakan, ”Polisi itu cermin masyarakat. Polisi tidak bisa santun di tengah masyarakat yang kurang ajar. Oleh karena itu, polisi secara universal diberi kewenangan menggunakan upaya paksa dan karena itu pula polisi diberi bedil dan sistem persenjataan canggih lainnya. Bukan tas echolac!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar